This is featured post 1 title
Replace these every slider sentences with your featured post descriptions.Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha - Premiumbloggertemplates.com.
This is featured post 2 title
Replace these every slider sentences with your featured post descriptions.Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha - Premiumbloggertemplates.com.
This is featured post 3 title
Replace these every slider sentences with your featured post descriptions.Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha - Premiumbloggertemplates.com.
June 18, 2018
May 26, 2017
6:21:00 PM
Bu Rosyidah Andriani
DEWI GENDARI
“Dewi Gendari namanya, putri dari Prabu Subala, dari kerajaan Gandhara di utara India. Dewi Gendari berupa cantik sebenarnya, tapi ia tak terpilih tuk dijadikan istri oleh Pandudewanata, malahan dia diberikan pada Drestarata, kakak Pandu yang tertua dan buta. Awalnya Gandari jijik dan menyesal kepadanya, tapi akhirnya dia menerima apa adanya sang Drestarata. Dewi Gendari adalah sosok setia pada itu suaminya, setelah menikah bahkan selalu menutup mata, agar dia merasakan penderitaan suaminya yang buta.
Pada awalnya, ketika hamil muda, ia diramalkn oleh Begawan Abysa, bahwa akan mempunyai anak 100 jumlahnya, dan memang benar kemudian adanya. Hanya ada seorang putri daripada anaknya, dialah bernama Dursala. Dan sisanya pria antagonis di Mahabarata semua.
Walau demikian keadaannya, Gendari selalu mengasihi anak-anaknya, dia slalu menasehati agar mereka selalu berdharma.
Pada awalnya, ketika hamil muda, ia diramalkn oleh Begawan Abysa, bahwa akan mempunyai anak 100 jumlahnya, dan memang benar kemudian adanya. Hanya ada seorang putri daripada anaknya, dialah bernama Dursala. Dan sisanya pria antagonis di Mahabarata semua.
Walau demikian keadaannya, Gendari selalu mengasihi anak-anaknya, dia slalu menasehati agar mereka selalu berdharma.
Tapi karena pengaruh Sengkuni, para Kurawa brtabiat jahat hingga mati. Sengkuni adalah adik Gendari, dialah paman Kurawa berarti.
Ketika permainan dadu Puntadewa dan Duryudana, yang akhirnya berakhir dengan kekalahan Pandawa, lalu oleh karenanya Istana Indraprastha atau Amarta, serta Drupadi pun menjadi milik Kurawa, semua itu karena taruhan tiada guna, hasutan Kurawa. Dewi Gendari, ibu Kurawa, tahu keadaannya, dia menolong Pandawa dengan menyuruh Duryudana, agar mengembalikan semua taruhannya. Walau jahat adanya para Kurawa, tapi Duryudana dan saudara-saudaranya itu patuh dan sayang pada ibunya. Tapi pada akhirnya, pengaruh Gendari kalah dgn Sengkuni angkara murka.
Ketika perang Bratayudha, melihat anak-anaknya terbunuh di medan laga, Gendari sangat sedih keadaannya, ingin lindungi dia punya anak-anak, tapi tak kuasa. Ia hanya dapat membri kekebalan kepada Duryudana, lewat Gendari punya pancran mata. Tapi pula, ada begian tubuh yang tak tersinari cahaya mata, yaitu bagian paha, dan kemaluan Duryudana, itulah kelemahan ia.
Ketika perang usai, Gendari menemani sang suami, untuk bertapa di hutan mengasingkan diri. Lalu mereka mati, karena terbakar oleh Drestarasta punya api suci.”
Sepenggal prosa buatan saya untuk sosok Gendari, sosok ibu Kurawa yang dapat kita ambil hikmahnya.
Ibu adalah sosok tiada bandingan bagi masing-masing insan. Beliau senantiasa mengasihi kita walau apa pun. Oleh karenanya, jangan pernah buat kecewa ibu kita, jangan lah buat ia menangis, khawatir, kesal atau apapun.
Ketika seorang bayi di dalam kandungan ibunya, ia senantiasa seperti dalam sorga, bernaung di antara air ketuban yang membuatnya nyaman, karena siklus pergantian air ketuban dalam rahim ibu, rahim yang begitu lembut membuai bayi, plasenta (ari-ari) yang memberi nutrisi, aliran darah ibu yang begitu hangat membuai, bayi terpejam dalam mimpi indah di dalam itu semua.
Ketika seorang bayi di dalam kandungan ibunya, ia senantiasa seperti dalam sorga, bernaung di antara air ketuban yang membuatnya nyaman, karena siklus pergantian air ketuban dalam rahim ibu, rahim yang begitu lembut membuai bayi, plasenta (ari-ari) yang memberi nutrisi, aliran darah ibu yang begitu hangat membuai, bayi terpejam dalam mimpi indah di dalam itu semua.
Tapi ketika lahir, semua harus dehadapi oleh bayi, suasana menjadi begitu asing dan tak senyaman rahim, menangislah ia akrena nikmatnya berakhir ke dunia. Dan setelah itulah ibu, yang membimbing bayi untuk mengenal dunia luar satu per satu, beliau mengajarkan, mengasihi kita, membimbing kita sampai kita dapat menjadi seperti sekarang, berdiri atau duduk membaca tulisan. Sabda Rasulullah ‘Ibu,.. ibu,.. ibu,.. ayah’. :)
“Whenever the rain comes down and it’s seems there’s none to hold me
She’s there for me, she’s my mom” –
She’s there for me, she’s my mom” –
December 26, 2016
6:24:00 AM
Bu Rosyidah Andriani
Gangguan Perkembangan Sosial dan Emosional Anak Usia Dini
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Seorang anak hidup paling aktif di dalam masa perkembangannya. Kepribadian sedang dalam pembentukan dan di dalam stadium perkembangan banyak sekali terjadi perubahan atau modifikasi tingkah laku. Sebab itu kita perlu mengetahui ciri tingkah laku normal pada setiap stadium perkembangan anak dan membedakan setiap tingkah laku anak. Semua anak memiliki berbagai kebutuhan dasar yang harus dipenuhi untuk memastikan perkembangan akan berlangsung baik. Anak-anak memang sangat tabah dan teguh. Dalam kebanyakan kasus, dibutuhkan tekanan atau pengorbanan ekstrem agar memberikan pemecahan yang signifikan dan berdampak lama. Namun, jika anak tidak diberikan kebutuhan dasar dalam kadar yang cukup, akibatnya mungkin terjadi kelambatan dalam perkembangan.
Seperti dalam hal penggunaan pendekatan perkembangan untuk melihat kelainan yang diderita oleh anak sebenarnya berlandaskan empat tema dasar atau prinsip, yaitu pertama kelainan muncul atau terjadi hanya pada individu yang mengalami perkembangan, prinsip yang kedua kelainan perkembangan atau psikapatologi harus dipandang dalam kaitannya dengan perkembangan yang normal, tugas-tugas perkembangan utama dan perubahan-perubahan yang muncul sepanjang rentang kehidupan, selanjutnya prinsip yang ketiga yaitu tanda-tanda awal dari perilaku berkelainan harus dipelajarisecara serius, dan yang terakhir prinsip yang keempat bahwa ada beragam patokan atau karakteristik perkembangan baik yang normal maupun berkelainan .
Dalam kenyataan sehari-hari yang kita hadapi, tidak semua anak mengalami perkembangan yang normal sesuai dengan usia dan rata-rata anak sebayanya. Ada anak-anak yang membutuhkan perhatian khusus karena ia memiliki kebutuhan khusus dalam aspek perkembangan. Pada masa lalu anak yang mengalami gangguan dianggap mengganggu dan mendapatkan pendidikan tidak selayak anak yang normal. Bahkan ada anggapan bahwa anak-anak seperti itu tidak dapat dididik sehingga tidak perlu mendapatkan pendidikan. Sementara anak-anak yang normal, namun mengalami masalah pada satu atau beberapa aspek perkembangannya, dirasakan menjadi masalah bagi kelancaran pendidikan dan teman-teman sekelasnya.
Anak yang mengalami gangguan adalah anak yang memiliki kemampuan yang berada di luar rentang kemampuan anak sebayanya. Sehingga guru dan orang tua perlu mengintervensi atau menangani anak yang mengalami gangguan. Dalam pembahasan ini kelompok kami akan membahas tentang gangguan sosial emosi anak usia dini. Kita ketahui bahwa gangguan sosial emosi dapat terjadi pada setiap individu dari semua usia. Keadaan tersebut biasanya ditandai dengan ciri-ciri tertentu. Kebanyakan masalah sosial emosional dianggap sebagai hasil faktor lingkungan, seperti penyiksaan terhadap anak, pengasuhan yang tidak konsisten, kondisi hidup yang penuh tekanan, lingkungan yang penuh dengan kekerasan,atau penggunaan alcohol dan kekerasan fisik yang terjadi dalam keluarga. Pada saat yang bersamaan, penyebab bilogis,seperti faktor keturunan, ketidakseimbangan zat-zat kimia dalam tubuh, kerusakan jaringan otak, dan penyakit yang diderita, juga berperan dalam masalah sosial emosi anak.
Perkembangan sosial dan emosi anak memainkan peranan penting dalam hidup seseorang. Tiap bentuk emosi pada dasarnya membuat hidup terasa lebih menyenangkan. Karena dengan emosi dan hubungan sosial anak akan merasakan getaran-getaran perasaan dalam dirinya maupun orang lain. Bulan-bulan serta tahun-tahun pertama kehidupan anak merupakan masa yang penting dan rawan dalam perkembangan sosial emosi anak. Bila orang tua kurang menyadari pentingnya arti kualitas hubungan serta sikap penuh kasih saying pada masa ini, maka anak bisa mengalami berbagai masalah dan gangguan sosial emosional yang serius dikemudian hari. Tapi sebaliknya bila kebutuhan sosial emosinya terpenuhi secara seimbang dalam awal kehidupan, dikemudian hari ia pun akan berkembang menjadi individu yang bahagia dan diharapkan mampu mewujudkan potensi-potensinya secara optimal.
Seorang anak hidup paling aktif di dalam masa perkembangannya. Kepribadian sedang dalam pembentukan dan di dalam stadium perkembangan banyak sekali terjadi perubahan atau modifikasi tingkah laku. Sebab itu kita perlu mengetahui ciri tingkah laku normal pada setiap stadium perkembangan anak dan membedakan setiap tingkah laku anak. Semua anak memiliki berbagai kebutuhan dasar yang harus dipenuhi untuk memastikan perkembangan akan berlangsung baik. Anak-anak memang sangat tabah dan teguh. Dalam kebanyakan kasus, dibutuhkan tekanan atau pengorbanan ekstrem agar memberikan pemecahan yang signifikan dan berdampak lama. Namun, jika anak tidak diberikan kebutuhan dasar dalam kadar yang cukup, akibatnya mungkin terjadi kelambatan dalam perkembangan.
Seperti dalam hal penggunaan pendekatan perkembangan untuk melihat kelainan yang diderita oleh anak sebenarnya berlandaskan empat tema dasar atau prinsip, yaitu pertama kelainan muncul atau terjadi hanya pada individu yang mengalami perkembangan, prinsip yang kedua kelainan perkembangan atau psikapatologi harus dipandang dalam kaitannya dengan perkembangan yang normal, tugas-tugas perkembangan utama dan perubahan-perubahan yang muncul sepanjang rentang kehidupan, selanjutnya prinsip yang ketiga yaitu tanda-tanda awal dari perilaku berkelainan harus dipelajarisecara serius, dan yang terakhir prinsip yang keempat bahwa ada beragam patokan atau karakteristik perkembangan baik yang normal maupun berkelainan .
Dalam kenyataan sehari-hari yang kita hadapi, tidak semua anak mengalami perkembangan yang normal sesuai dengan usia dan rata-rata anak sebayanya. Ada anak-anak yang membutuhkan perhatian khusus karena ia memiliki kebutuhan khusus dalam aspek perkembangan. Pada masa lalu anak yang mengalami gangguan dianggap mengganggu dan mendapatkan pendidikan tidak selayak anak yang normal. Bahkan ada anggapan bahwa anak-anak seperti itu tidak dapat dididik sehingga tidak perlu mendapatkan pendidikan. Sementara anak-anak yang normal, namun mengalami masalah pada satu atau beberapa aspek perkembangannya, dirasakan menjadi masalah bagi kelancaran pendidikan dan teman-teman sekelasnya.
Anak yang mengalami gangguan adalah anak yang memiliki kemampuan yang berada di luar rentang kemampuan anak sebayanya. Sehingga guru dan orang tua perlu mengintervensi atau menangani anak yang mengalami gangguan. Dalam pembahasan ini kelompok kami akan membahas tentang gangguan sosial emosi anak usia dini. Kita ketahui bahwa gangguan sosial emosi dapat terjadi pada setiap individu dari semua usia. Keadaan tersebut biasanya ditandai dengan ciri-ciri tertentu. Kebanyakan masalah sosial emosional dianggap sebagai hasil faktor lingkungan, seperti penyiksaan terhadap anak, pengasuhan yang tidak konsisten, kondisi hidup yang penuh tekanan, lingkungan yang penuh dengan kekerasan,atau penggunaan alcohol dan kekerasan fisik yang terjadi dalam keluarga. Pada saat yang bersamaan, penyebab bilogis,seperti faktor keturunan, ketidakseimbangan zat-zat kimia dalam tubuh, kerusakan jaringan otak, dan penyakit yang diderita, juga berperan dalam masalah sosial emosi anak.
Perkembangan sosial dan emosi anak memainkan peranan penting dalam hidup seseorang. Tiap bentuk emosi pada dasarnya membuat hidup terasa lebih menyenangkan. Karena dengan emosi dan hubungan sosial anak akan merasakan getaran-getaran perasaan dalam dirinya maupun orang lain. Bulan-bulan serta tahun-tahun pertama kehidupan anak merupakan masa yang penting dan rawan dalam perkembangan sosial emosi anak. Bila orang tua kurang menyadari pentingnya arti kualitas hubungan serta sikap penuh kasih saying pada masa ini, maka anak bisa mengalami berbagai masalah dan gangguan sosial emosional yang serius dikemudian hari. Tapi sebaliknya bila kebutuhan sosial emosinya terpenuhi secara seimbang dalam awal kehidupan, dikemudian hari ia pun akan berkembang menjadi individu yang bahagia dan diharapkan mampu mewujudkan potensi-potensinya secara optimal.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka rumusan masalahnya yaitu sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan Gangguan Perkembangan sosial emosional anak usia dini?
2. Apa saja jenis-jenis gangguan perkembangan sosial emosi anak usia dini?
3. Apa saja yang menjadi faktor-faktor perkembangan sosial emosi anak usia dini?
4. Bagaimana upaya preventif dan intervensi gangguan perkembangan sosial emosi anak usia dini?
Berdasarkan latar belakang diatas maka rumusan masalahnya yaitu sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan Gangguan Perkembangan sosial emosional anak usia dini?
2. Apa saja jenis-jenis gangguan perkembangan sosial emosi anak usia dini?
3. Apa saja yang menjadi faktor-faktor perkembangan sosial emosi anak usia dini?
4. Bagaimana upaya preventif dan intervensi gangguan perkembangan sosial emosi anak usia dini?
C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah diatas maka tujuan penulisannya adalah:
1. Untuk mengetahui pengertian dari gangguan sosial emosi anak usia dini
2. Untuk mengetahui jenis-jenis dari gangguan sosial emosi anak usia dini
3. Untuk mengetahui faktor-faktor dari gangguan perkembangan sosial emosi anak usia dini
4. Untuk mengetahui upaya preventif dan intervensi dari gangguan sosial emosi anak usia dini
BAB II
PEMBAHASAN
Berdasarkan rumusan masalah diatas maka tujuan penulisannya adalah:
1. Untuk mengetahui pengertian dari gangguan sosial emosi anak usia dini
2. Untuk mengetahui jenis-jenis dari gangguan sosial emosi anak usia dini
3. Untuk mengetahui faktor-faktor dari gangguan perkembangan sosial emosi anak usia dini
4. Untuk mengetahui upaya preventif dan intervensi dari gangguan sosial emosi anak usia dini
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Gangguan Perkembangan Sosial dan Emosional Anak Usia Dini
Gangguan sosial, emosional, dapat dikonseptualisasikan sebagai suatu yang fokus di dalam diri anak. Suatu harapan dan cita-cita dari para orang tua, guru, maupun masyarakat pada umumnya untuk memiliki anak-anak yang sehat jasmani dan rohani. Betapa tenang dan tentramnya hati bila melihat anak-anak bermain dengan riang gembira, pandai,tekun dalam belajar dan bekerja, bebas dan lincah dalam mengutarakan buah pikiran dan kreativitasnya.
Harapan ini tentu menyangkut pertumbuhan dan perkembangan yang paling optimal dari segi fisik, emosi, mental dan sosial setiap anak. Tetapi suatu kenyataan yang tidak dapat dipungkiri adalah danya sejumlah anak yang memperlihatkan perilaku sumbang, bertingkah laku yang tidak sesuai dengan norma yang berlaku, baik norma budaya, norma umur,norma kecakapan/keterampilan maupun norma sosial yang berlaku dalam lingkungan di mana anak berada. Tingkah laku mereka mengalami gangguan dan kelainan, yang biasanya lebih dirasakan oleh lingkungan daripada oleh anak sendiri .
Perkembangan emosi memainkan peran yang sedemikian penting dalam kehidupan, maka penting diketahui bagaimana perkembangan dan pengaruh emosi terhadap penyesuaian pribadi dan sosial. Sukar mempelajari emosi anak-anak karena informasi tentang aspek emosi yang subyektif hanya dapat diperoleh dengan cara introspeksi sedangkan anak-anak tidak dapat menggunakan cara tersebut dengan baik karena mereka masih berusia sedemikian muda. Bahkan sulit mempelajari reaksi emosi melalui pengamatan terhadap ekspresi yang jelas tampak, terutama ekspresi wajah dan tindakan yang berkaitan dengan emosi,karena anak-anak suka menyesuaikan diri dengan tuntutan sosial . Untuk mengetahuai apa itu gangguan perkembangan sosial emosional anak yang perlu kita ketahui terlebih dahulu yaitu pengertian gangguan. Gangguan adalah suatu kondisi yang menyebabkan ketidaknormalan pada individu yang memiliki masalah dalam menguasai keterampilan dan menunjukan kekurangan dalam berhubungan dengan orang lain . Selanjutnya perkembangan sosial emosi anak usia dini yaitu perkembangan yang berkaitan dengan emosi,kepribadian, dan hubungan interpersonal. Selama tahun kanak-kanak awal, perkembangan sosial emosi berkisar tentang sosialisas, yaitu proses ketika anak mempelajari nilai-nilai dan perilaku yang diterima dari masyarakat . Pada usia tersebut , terdapat tiga tujuan dalam perkembangan sosial emosional anak, yaitu:
1. Mencapai sense of self atau pemahaman diri serta berhubungan dengan orang lain
2. Bertanggung jawab terhadap diri sendiri meliputi kemampuan untuk mengikuti aturan dan rutinitas, menghargai orang lain, dan mengambil inisiatif
3. Menampilkan perilaku sosial , seperti empati, berbagi,dan menunggu giliran.
Gangguan sosial emosi dapat terjadi pada setiap individu dari semua usia. Keadaan tersebut biasanya ditandai dengan cirri-ciri tertentu, khususnya yang berhubungan dengan kondisi emosi. Sepanjang kehidupan, kondisi emosi kita memang tidak tetap, kadang naik atau turun. Tetapi, pada orang-orang tertentu, mereka lebih banyak mengalami kondisi emosi negatif. Kondisi ini akan mempengaruhi kualitas hidup dan kemampuan mereka mengatasi persoalan sehari-hari serta tugas perkembangan yang mereka jalani.
Kebanyakan masalah sosial dan emosi dianggap sebagai hasil faktor lingkungan,seperti penyiksaan terhadap anak, pengasuhan yang tidak konsisten, kondisi hidup yang penuh tekanan, lingkungan yang penuh dengan kekerasan,atau penggunaan alcohol dan kekerasan fisik yang terjadi dalam keluarga. Pada saat yang bersamaan, penyebab biologis, seperti faktor keturunan, ketidakseimbangan zat-zat kimia dalam tubuh, kerusakan jaringan otak, dan penyakit yang diserita juga berperan dalam masalah perkembangan sosial dan emosi ( Cicchetti & Toth dalam Rini Hildayani) .
Menurut Undang-Undang bagi Pendidikan Individu Penyandang cacat (IDEA) bahwa gangguan sosial emosi yaitu ketidak mampuan atau mengatur hubungan interpersonal yang memuaskan dengan teman sebaya dan guru .
Rolf, edelbrock dan Strauss menemukan bahwa anak-anak dengan masalah perkembangan sosial emosi cenderung memiliki hambatan yang besar dalam pertemanan, penyesuaian sosial, tingkah laku dan dan akademis apabila dibandingkan dengan kelompok anak yang normal. Anak-anak dengan gangguan ini dianggap beresiko terhadap sifat tersisih secara sosial, terisolasi penarikan diri, pemalu dan kesepian .
Dari penjelasan mengenai gangguan, perkembangan sosial emosi secara umum maka disintesiskan gangguan perkembangan sosial emosi anak usia dini yaitu ketidaknormalan yang menghambat perkembangan anak usia dini kaitannya dalam mengelola emosi, kepribadian, dan hubungan interpersonal anak dengan orang lain.
Emosi merupakan sesuatu yang muncul setiap hari, bahkan setiap saat dalam kehidupan kita. Emosi merupakan suatu pola yang kompleks dari perubahan yang terdiri dari reaksi fisiologis, perasaan-perasaan yang subyektif, proses kognitif, dan reaksi perilaku, yang semuanya itu merupakan respon atas situasi yang kita terima (Duffy, 2002) Kita mengenal beberapa emosi dasar, yaitu kegembiraan, kesedihan, ketakutan, kemarahan. . Selain itu kita juga mengenal adanya emosi positif, seperti kegembiraan, dan emosi negatif, seperti kemarahan dan kesedihan. Kemampuan untuk bereaksi secara emosional sudah ada pada bayi yang baru lahir. Gejala pertama perilaku emosional ialah keterangsangan umum terhadap stimulasi yang kuat.
a. Pola emosi Positif
Pola emosi positif adalah yang berasal dari suatu kondisi yang menguntungkan Frederickson, Mayne dan Bonnano mencatat bahwa banyak emosi positif dengan mudah diidentifikasi dalam kecenderungan aksi. Emosi positif secara sederhana diidentifikasi sebagai sesuatu yang baik atau diiginkan. Emosi positif terdiri dari perhatian atau minat, surprise atau kekaguman, dan kegembiraan .
b. Pola emosi Negatif
Sedangkan pola emosi negatif menurut Lazarus (1991) berasal dari hubungan yang mengancam atau kondisi yang menyakitkan. Reaksi emosi negative terdiri dari marah, kecemasan, rasa malu, kesedihan, cemburu, merasa takut, dan cemburu .
B. Jenis-jenis Gangguan Perkembangan Sosial dan Emosional Anak Usia Dini
Terdapat banyak jenis gangguan perkembangan sosial dan emosional pada anak usia dini, bahkan setiap anak yang memiliki gangguan pada aspek perkembangan fisik-motorik, perkembangan kognitif, perkembangan bahasa, dan perkembangan moral pun juga selalu memiliki gangguan pada sosial dan emosional masing-masing. Misalnya anak yang memiliki gangguan pada fisiknya berupa cacat fisik (tuna daksa) baik dari lahir maupun ketika sudah bertumbuh besar, dia memiliki ketidaknormalan pada perkembangan sosial dengan orang lain dan emosional mereka. Mereka merasakan bahwa dia berbeda dari teman kebanyakan membutuhkan kemampuan penerimaann yang baik dan keiklhasan yang lebih. Tentunya hal ini membutuhkan bantuan orang lain terutama orang dewasa terdekatnya, yakni orang tua. Namun, apabila orang tua pun tidak memiliki kemampuan mengelola emosi dengan baik sehingga orang tua pun tidak mampu menerima kondisi anak tersebut, maka hal ini akan sangat berpengaruh terhadap perkembangan sosial dan emosional anaknya. Demikian pula pada anak-anak yang memiliki gangguan-gangguan lain sehingga mereka dikatakan children with special needs seperti tuna grahita, tuna rungu, learning dissability, dan sebagainya masing-masing mereka memiliki kondisi perkembangan sosial dan emosional yang tidak selalu seperti anak lain yang tanpa gangguan pada perkembangannya.
Gangguan-gangguan perkembangan sosial dan emosi yang muncul seringkali berangkat dari pola-pola emosi yang dikenal baik itu emosi positif maupun emosi negatif. Seperti misalnya emosi negatif berupa marah atau menangis, anak perlu dikenalkan dengan ekspresi marah dan menangis namun ketika emosi tersebut diungkapkan dalam suatu perilaku yang muncul secara berlebihan sehingga menjadi tantrum misalnya, maka hal ini dikatakan sebagai suatu gangguan. Demikian pula pada emosi positif seperti optimis dan percaya diri. Ketika emosi optimis dan percaya diri tersebut muncul secara berlebih maka dapat mengarah pada perilaku yang cenderung abisius, sombong, pada akhirnya dapat mendorong seorang anak untuk melakukan segala cara sekalipun cara tersebut dapat merugikan diri sendiri dan orang lain. Hal itu disebut sebagai sesuatu yang mengalami gangguan dan perkembangan emosional, dan ketika perilaku emosi yang muncul itu melibatkan interaksi sosial mereka dengan orang lain, maka hal tersebut dapat dikatakan menjadi gangguan sosial.
Hasil survey yang dilakukan oleh Izzaty dalam Mashar di Taman Kanak-kanak ditemukan adanya beberapa permasalahan emosi atau gangguan emosi yang umumnya sering terjadi pada anak usia Taman Kanak-kanak yaitu agresvitas, kecemasan, temper tantrum, menarik diri (withdrawal), enuresis dan encopresis, berbohong, menangis berlebihan, kebergantungan, pemalu, dan takut berlebihan. Hasil survey ini dipertegas dengan hasil penelitian mengenai masalah-masalah perilaku pada anak usia dini. Masalah yang paling banyak muncul terdapat pada area conduct/restless yang salah satunya adalah perilaku agresif, kemudian disusul dengan permasalahan pada area emotional/miserable, dan terakhir permaslaahn yang termasuk area isolated/immature.
Mashar membatasi jenis gangguan tersebut pada ranah gangguan emosi yang sering muncul dan ditambahkan dari buku Nugraha dan Rachmawati serta Plutchik yang keseluruhannya disebutkan ke dalam jenis gangguan emosi antara lain: agresivitas, kecemasan, temper tantrum, menarik diri, takut berlebihan, kekurangan afeksi, dan hipersensitivitas.
Jefery S. Nevid, dkk menyebutkan beberapa gangguan kecemasan (anxciety) yang menjadi bagian dari gangguan perkembangan emosional memiliki beberapa penggolongan, antara lain: gangguan panik, gangguan kecemasan menyeluruh, gangguan fobia (ketakuran berlebih), gangguan obsesif-impulsif, gangguan stress akut dan gangguan stress pascatrauma. Di samping itu juga gangguan emosi selain kecemasan menurut Nevid juga ada gangguan mood dan bunuh diri, dengan tipe-tipe gangguan mood yang berupa gangguan depresi (unipolar) berupa gangguan depresi mayor dan gangguan distimik, gangguan perubahan mood (bipolar) yang berupa bipolar dan gangguan siklotimik. Namun secara terbatas, dalam makalah ini akan dibahas berkaitan dengan kecemasan yang sering dan mungkin terjadi pada anak usia dini.
Hewar & Orlansky seperti yang dikutip oleh Jamaris megatakan bahwa Quay mengumpulkan sejumlah besar data yang berkaitan dengan kelaian perilaku yang ditunjukkan anak, dan penilaian guru dan orangtua terhadap perilaku tersebut melalui angket yang disebarkan pada anak. Berdasarkan hasil analisis data yang dikumpulkan, mereka menemukan bahwa kelainan perilaku cenderung dilakukan anak secara berkelompok dalam kelompok kecil. Pada akhirnya Quay dan kawan-kawannya mengklasifikasikan kelainan perilaku ke dalam empat kelompok, yakni: conduct behavior, personality disorder, immaturity, dan sosialized deliquency.
Conduct behavior merupakan kelainan perilaku yang meliputi menentang, merusak, memicu perkelahian, angkuh, pemarah, dan tantrum. Personality disorder meliputi perilaku suka menyendiri, cemas, depresi, rendah diri, merasa bersalah, pemalu, dan tidak bahagia. Immaturity ditandai dengan perilaku yang tidak dapat memusatkan perhatian dalam waktu yang relatif lama, sangat pasif, pengkgayal, lebih menyukai bermain dengan anak yang lebih muda usianya, kaku atau aneh. Sedangkan sosialized deliquency menunjukkan perilaku suka bolos sekolah, anggota gang, pencuri dan merasa bangga terhadap kelompok lain.
Gangguan emosional yang paling lazim didiagnosis dalam masa kanak-kanak adalah gangguan perilaku distruptif [menunjukkan agresi, penyimpangan, atau perilaku antisosial (distruptif behavior disorder)] dan gangguan kecemasan atau mood (perasaan sedih, tidak dicintai, gugup, takut, atau kesepian). Beberapa masalah terlihat berhubungan dengan fase tertentu dari kehidupan anak dan menghilang dengan sendirinya, tetapi yang lain perlu dirawat untuk mencegah masalah di masa yang akan datang (Achenbacg & Howell; USDHHS).
Meskipun gangguan sosial dan emosional yang kemudian berkembang menjadi istilah emotional and behavior disorders ini memiliki makna yang sangat luas secara definitif, akan tetapi penulis mencoba membatasi dan mengklasifikasikan jenis-jenis gangguan sosial dan emosional yang dapat dan seringkali terjadi pada anak usia dini antara lain sebagai berikut:
1. Tunalaras
Anak yang mengalami gangguan tingkah laku lebih dikenal dengan istilah tunalaras. Samapi saat ini memang belum ada definisi yang dapat diterima secara umum mengenai anak tunalaras yang dapat memuaskan smua pihak. Pada kenyataannya, batasan atau definisi yang dikemukakan oleh para profesional dan para ahli yang berkaitan dengan masalah ini berbeda-beda sesuai dengan sudut pandang disiplin ilmu masing-masing untuk keperluan profesionalnya. Meskipun demikian, dari seluruh definisi yang dikemukakan oleh para ahli, semua menganggap sama bahwa tunalaras menampakkan suatu perilaku penentangan yang terus-menerus kepada masyarakat, kehancuran suatu pribadi, serta kegagalan dalam belajar di sekolah.
Anak tunalaras sering juga disebut anak tunasosial karena tingkah laku anak ini menunjukkan penentangan terhadap norma-norma sosial masyarakat yang berwujud seperti mencuri, mengganggu, dan menyakiti orang lain. Dengan kata lain menyusahkan lingkungan. Akan tetapi, ada juga anak yang tidak mengganggu sama sekali atau sama sekali tidak merugikan orang lain seperti menyendiri, memiliki kebiasaan menyimpang, merusak diri sendiri, dan berpakaian aneh dipertanyakan apakah termasuk katergori antisosial atau tidak. Pertanyaan tersebut menimbulkan anggapan lain, di mana letak kesalahan dianggap terdapat pada aspek perasaan sehingga tunasosial dinyatakan juga sebagai gangguan emsosi.
Istilah gangguan emosi yang dipakai untuk menyebut mereka yang tunasosial masih sering juga dipersoalkan. Sehingga kemudian muncul pertanyaan apakah setiap perilaku antisosial selalu mengandung gangguan emosi atau apakah semua perilaku antisosial selalu merupakan manifestasi dari gangguan emosi? Dari hal itu timbul gagasan bahwa istilah yang paling tepat adalah gangguan tingkah laku (behavior disorder). Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 1977 menetapkan batasan anak tunalaras adalah anak yang berumur 6 – 17 tahun dengan karakteristik bahwa anak tersebut mengalami gangguan emosi dan berkelainan tingkah laku sehingga kurang dapat menyesuaikan diri dengan baik terhadap lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Sehingga dapat dipahami bahwa anak usia dini baru dapat dikatakan mengalami gangguan ketunalarasan adalah ketika mereka memasuki usia 6 – 8 tahun.
Sedangkan Kauffman dikutip oleh Sutjihati Somantri mengemukakan batasan mengenai anak-anak yang mengalami gangguan perilaku “sebagai anak yang secara nyata dan menahun merespon lingkungan tanpa ada kepuasan pribadi namun masih dapat diajarkan perilaku-perilaku yang dapat diterima oleh masyarakat dan dapat memuaskan pribadinya”
Berdasarkan berbagai definisi yang telah dikemukakan, maka Sutjiani Somantri mendefinisikan tunalaras sebagai anak yang mengalami hambatan emosi dan tingkah laku sehingga kurang dapat atau mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan baik terhadap lingkungannya dan hal ini mengganggu situasi belajarnya .
Dilihat dari definisinya, maka yang termasuk dalam tunalaras adalah bentuk agresivitas, mencuri, berbohong, melanggar norma. Sedangkan menurut Sutjiahati Somantri, untuk memudahkan pelayanan dan pengorganisasian pendidikan anak tunalaras, maka perlu diadakan klasifikasi. S.A. Bratanata mengemukakan bahwa “anak tunalaras dicirikan oleh seberapa jauh anak itu terlihat dalam tindakan kenakalan, tingkat kelaianan emosinya, dan status sosialnya”
Secara garis besar, anak tunalaras dapat diklasifikasikan sebagai anak yang mengalami kesukaran dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial, dan yang mengalami gangguan emosi. Tiap jenis anak tersebut dapat dibagi lagi sesuai dengan berat dan ringannya kelainan yang dialaminya.
Sehubungan dengan itu, Willian M. Cruickshank mengemukakan bahwa mereka yang mengalami hambatan sosial dapat diklasifikasikan ke dalam kategori berikut ini:
a. The semi-sosialize child
Anak yang termasuk kelompok ini dapat mengadakan hubungan sosial tetapi terbatas pada lingkungan tertentu, misalnya: keluarga dan kelompoknya. Keadaan ini terjadi pada anak yang datang dari lingkungan yang menganut norma-norma tersendiri, yang mana norma tersebut bertentangan dengan norma yang berlaku di masyarakat. Di lingkungan sekolah, karena perilaku mereka sudah diarahkan oleh kelompoknya, maka seringkali menunjukkan perilaku memberontak karena tidak mau terikat oleh peraturan di luar kelompoknya. Dengan demikian anak selalu merasakan ada suatu masalah dengan lingkungan di luar kelompoknya.
b. Children arrested at a primitive level or sosialization
Anak pada kelompok ini dalam perkembangan sosialnya berhenti pada level atau tingkatan yang rendah. Mereka adalah anak yang tidak pernah mendapat bimbingan ke arah sikap sosial dan terlantar dari pendidikan, sehingga ia melakukan apa saja yang dikehendakinya. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya perhatian dari orang tua, yang berakibat pada perilaku anak kelompok ini cenderung dikuasai oleh dorongan nafsu saja. Meskipun demikian mereka masih dapat memberikan respon pada perlakuan yang ramah.
c. Children with minimun sosialization capacity
Anak pada kelompok ini tidak mempunyai kemampuan sama sekali untuk belajar sikap-sikap sosial. Ini disebabkan oleh pembawaan atau kelainan atau anak tidak pernah mengenal hubungan kasih sayang sehingga anak pada golongan ini banyak yang bersikap apatis dan egois.
Gangguan sosial, emosional, dapat dikonseptualisasikan sebagai suatu yang fokus di dalam diri anak. Suatu harapan dan cita-cita dari para orang tua, guru, maupun masyarakat pada umumnya untuk memiliki anak-anak yang sehat jasmani dan rohani. Betapa tenang dan tentramnya hati bila melihat anak-anak bermain dengan riang gembira, pandai,tekun dalam belajar dan bekerja, bebas dan lincah dalam mengutarakan buah pikiran dan kreativitasnya.
Harapan ini tentu menyangkut pertumbuhan dan perkembangan yang paling optimal dari segi fisik, emosi, mental dan sosial setiap anak. Tetapi suatu kenyataan yang tidak dapat dipungkiri adalah danya sejumlah anak yang memperlihatkan perilaku sumbang, bertingkah laku yang tidak sesuai dengan norma yang berlaku, baik norma budaya, norma umur,norma kecakapan/keterampilan maupun norma sosial yang berlaku dalam lingkungan di mana anak berada. Tingkah laku mereka mengalami gangguan dan kelainan, yang biasanya lebih dirasakan oleh lingkungan daripada oleh anak sendiri .
Perkembangan emosi memainkan peran yang sedemikian penting dalam kehidupan, maka penting diketahui bagaimana perkembangan dan pengaruh emosi terhadap penyesuaian pribadi dan sosial. Sukar mempelajari emosi anak-anak karena informasi tentang aspek emosi yang subyektif hanya dapat diperoleh dengan cara introspeksi sedangkan anak-anak tidak dapat menggunakan cara tersebut dengan baik karena mereka masih berusia sedemikian muda. Bahkan sulit mempelajari reaksi emosi melalui pengamatan terhadap ekspresi yang jelas tampak, terutama ekspresi wajah dan tindakan yang berkaitan dengan emosi,karena anak-anak suka menyesuaikan diri dengan tuntutan sosial . Untuk mengetahuai apa itu gangguan perkembangan sosial emosional anak yang perlu kita ketahui terlebih dahulu yaitu pengertian gangguan. Gangguan adalah suatu kondisi yang menyebabkan ketidaknormalan pada individu yang memiliki masalah dalam menguasai keterampilan dan menunjukan kekurangan dalam berhubungan dengan orang lain . Selanjutnya perkembangan sosial emosi anak usia dini yaitu perkembangan yang berkaitan dengan emosi,kepribadian, dan hubungan interpersonal. Selama tahun kanak-kanak awal, perkembangan sosial emosi berkisar tentang sosialisas, yaitu proses ketika anak mempelajari nilai-nilai dan perilaku yang diterima dari masyarakat . Pada usia tersebut , terdapat tiga tujuan dalam perkembangan sosial emosional anak, yaitu:
1. Mencapai sense of self atau pemahaman diri serta berhubungan dengan orang lain
2. Bertanggung jawab terhadap diri sendiri meliputi kemampuan untuk mengikuti aturan dan rutinitas, menghargai orang lain, dan mengambil inisiatif
3. Menampilkan perilaku sosial , seperti empati, berbagi,dan menunggu giliran.
Gangguan sosial emosi dapat terjadi pada setiap individu dari semua usia. Keadaan tersebut biasanya ditandai dengan cirri-ciri tertentu, khususnya yang berhubungan dengan kondisi emosi. Sepanjang kehidupan, kondisi emosi kita memang tidak tetap, kadang naik atau turun. Tetapi, pada orang-orang tertentu, mereka lebih banyak mengalami kondisi emosi negatif. Kondisi ini akan mempengaruhi kualitas hidup dan kemampuan mereka mengatasi persoalan sehari-hari serta tugas perkembangan yang mereka jalani.
Kebanyakan masalah sosial dan emosi dianggap sebagai hasil faktor lingkungan,seperti penyiksaan terhadap anak, pengasuhan yang tidak konsisten, kondisi hidup yang penuh tekanan, lingkungan yang penuh dengan kekerasan,atau penggunaan alcohol dan kekerasan fisik yang terjadi dalam keluarga. Pada saat yang bersamaan, penyebab biologis, seperti faktor keturunan, ketidakseimbangan zat-zat kimia dalam tubuh, kerusakan jaringan otak, dan penyakit yang diserita juga berperan dalam masalah perkembangan sosial dan emosi ( Cicchetti & Toth dalam Rini Hildayani) .
Menurut Undang-Undang bagi Pendidikan Individu Penyandang cacat (IDEA) bahwa gangguan sosial emosi yaitu ketidak mampuan atau mengatur hubungan interpersonal yang memuaskan dengan teman sebaya dan guru .
Rolf, edelbrock dan Strauss menemukan bahwa anak-anak dengan masalah perkembangan sosial emosi cenderung memiliki hambatan yang besar dalam pertemanan, penyesuaian sosial, tingkah laku dan dan akademis apabila dibandingkan dengan kelompok anak yang normal. Anak-anak dengan gangguan ini dianggap beresiko terhadap sifat tersisih secara sosial, terisolasi penarikan diri, pemalu dan kesepian .
Dari penjelasan mengenai gangguan, perkembangan sosial emosi secara umum maka disintesiskan gangguan perkembangan sosial emosi anak usia dini yaitu ketidaknormalan yang menghambat perkembangan anak usia dini kaitannya dalam mengelola emosi, kepribadian, dan hubungan interpersonal anak dengan orang lain.
Emosi merupakan sesuatu yang muncul setiap hari, bahkan setiap saat dalam kehidupan kita. Emosi merupakan suatu pola yang kompleks dari perubahan yang terdiri dari reaksi fisiologis, perasaan-perasaan yang subyektif, proses kognitif, dan reaksi perilaku, yang semuanya itu merupakan respon atas situasi yang kita terima (Duffy, 2002) Kita mengenal beberapa emosi dasar, yaitu kegembiraan, kesedihan, ketakutan, kemarahan. . Selain itu kita juga mengenal adanya emosi positif, seperti kegembiraan, dan emosi negatif, seperti kemarahan dan kesedihan. Kemampuan untuk bereaksi secara emosional sudah ada pada bayi yang baru lahir. Gejala pertama perilaku emosional ialah keterangsangan umum terhadap stimulasi yang kuat.
a. Pola emosi Positif
Pola emosi positif adalah yang berasal dari suatu kondisi yang menguntungkan Frederickson, Mayne dan Bonnano mencatat bahwa banyak emosi positif dengan mudah diidentifikasi dalam kecenderungan aksi. Emosi positif secara sederhana diidentifikasi sebagai sesuatu yang baik atau diiginkan. Emosi positif terdiri dari perhatian atau minat, surprise atau kekaguman, dan kegembiraan .
b. Pola emosi Negatif
Sedangkan pola emosi negatif menurut Lazarus (1991) berasal dari hubungan yang mengancam atau kondisi yang menyakitkan. Reaksi emosi negative terdiri dari marah, kecemasan, rasa malu, kesedihan, cemburu, merasa takut, dan cemburu .
B. Jenis-jenis Gangguan Perkembangan Sosial dan Emosional Anak Usia Dini
Terdapat banyak jenis gangguan perkembangan sosial dan emosional pada anak usia dini, bahkan setiap anak yang memiliki gangguan pada aspek perkembangan fisik-motorik, perkembangan kognitif, perkembangan bahasa, dan perkembangan moral pun juga selalu memiliki gangguan pada sosial dan emosional masing-masing. Misalnya anak yang memiliki gangguan pada fisiknya berupa cacat fisik (tuna daksa) baik dari lahir maupun ketika sudah bertumbuh besar, dia memiliki ketidaknormalan pada perkembangan sosial dengan orang lain dan emosional mereka. Mereka merasakan bahwa dia berbeda dari teman kebanyakan membutuhkan kemampuan penerimaann yang baik dan keiklhasan yang lebih. Tentunya hal ini membutuhkan bantuan orang lain terutama orang dewasa terdekatnya, yakni orang tua. Namun, apabila orang tua pun tidak memiliki kemampuan mengelola emosi dengan baik sehingga orang tua pun tidak mampu menerima kondisi anak tersebut, maka hal ini akan sangat berpengaruh terhadap perkembangan sosial dan emosional anaknya. Demikian pula pada anak-anak yang memiliki gangguan-gangguan lain sehingga mereka dikatakan children with special needs seperti tuna grahita, tuna rungu, learning dissability, dan sebagainya masing-masing mereka memiliki kondisi perkembangan sosial dan emosional yang tidak selalu seperti anak lain yang tanpa gangguan pada perkembangannya.
Gangguan-gangguan perkembangan sosial dan emosi yang muncul seringkali berangkat dari pola-pola emosi yang dikenal baik itu emosi positif maupun emosi negatif. Seperti misalnya emosi negatif berupa marah atau menangis, anak perlu dikenalkan dengan ekspresi marah dan menangis namun ketika emosi tersebut diungkapkan dalam suatu perilaku yang muncul secara berlebihan sehingga menjadi tantrum misalnya, maka hal ini dikatakan sebagai suatu gangguan. Demikian pula pada emosi positif seperti optimis dan percaya diri. Ketika emosi optimis dan percaya diri tersebut muncul secara berlebih maka dapat mengarah pada perilaku yang cenderung abisius, sombong, pada akhirnya dapat mendorong seorang anak untuk melakukan segala cara sekalipun cara tersebut dapat merugikan diri sendiri dan orang lain. Hal itu disebut sebagai sesuatu yang mengalami gangguan dan perkembangan emosional, dan ketika perilaku emosi yang muncul itu melibatkan interaksi sosial mereka dengan orang lain, maka hal tersebut dapat dikatakan menjadi gangguan sosial.
Hasil survey yang dilakukan oleh Izzaty dalam Mashar di Taman Kanak-kanak ditemukan adanya beberapa permasalahan emosi atau gangguan emosi yang umumnya sering terjadi pada anak usia Taman Kanak-kanak yaitu agresvitas, kecemasan, temper tantrum, menarik diri (withdrawal), enuresis dan encopresis, berbohong, menangis berlebihan, kebergantungan, pemalu, dan takut berlebihan. Hasil survey ini dipertegas dengan hasil penelitian mengenai masalah-masalah perilaku pada anak usia dini. Masalah yang paling banyak muncul terdapat pada area conduct/restless yang salah satunya adalah perilaku agresif, kemudian disusul dengan permasalahan pada area emotional/miserable, dan terakhir permaslaahn yang termasuk area isolated/immature.
Mashar membatasi jenis gangguan tersebut pada ranah gangguan emosi yang sering muncul dan ditambahkan dari buku Nugraha dan Rachmawati serta Plutchik yang keseluruhannya disebutkan ke dalam jenis gangguan emosi antara lain: agresivitas, kecemasan, temper tantrum, menarik diri, takut berlebihan, kekurangan afeksi, dan hipersensitivitas.
Jefery S. Nevid, dkk menyebutkan beberapa gangguan kecemasan (anxciety) yang menjadi bagian dari gangguan perkembangan emosional memiliki beberapa penggolongan, antara lain: gangguan panik, gangguan kecemasan menyeluruh, gangguan fobia (ketakuran berlebih), gangguan obsesif-impulsif, gangguan stress akut dan gangguan stress pascatrauma. Di samping itu juga gangguan emosi selain kecemasan menurut Nevid juga ada gangguan mood dan bunuh diri, dengan tipe-tipe gangguan mood yang berupa gangguan depresi (unipolar) berupa gangguan depresi mayor dan gangguan distimik, gangguan perubahan mood (bipolar) yang berupa bipolar dan gangguan siklotimik. Namun secara terbatas, dalam makalah ini akan dibahas berkaitan dengan kecemasan yang sering dan mungkin terjadi pada anak usia dini.
Hewar & Orlansky seperti yang dikutip oleh Jamaris megatakan bahwa Quay mengumpulkan sejumlah besar data yang berkaitan dengan kelaian perilaku yang ditunjukkan anak, dan penilaian guru dan orangtua terhadap perilaku tersebut melalui angket yang disebarkan pada anak. Berdasarkan hasil analisis data yang dikumpulkan, mereka menemukan bahwa kelainan perilaku cenderung dilakukan anak secara berkelompok dalam kelompok kecil. Pada akhirnya Quay dan kawan-kawannya mengklasifikasikan kelainan perilaku ke dalam empat kelompok, yakni: conduct behavior, personality disorder, immaturity, dan sosialized deliquency.
Conduct behavior merupakan kelainan perilaku yang meliputi menentang, merusak, memicu perkelahian, angkuh, pemarah, dan tantrum. Personality disorder meliputi perilaku suka menyendiri, cemas, depresi, rendah diri, merasa bersalah, pemalu, dan tidak bahagia. Immaturity ditandai dengan perilaku yang tidak dapat memusatkan perhatian dalam waktu yang relatif lama, sangat pasif, pengkgayal, lebih menyukai bermain dengan anak yang lebih muda usianya, kaku atau aneh. Sedangkan sosialized deliquency menunjukkan perilaku suka bolos sekolah, anggota gang, pencuri dan merasa bangga terhadap kelompok lain.
Gangguan emosional yang paling lazim didiagnosis dalam masa kanak-kanak adalah gangguan perilaku distruptif [menunjukkan agresi, penyimpangan, atau perilaku antisosial (distruptif behavior disorder)] dan gangguan kecemasan atau mood (perasaan sedih, tidak dicintai, gugup, takut, atau kesepian). Beberapa masalah terlihat berhubungan dengan fase tertentu dari kehidupan anak dan menghilang dengan sendirinya, tetapi yang lain perlu dirawat untuk mencegah masalah di masa yang akan datang (Achenbacg & Howell; USDHHS).
Meskipun gangguan sosial dan emosional yang kemudian berkembang menjadi istilah emotional and behavior disorders ini memiliki makna yang sangat luas secara definitif, akan tetapi penulis mencoba membatasi dan mengklasifikasikan jenis-jenis gangguan sosial dan emosional yang dapat dan seringkali terjadi pada anak usia dini antara lain sebagai berikut:
1. Tunalaras
Anak yang mengalami gangguan tingkah laku lebih dikenal dengan istilah tunalaras. Samapi saat ini memang belum ada definisi yang dapat diterima secara umum mengenai anak tunalaras yang dapat memuaskan smua pihak. Pada kenyataannya, batasan atau definisi yang dikemukakan oleh para profesional dan para ahli yang berkaitan dengan masalah ini berbeda-beda sesuai dengan sudut pandang disiplin ilmu masing-masing untuk keperluan profesionalnya. Meskipun demikian, dari seluruh definisi yang dikemukakan oleh para ahli, semua menganggap sama bahwa tunalaras menampakkan suatu perilaku penentangan yang terus-menerus kepada masyarakat, kehancuran suatu pribadi, serta kegagalan dalam belajar di sekolah.
Anak tunalaras sering juga disebut anak tunasosial karena tingkah laku anak ini menunjukkan penentangan terhadap norma-norma sosial masyarakat yang berwujud seperti mencuri, mengganggu, dan menyakiti orang lain. Dengan kata lain menyusahkan lingkungan. Akan tetapi, ada juga anak yang tidak mengganggu sama sekali atau sama sekali tidak merugikan orang lain seperti menyendiri, memiliki kebiasaan menyimpang, merusak diri sendiri, dan berpakaian aneh dipertanyakan apakah termasuk katergori antisosial atau tidak. Pertanyaan tersebut menimbulkan anggapan lain, di mana letak kesalahan dianggap terdapat pada aspek perasaan sehingga tunasosial dinyatakan juga sebagai gangguan emsosi.
Istilah gangguan emosi yang dipakai untuk menyebut mereka yang tunasosial masih sering juga dipersoalkan. Sehingga kemudian muncul pertanyaan apakah setiap perilaku antisosial selalu mengandung gangguan emosi atau apakah semua perilaku antisosial selalu merupakan manifestasi dari gangguan emosi? Dari hal itu timbul gagasan bahwa istilah yang paling tepat adalah gangguan tingkah laku (behavior disorder). Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 1977 menetapkan batasan anak tunalaras adalah anak yang berumur 6 – 17 tahun dengan karakteristik bahwa anak tersebut mengalami gangguan emosi dan berkelainan tingkah laku sehingga kurang dapat menyesuaikan diri dengan baik terhadap lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Sehingga dapat dipahami bahwa anak usia dini baru dapat dikatakan mengalami gangguan ketunalarasan adalah ketika mereka memasuki usia 6 – 8 tahun.
Sedangkan Kauffman dikutip oleh Sutjihati Somantri mengemukakan batasan mengenai anak-anak yang mengalami gangguan perilaku “sebagai anak yang secara nyata dan menahun merespon lingkungan tanpa ada kepuasan pribadi namun masih dapat diajarkan perilaku-perilaku yang dapat diterima oleh masyarakat dan dapat memuaskan pribadinya”
Berdasarkan berbagai definisi yang telah dikemukakan, maka Sutjiani Somantri mendefinisikan tunalaras sebagai anak yang mengalami hambatan emosi dan tingkah laku sehingga kurang dapat atau mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan baik terhadap lingkungannya dan hal ini mengganggu situasi belajarnya .
Dilihat dari definisinya, maka yang termasuk dalam tunalaras adalah bentuk agresivitas, mencuri, berbohong, melanggar norma. Sedangkan menurut Sutjiahati Somantri, untuk memudahkan pelayanan dan pengorganisasian pendidikan anak tunalaras, maka perlu diadakan klasifikasi. S.A. Bratanata mengemukakan bahwa “anak tunalaras dicirikan oleh seberapa jauh anak itu terlihat dalam tindakan kenakalan, tingkat kelaianan emosinya, dan status sosialnya”
Secara garis besar, anak tunalaras dapat diklasifikasikan sebagai anak yang mengalami kesukaran dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial, dan yang mengalami gangguan emosi. Tiap jenis anak tersebut dapat dibagi lagi sesuai dengan berat dan ringannya kelainan yang dialaminya.
Sehubungan dengan itu, Willian M. Cruickshank mengemukakan bahwa mereka yang mengalami hambatan sosial dapat diklasifikasikan ke dalam kategori berikut ini:
a. The semi-sosialize child
Anak yang termasuk kelompok ini dapat mengadakan hubungan sosial tetapi terbatas pada lingkungan tertentu, misalnya: keluarga dan kelompoknya. Keadaan ini terjadi pada anak yang datang dari lingkungan yang menganut norma-norma tersendiri, yang mana norma tersebut bertentangan dengan norma yang berlaku di masyarakat. Di lingkungan sekolah, karena perilaku mereka sudah diarahkan oleh kelompoknya, maka seringkali menunjukkan perilaku memberontak karena tidak mau terikat oleh peraturan di luar kelompoknya. Dengan demikian anak selalu merasakan ada suatu masalah dengan lingkungan di luar kelompoknya.
b. Children arrested at a primitive level or sosialization
Anak pada kelompok ini dalam perkembangan sosialnya berhenti pada level atau tingkatan yang rendah. Mereka adalah anak yang tidak pernah mendapat bimbingan ke arah sikap sosial dan terlantar dari pendidikan, sehingga ia melakukan apa saja yang dikehendakinya. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya perhatian dari orang tua, yang berakibat pada perilaku anak kelompok ini cenderung dikuasai oleh dorongan nafsu saja. Meskipun demikian mereka masih dapat memberikan respon pada perlakuan yang ramah.
c. Children with minimun sosialization capacity
Anak pada kelompok ini tidak mempunyai kemampuan sama sekali untuk belajar sikap-sikap sosial. Ini disebabkan oleh pembawaan atau kelainan atau anak tidak pernah mengenal hubungan kasih sayang sehingga anak pada golongan ini banyak yang bersikap apatis dan egois.
Demikian pula dengan anak yang mengalami gangguan emosi, mereka dapat diklasifikasikan menurut berat atau ringannya masalah atau gangguan yang dialaminya. Anak-anak ini mengalami kesulitan dalam menyesuaikan tingkah laku dengan lingkungan sosialnya karena ada tekanan-tekanan dari dalam dirinya. Adapun anak yang mengalami gangguan emosi diklasifikasikan sebagi berikut:
a. Neurotic behavior (perilaku neurotik)
Anak pada kelompok ini masih bisa bergaul dengan orang lain, akan tetapi mempunyai permasalahan pribadi yang tidak mampu diselesaikannya. Mereka sering dan mudah sekali dihinggapi perasaan sakit hati, perasaan marah, semas dan agresif, serta rasa bersalah di samping juga kadang-kadang mereka melakukan tindakan lain seperti yang dilakukan oleh anak unsosialized (mencuri, bermusuhan). Anak pada kelompok ini dapat dibantu dengan terapi seorang konselor. Keadaan neurotik ini biasanya disebabkan oleh keadaan atau sikap keluarga yang menolak atau sebaliknya, terlalu memanjakan anak serta pengaruh pendidikan yaitu karena kesalahan pengajaran atau juga adanya kesulitan belaajr yang berat.
a. Neurotic behavior (perilaku neurotik)
Anak pada kelompok ini masih bisa bergaul dengan orang lain, akan tetapi mempunyai permasalahan pribadi yang tidak mampu diselesaikannya. Mereka sering dan mudah sekali dihinggapi perasaan sakit hati, perasaan marah, semas dan agresif, serta rasa bersalah di samping juga kadang-kadang mereka melakukan tindakan lain seperti yang dilakukan oleh anak unsosialized (mencuri, bermusuhan). Anak pada kelompok ini dapat dibantu dengan terapi seorang konselor. Keadaan neurotik ini biasanya disebabkan oleh keadaan atau sikap keluarga yang menolak atau sebaliknya, terlalu memanjakan anak serta pengaruh pendidikan yaitu karena kesalahan pengajaran atau juga adanya kesulitan belaajr yang berat.
b. Children with psychotic processes
Anak pada kelompok ini mengalami gangguan yang paling berat sehingga memerlukan penanganan yang lebih khusus. Mereka sudah menyimpang dari kehidupan yang nyata, sudah tidak memiliki kesadaran diri serta tidak memiliki identitas diri. Adanya ketidaksadaran ini disebabkan oleh gangguan pada sistem syaraf sebagai akibat dari keracunan. Misalnya: minuman keras dan obat-obatan. Oleh karena itulah usaha penanggulannya lebih sult karena anak tidak dapat berkomunikasi, sehingga layanan pendidikan harus disesuaikan dengan kemajuan terapi dan dilakukan pada setiap kesempatan yang memungkinkan.
Anak pada kelompok ini mengalami gangguan yang paling berat sehingga memerlukan penanganan yang lebih khusus. Mereka sudah menyimpang dari kehidupan yang nyata, sudah tidak memiliki kesadaran diri serta tidak memiliki identitas diri. Adanya ketidaksadaran ini disebabkan oleh gangguan pada sistem syaraf sebagai akibat dari keracunan. Misalnya: minuman keras dan obat-obatan. Oleh karena itulah usaha penanggulannya lebih sult karena anak tidak dapat berkomunikasi, sehingga layanan pendidikan harus disesuaikan dengan kemajuan terapi dan dilakukan pada setiap kesempatan yang memungkinkan.
Sudah jelas bahwa dengan demikian anak pada kelompok neurotik, mengalami gangguan yang sifatnya fungsional, sedangkan pada kelompok psikotis di samping mengalami gangguan fungsional, anak juga mengalami gangguan yang sifatnya organis. Oleh karena itu, anak-anak yang termasuk psikotis kadang-kadang memerlukan perawatan medis.
Salah satu bentuk ketunalarasan adalah agresivitas. Izzaty seperti yang dikutip oleh Mashar memaparkan agresivitas sebagai istilah umum yang dikaitkan dengan adanya perasaan-perasaan marah atau permusuhan atau tindakan melukai orang lain baik dengan tindakan kekerasan secara fisik, verbal, maupun menggunakan ekspresi wajah dan gerakan tubuh yang mengancam atau merendahkan. Tindakan agresi pada umumnya merupakan tindakan yang disengaja oleh pelaku untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Ada dua tujuan utama agresi yang saling bertentangan satu dengan yang lain, yakni untuk membela diri di satu pihak dan di pihak lain adalah untuk meraih keunggulan dengan cara membuat lawan tidak berdaya.
Nugraha dan Rachmawati mendefinisikan agresivitas sebagai tingkah laku menyerang baik secara fisik maupun verbal atau baru berupa ancaman yang disebabkan adanya rasa permusuhan dan frustasi. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa agresivitas merupakan tindakan menyerang baik fisik, verbal, maupun ekspresi wajah yang mengancam atau merendahkan untuk mencapai tujuan tertentu, yang didasari adanya perasaan permusuhan atau frustasi.
Agresivitas pada anak TK memiliki beberapa bentuk umum. Yang paling sering muncul adalah bentuk verbal, misalnya dengan mengeluarkan kata-kata “kotor” yang terkadang anak tidak selalu mengerti maknanya. Kedua, agresi dalam bentuk tindakan fisik. Misalnya dengan menggigit, menendang, mencubit, mencakar, memukul, dan semua tindakan fisik yang bertujuan untuk menyakiti fisik. Biasanya sasaran perilaku agresi ini adalah orang-orang dekat yang ada di sekitar anak, seperti orang tua, pengasuh, pendidik, teman, dan objek fisik lain seperti tembok, lemari, sarana sekolah, atau sasaran lainnya.
Agresivitas pada anak usia dini dapat berdampak psikologis dan sosial. Dampak psikologis yang mungkin muncul berupa kecenderungan untuk meningkatkan perilaku agresi baik dalam frekuensi maupun intensitas jika perilaku tidak ditangani secara efektif. Selain itu, perilaku agresi juga dapat menyebabkan anak cenderung menjadi antisosial karena ketidakmampuannya menahan emosi dan lebih terjebak dalam perilaku-perilaku impulsif. Selain dampak psikologis, dampak sosial bagi perilaku agresi anak juga dapat mengakibatkan anak cenderung dikucilkan dan ditakuti oleh teman-teman sebayanya.
Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk menetapkan tunalaras , yaitu:
1. Psikotes
Psikotes dilakukan untuk mengetahui kematangan sosial dan gangguan emosi. Sedangkan alat tes yang lain yaitu tes proyektif yang memiliki beberapa jenis tes yaitu :
Salah satu bentuk ketunalarasan adalah agresivitas. Izzaty seperti yang dikutip oleh Mashar memaparkan agresivitas sebagai istilah umum yang dikaitkan dengan adanya perasaan-perasaan marah atau permusuhan atau tindakan melukai orang lain baik dengan tindakan kekerasan secara fisik, verbal, maupun menggunakan ekspresi wajah dan gerakan tubuh yang mengancam atau merendahkan. Tindakan agresi pada umumnya merupakan tindakan yang disengaja oleh pelaku untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Ada dua tujuan utama agresi yang saling bertentangan satu dengan yang lain, yakni untuk membela diri di satu pihak dan di pihak lain adalah untuk meraih keunggulan dengan cara membuat lawan tidak berdaya.
Nugraha dan Rachmawati mendefinisikan agresivitas sebagai tingkah laku menyerang baik secara fisik maupun verbal atau baru berupa ancaman yang disebabkan adanya rasa permusuhan dan frustasi. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa agresivitas merupakan tindakan menyerang baik fisik, verbal, maupun ekspresi wajah yang mengancam atau merendahkan untuk mencapai tujuan tertentu, yang didasari adanya perasaan permusuhan atau frustasi.
Agresivitas pada anak TK memiliki beberapa bentuk umum. Yang paling sering muncul adalah bentuk verbal, misalnya dengan mengeluarkan kata-kata “kotor” yang terkadang anak tidak selalu mengerti maknanya. Kedua, agresi dalam bentuk tindakan fisik. Misalnya dengan menggigit, menendang, mencubit, mencakar, memukul, dan semua tindakan fisik yang bertujuan untuk menyakiti fisik. Biasanya sasaran perilaku agresi ini adalah orang-orang dekat yang ada di sekitar anak, seperti orang tua, pengasuh, pendidik, teman, dan objek fisik lain seperti tembok, lemari, sarana sekolah, atau sasaran lainnya.
Agresivitas pada anak usia dini dapat berdampak psikologis dan sosial. Dampak psikologis yang mungkin muncul berupa kecenderungan untuk meningkatkan perilaku agresi baik dalam frekuensi maupun intensitas jika perilaku tidak ditangani secara efektif. Selain itu, perilaku agresi juga dapat menyebabkan anak cenderung menjadi antisosial karena ketidakmampuannya menahan emosi dan lebih terjebak dalam perilaku-perilaku impulsif. Selain dampak psikologis, dampak sosial bagi perilaku agresi anak juga dapat mengakibatkan anak cenderung dikucilkan dan ditakuti oleh teman-teman sebayanya.
Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk menetapkan tunalaras , yaitu:
1. Psikotes
Psikotes dilakukan untuk mengetahui kematangan sosial dan gangguan emosi. Sedangkan alat tes yang lain yaitu tes proyektif yang memiliki beberapa jenis tes yaitu :
a. Tes Rorchach
Tes ini memberikan gambaran mengenai keseluruhan kepribadian, kelainan dan perlunya psikoterapi. Gambaran ini ditafsirkan dari reaksi anak terhadap gambar-gambar yang terbuat dari tetesan tinta.
b. Thematic Apperception Test (TAT)
Tes ini memperlihatkan berbagai situasi-emosi dalam bentuk gambar-gambar. Gambaran kepribadian nampak dari tafsiran anak mengenai situasi emosi tersebut untuk itu disediakan skala khusus.
c. Tes Gambar Orang
Dalam tes ini persoalan-persoalan emosi nampak dari gambar yang harus dibuat oleh anak. Gambarnya ialah seorang laki-laki dan seorang perempuan.
d. Dispert Fable Tes
Tes ini memberikan gambaran mengenai: iri hati, rasa dosa, rasa cemas, tanggapan terhadap diri sendiri, ketergantungan kepada orang tua, dan sebagainya.
Tes ini memberikan gambaran mengenai keseluruhan kepribadian, kelainan dan perlunya psikoterapi. Gambaran ini ditafsirkan dari reaksi anak terhadap gambar-gambar yang terbuat dari tetesan tinta.
b. Thematic Apperception Test (TAT)
Tes ini memperlihatkan berbagai situasi-emosi dalam bentuk gambar-gambar. Gambaran kepribadian nampak dari tafsiran anak mengenai situasi emosi tersebut untuk itu disediakan skala khusus.
c. Tes Gambar Orang
Dalam tes ini persoalan-persoalan emosi nampak dari gambar yang harus dibuat oleh anak. Gambarnya ialah seorang laki-laki dan seorang perempuan.
d. Dispert Fable Tes
Tes ini memberikan gambaran mengenai: iri hati, rasa dosa, rasa cemas, tanggapan terhadap diri sendiri, ketergantungan kepada orang tua, dan sebagainya.
Yang berhak melakukan psikotes dan mengumumkannya adalah psikolog, psikiater, dan counselor, atau orang lain di bawah bimbingannya. Tenaga-tenaga ini ada yang membuka praktek sendiri, ada pula yang tidak membuka praktek sendiri tetapi bekerja di Fakultas Psikologi, Fakultas Kedokteran, Lembaga Kesehatan Jiwa, Balai Bimbingan dan Penyuluhan, Biro Konsultasi Psikologi, dan sebagainya.
2. Sosiometri
Sosiometri adalah alat tes yang digunakan untuk melihat/ mengetahui suka atau tidaknya seseorang. Caranya ialah tanyakan kepada para anggota kelompok siapa diantara anggotanya yang mereka sukai. Setiap anggota hendaknya memilih menurut pilihannya sendiri. Dari jawaban itu akan diketahui siapa yang lain disukai oleh para anggota.
Perlu diperingatkan bahwa hasil-hasil sosiometri adalah hasil sementara yang perlu ditelaah lebih lanjut. Anak yang terpencil dalam suatu saat belum tentu anak yang tunalaras, bahkan mungkin tidak terpencil lagi dalam sosiometri berikutnya. Walaupun demikian, sosiometri dapat dipakai bersama-sama dengan cara yang lain.
3. Membandingkan dengan tingkah laku anak pada umumnya
Keadaan tunalaras dapat diketahui dengan jalan membandingkan tingkah laku anak dengan tingkah laku anak pada umumnya. Pekerjaan membandingkan boleh dilakukan oleh setiap orang dewasa.
Anak yang jahat dapat diketahui jahatnya oleh masyarakat. Demikian juga anak yang tidak jahat tetapi kelakuannya tidak sesuai dengan norma yang berlaku, diketahui oleh masyarakat. Masyarakat mempunyai ketentuan-ketentuan untuk menetapkan jahat dan tidaknya atau serasi dan tidaknya tingkah laku para anggotanya. Siapa yang melanggar ketentuan ini akan dibenci, dimarahi, diasingkan, malah ditindak, tetapi yang baik akan dihargai , diterima kehadirannya malah dipuji.
Adanya gangguan emosi dan gangguan sosial karena penyesuaian yang salah (maladjustment) tanda-tandanya antara lain :
a. Hubungan antar keluarga, teman sepermainan, teman sekolah, ditanggapi dengan tidak menyenangkan.
b. Segan bergaul, terasing.
c. Suka melarikan diri dari tanggung-jawab.
d. Menangis, kecewa, berdusta, menipu, mencuri, menyakiti hati dan sebagainya, atau sebaliknya, sangat ingin dipuji, tak pernah menyulitkan orang lain dan sebagainya.
e. Penakut dan kurang percaya pada diri sendiri.
f. Tidak mempunyai inisiatif dan tanggung jawab, kurang keberanian dan sangat tergantung pada orang lain.
g. Agresif terhadap diri sendiri, curiga, acuh tak acuh, banyak hayal.
h. Memperlihatkan perbuatan gugup misalnya: menggigit kuku, komat-kamit, dan sebagainya.
Anak tunalaras memiliki rasa harga diri kurang dengan tanda-tanda antara lain :
a. Terlalu mempersoalkan kekurangan diri, sering minta maaf, takut tampil di muka umum, takut bicara dan sebagainya.
b. Mengeluh dengan nada nasib malang.
c. Segan melakukan hal-hal yang baru atau yang dapat mengungkapkan kekurangannya.
d. Selalu ingin sempurna, tidak puas dengan apa yang telah diperbuat.
e. Sikap introvert (lebih banyak mengarahkan perhatian kepada diri sendiri).
Adapun rasa harga diri kurang yang tersembunyi, antara lain:
a. Bernada murung, cepat merasa tersinggung.
b. Merasa tidak enak badan, sakit buatan, dan sebagainya.
c. Berpura-pura lebih dari orang lain: menonjolkan diri, bicara lantang, merendahkan orang lain.
d. Membuat kompensasi.
e. Menjalankan perbuatan jahat.
4. Memeriksakan ke Biro Konsultasi Psikolog
Kadang-kadang kita tidak dapat membedakan apakah seorang anak tunalaras atau bukan. Dalam hal demikian kita dapat meminta bantuan Biro Konsultasi Psikolog, karena biro tersebut melibatkan tenaga ahli yang terkait. Wewenang biro ini terutama adalah menentukan apakah seseorang mengalami gangguan emosi social atau tidak.
Setelah selesai ditelaah dan dianalisa biro tersebut akan bersedia memberikan petunjuk terarah mengenai anak tersebut, misalnya meminta agar kita lebih mendekati anak, menitipkannya di salah satu lembaga pendidikan, dan sebagainya. Kalau perlu, biro juga akan membuat keterangan agar dapat dipakai oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
5. Memeriksakan ke Klinik Psikiatri Anak
Bentuk usaha lain untuk mengetahui anak tunalaras adalah dengan memeriksakan ke klinik psikiatri anak. Tugas pokoknya ialah melakukan usaha rehabilitasi dan penyembuhan terhadap mereka yang mengalami kelainan psikis, tetapi juga dapat menetapkan apakah seseorang mempunyai kelainan tunalaras atau tidak.
Dalam surat keterangan yang dikeluarkan oleh klinik psikiatri anak menyebutkan istilah antara lain: anxiety hysteria, conversion hysteria, sexual perversion, obsessional neurosis, psychose anak dll dengan arti istilah-istilah tersebut adalah:
a. Anxiety hysteria: merasa takut pada sesuatu atau pada seseorang tanpa alasan yang dapat diterima. Perasaan ini lahir dari usaha menekan hasrat-hasrat yang sifatnya naluriah.
b. Conversion hysteria: mempunyai gangguan pada fungsi beberapa anggota tubuh, perbuatan gangguan pada pendirian. Gangguan tersebut lahir dari usaha yang lama menekan hasrai-hasrat yang sifatnya naluriah.
c. Obsessional neurosis: cepat menuduh, banyak dalih, menutup diri, kaku berjalan, dan sebagainya. Ini semua adalah pernyataan dari hati yang sangat sensitive dan takut diserang. Hal ini juga timbul dari usaha menoleh sesuatu hasrat.
d. Sexual perversion: suka menikmati sexual secara tidak wajar, seperti mengintip, melakukan hubungan dengan teman sejenis.
e. Character neuroses: perubahan tingkah laku yang lahir dari konflik batin yang tidak mendapat penyelesaian.
f. Psychose Anak: mempunyai kesulitan menyesuaikan diri terhadap segala-galanya
Sosiometri adalah alat tes yang digunakan untuk melihat/ mengetahui suka atau tidaknya seseorang. Caranya ialah tanyakan kepada para anggota kelompok siapa diantara anggotanya yang mereka sukai. Setiap anggota hendaknya memilih menurut pilihannya sendiri. Dari jawaban itu akan diketahui siapa yang lain disukai oleh para anggota.
Perlu diperingatkan bahwa hasil-hasil sosiometri adalah hasil sementara yang perlu ditelaah lebih lanjut. Anak yang terpencil dalam suatu saat belum tentu anak yang tunalaras, bahkan mungkin tidak terpencil lagi dalam sosiometri berikutnya. Walaupun demikian, sosiometri dapat dipakai bersama-sama dengan cara yang lain.
3. Membandingkan dengan tingkah laku anak pada umumnya
Keadaan tunalaras dapat diketahui dengan jalan membandingkan tingkah laku anak dengan tingkah laku anak pada umumnya. Pekerjaan membandingkan boleh dilakukan oleh setiap orang dewasa.
Anak yang jahat dapat diketahui jahatnya oleh masyarakat. Demikian juga anak yang tidak jahat tetapi kelakuannya tidak sesuai dengan norma yang berlaku, diketahui oleh masyarakat. Masyarakat mempunyai ketentuan-ketentuan untuk menetapkan jahat dan tidaknya atau serasi dan tidaknya tingkah laku para anggotanya. Siapa yang melanggar ketentuan ini akan dibenci, dimarahi, diasingkan, malah ditindak, tetapi yang baik akan dihargai , diterima kehadirannya malah dipuji.
Adanya gangguan emosi dan gangguan sosial karena penyesuaian yang salah (maladjustment) tanda-tandanya antara lain :
a. Hubungan antar keluarga, teman sepermainan, teman sekolah, ditanggapi dengan tidak menyenangkan.
b. Segan bergaul, terasing.
c. Suka melarikan diri dari tanggung-jawab.
d. Menangis, kecewa, berdusta, menipu, mencuri, menyakiti hati dan sebagainya, atau sebaliknya, sangat ingin dipuji, tak pernah menyulitkan orang lain dan sebagainya.
e. Penakut dan kurang percaya pada diri sendiri.
f. Tidak mempunyai inisiatif dan tanggung jawab, kurang keberanian dan sangat tergantung pada orang lain.
g. Agresif terhadap diri sendiri, curiga, acuh tak acuh, banyak hayal.
h. Memperlihatkan perbuatan gugup misalnya: menggigit kuku, komat-kamit, dan sebagainya.
Anak tunalaras memiliki rasa harga diri kurang dengan tanda-tanda antara lain :
a. Terlalu mempersoalkan kekurangan diri, sering minta maaf, takut tampil di muka umum, takut bicara dan sebagainya.
b. Mengeluh dengan nada nasib malang.
c. Segan melakukan hal-hal yang baru atau yang dapat mengungkapkan kekurangannya.
d. Selalu ingin sempurna, tidak puas dengan apa yang telah diperbuat.
e. Sikap introvert (lebih banyak mengarahkan perhatian kepada diri sendiri).
Adapun rasa harga diri kurang yang tersembunyi, antara lain:
a. Bernada murung, cepat merasa tersinggung.
b. Merasa tidak enak badan, sakit buatan, dan sebagainya.
c. Berpura-pura lebih dari orang lain: menonjolkan diri, bicara lantang, merendahkan orang lain.
d. Membuat kompensasi.
e. Menjalankan perbuatan jahat.
4. Memeriksakan ke Biro Konsultasi Psikolog
Kadang-kadang kita tidak dapat membedakan apakah seorang anak tunalaras atau bukan. Dalam hal demikian kita dapat meminta bantuan Biro Konsultasi Psikolog, karena biro tersebut melibatkan tenaga ahli yang terkait. Wewenang biro ini terutama adalah menentukan apakah seseorang mengalami gangguan emosi social atau tidak.
Setelah selesai ditelaah dan dianalisa biro tersebut akan bersedia memberikan petunjuk terarah mengenai anak tersebut, misalnya meminta agar kita lebih mendekati anak, menitipkannya di salah satu lembaga pendidikan, dan sebagainya. Kalau perlu, biro juga akan membuat keterangan agar dapat dipakai oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
5. Memeriksakan ke Klinik Psikiatri Anak
Bentuk usaha lain untuk mengetahui anak tunalaras adalah dengan memeriksakan ke klinik psikiatri anak. Tugas pokoknya ialah melakukan usaha rehabilitasi dan penyembuhan terhadap mereka yang mengalami kelainan psikis, tetapi juga dapat menetapkan apakah seseorang mempunyai kelainan tunalaras atau tidak.
Dalam surat keterangan yang dikeluarkan oleh klinik psikiatri anak menyebutkan istilah antara lain: anxiety hysteria, conversion hysteria, sexual perversion, obsessional neurosis, psychose anak dll dengan arti istilah-istilah tersebut adalah:
a. Anxiety hysteria: merasa takut pada sesuatu atau pada seseorang tanpa alasan yang dapat diterima. Perasaan ini lahir dari usaha menekan hasrat-hasrat yang sifatnya naluriah.
b. Conversion hysteria: mempunyai gangguan pada fungsi beberapa anggota tubuh, perbuatan gangguan pada pendirian. Gangguan tersebut lahir dari usaha yang lama menekan hasrai-hasrat yang sifatnya naluriah.
c. Obsessional neurosis: cepat menuduh, banyak dalih, menutup diri, kaku berjalan, dan sebagainya. Ini semua adalah pernyataan dari hati yang sangat sensitive dan takut diserang. Hal ini juga timbul dari usaha menoleh sesuatu hasrat.
d. Sexual perversion: suka menikmati sexual secara tidak wajar, seperti mengintip, melakukan hubungan dengan teman sejenis.
e. Character neuroses: perubahan tingkah laku yang lahir dari konflik batin yang tidak mendapat penyelesaian.
f. Psychose Anak: mempunyai kesulitan menyesuaikan diri terhadap segala-galanya
2. Temper Tantrum
Temper tantrum adalah suatu letupan kemarahan anak yang sering terjadi pada anak menunjukkan sikap negativistik atau penolakan. Perilaku ini sering diikuti dengan tingkah seperti menangis dengan keras, berguling-guling di lantai, menjerit, melempar barang, memukul-mukul, menendang, dan berbagai kegiatan.
Perilaku tantrum dikatakan sebagai salah satu perilaku distruptif menurut APA dan National Library of Medicine seperti yang tertulis berikut :
Perilaku tantrum dan membangkang, sering bertengkar, permusuhan, dan perilaku mengganggu yang disengaja – lazim di antara anak-anak usia 4 – 5 tahun – biasanya meningkat pada masa kanak-kanak tengah. Ketika pola perilaku seperti itu bertahan sampai usia 8 tahun, anak-anak (biasanya laki-laki) mungkin didiagnosis gangguan ingkar (oppositional defiant disorder-ODD), sebuah pola pembangkangan, ketidakpatuhan, dan permusuhan terhadap figur otoritas dewasa yang berlangsung selama paling tidak 6 bulan dan jauh di luar batas perilaku anak-anak normal. Awal munculnya gejala biasanya usia 8 tahun. Anak-anak dengan ODD terus menerus bertengkar, berbantahan, mudah kehilangan kesabaran, merebut barang-barang, menyalahkan orang lain, pemarah dan dongkol, memiliki sedikit teman, terus menerus bermasalah di sekolah, dan menguji batas kesabaran orang dewasa.
Temper tantrum adalah suatu letupan kemarahan anak yang sering terjadi pada anak menunjukkan sikap negativistik atau penolakan. Perilaku ini sering diikuti dengan tingkah seperti menangis dengan keras, berguling-guling di lantai, menjerit, melempar barang, memukul-mukul, menendang, dan berbagai kegiatan.
Perilaku tantrum dikatakan sebagai salah satu perilaku distruptif menurut APA dan National Library of Medicine seperti yang tertulis berikut :
Perilaku tantrum dan membangkang, sering bertengkar, permusuhan, dan perilaku mengganggu yang disengaja – lazim di antara anak-anak usia 4 – 5 tahun – biasanya meningkat pada masa kanak-kanak tengah. Ketika pola perilaku seperti itu bertahan sampai usia 8 tahun, anak-anak (biasanya laki-laki) mungkin didiagnosis gangguan ingkar (oppositional defiant disorder-ODD), sebuah pola pembangkangan, ketidakpatuhan, dan permusuhan terhadap figur otoritas dewasa yang berlangsung selama paling tidak 6 bulan dan jauh di luar batas perilaku anak-anak normal. Awal munculnya gejala biasanya usia 8 tahun. Anak-anak dengan ODD terus menerus bertengkar, berbantahan, mudah kehilangan kesabaran, merebut barang-barang, menyalahkan orang lain, pemarah dan dongkol, memiliki sedikit teman, terus menerus bermasalah di sekolah, dan menguji batas kesabaran orang dewasa.
Temper tantrum sering dialami pada anak usia dini karena ketidakmampuan mereka dalam mengontrol emosi, mengungkapkan kemarahan dengan tepat, dan terjadinya kondisi regresi atau fixasi dalam perkembangan. Menurut Freud, salah satu self defence mechanism yang sering dikembangkan oleh anak adalah dengan berhenti pada tahap perkembangan sebelumnya dengan tidak mau menuntaskan tugas-tugas pada fase perkembangannya. Mereka tidak berani memasuki fase perkembangan berikutnya, karena kecemasan terhadap tuntutan yang lebih pada fase yang lebih tinggi. Contohnya, pada anak TK yang masih menunjukkan perilaku temper tantrum secara terus menerus, atau masih terus minum susu dengan menggunakan dot, atau masih selalu mengompol dan BAB di celana.
Terdapat 3 jenis tantrum yang sering terjadi pada anak usia dini:
a. Manipulative Tantrum
Manipulative tantrum merupakan salah satu bentuk tantrum yang terjadi karena dibuat-buat oleh anak. Biasanya anak melakukan hal ini dengan alasan menggunakan cara tantrum ini sebagai senjata dia untuk mendapatkan apa dia inginkan, atau mencari perhatian.
b. Verbal frustration tantrum
Anak yang mengalami verbal frustration tantrum cenderung menujukkan kemarahan yang berlebih dengan mengomel, banyak bicara sambil menangis dan meraung.
c. Temperramental Tantrum
Perilaku anak yang menunjukkan temperramental tantrum, biasanya tidak cukup diatasi oleh orang tua atau guru saja. Tetapi, membutuhkan bantuan ahli seperti: konselor dan psikolog.
Terdapat 3 jenis tantrum yang sering terjadi pada anak usia dini:
a. Manipulative Tantrum
Manipulative tantrum merupakan salah satu bentuk tantrum yang terjadi karena dibuat-buat oleh anak. Biasanya anak melakukan hal ini dengan alasan menggunakan cara tantrum ini sebagai senjata dia untuk mendapatkan apa dia inginkan, atau mencari perhatian.
b. Verbal frustration tantrum
Anak yang mengalami verbal frustration tantrum cenderung menujukkan kemarahan yang berlebih dengan mengomel, banyak bicara sambil menangis dan meraung.
c. Temperramental Tantrum
Perilaku anak yang menunjukkan temperramental tantrum, biasanya tidak cukup diatasi oleh orang tua atau guru saja. Tetapi, membutuhkan bantuan ahli seperti: konselor dan psikolog.
Pemahaman terhadap temper tantrum tidak hanya dapat dilakukan dengan mengamati penyebab munculnya perilaku tersebut, tetapi dapat pula diamati dari gejala-gejala yang tampak. Terdapat beberapa gejala yang dapat muncul pada anak temper tantrum , yaitu:
a. Anak memiliki kebiasaan tidur, makan, dan buang air besar tidak teratur
b. Sulit beradaptasi dengan situasi, makanan dan orang-orang baru
c. Lambat beradaptasi terhadap perubahan yang terjadi
d. Mood atau suasanan hatinya lebih seing negatif. Anak sering merespons sesuatu dengan penolakan
e. Mudah dipengaruhi sehingga timbul perasaan marah atau kesal
f. Perhatiannya sulit dialihkan
g. Memiliki perilaku yang khas, seperti: menangis, menjerit, membentak, menghentak-hentakkan kaki, merengek, mencela, mengenalkan tinju, membanting pintu, memecahkan benda, memaki, mencela diri sendiri, menyerang kakak/adik atau teman, mengancam, dan perilaku-perilaku negatif lainnya.
a. Anak memiliki kebiasaan tidur, makan, dan buang air besar tidak teratur
b. Sulit beradaptasi dengan situasi, makanan dan orang-orang baru
c. Lambat beradaptasi terhadap perubahan yang terjadi
d. Mood atau suasanan hatinya lebih seing negatif. Anak sering merespons sesuatu dengan penolakan
e. Mudah dipengaruhi sehingga timbul perasaan marah atau kesal
f. Perhatiannya sulit dialihkan
g. Memiliki perilaku yang khas, seperti: menangis, menjerit, membentak, menghentak-hentakkan kaki, merengek, mencela, mengenalkan tinju, membanting pintu, memecahkan benda, memaki, mencela diri sendiri, menyerang kakak/adik atau teman, mengancam, dan perilaku-perilaku negatif lainnya.
3. Menarik Diri (Withdrawl)
Withdrawl merupakan salah satu tipe emotional disturbance yang diarahkan ke dalam diri. Berbeda dengan agresivitas yang ekspresi emosinya diarahkan ke luar diri dengan melakukan tindakan-tindakan agresi kepada orang atau benda-benda di luar dirinya, withdrawl merupakan permasalahn emosi yang diarahkan dalam diri dengan kecendurungan menarik diri dari interaksi sosial menurut Hallahan & Kauffman seperti yang dikutip oleh Riana Mashar . Menurut Izzaty, anak yang mengalami withdrawl akan sulit bergaul, cenderung bermain sendiri, tidak dapat bersosialisasi dan berbagi dengan teman sekolahnya.
Anak yang mengalami withdrawl cukup mudah diamati karena menunjukkan gejala-gejala umum, seperti :
a. Tidak mau bersosialisasi atau bergaul selain dengan keluarga
b. Pendiam, rendah diri, malu, takut, tidak banyak bicara, dan bermain sendiri
c. Sering melamun, menyendiri, dan tidak suka keramaian
d. Sibuk dengan kegiatan diri sendiri
e. Menjadi bahan olok-olokan teman sebaya
f. Cenderung tidak suka terlibat dalam kegiatan kelompok
Withdrawl merupakan salah satu tipe emotional disturbance yang diarahkan ke dalam diri. Berbeda dengan agresivitas yang ekspresi emosinya diarahkan ke luar diri dengan melakukan tindakan-tindakan agresi kepada orang atau benda-benda di luar dirinya, withdrawl merupakan permasalahn emosi yang diarahkan dalam diri dengan kecendurungan menarik diri dari interaksi sosial menurut Hallahan & Kauffman seperti yang dikutip oleh Riana Mashar . Menurut Izzaty, anak yang mengalami withdrawl akan sulit bergaul, cenderung bermain sendiri, tidak dapat bersosialisasi dan berbagi dengan teman sekolahnya.
Anak yang mengalami withdrawl cukup mudah diamati karena menunjukkan gejala-gejala umum, seperti :
a. Tidak mau bersosialisasi atau bergaul selain dengan keluarga
b. Pendiam, rendah diri, malu, takut, tidak banyak bicara, dan bermain sendiri
c. Sering melamun, menyendiri, dan tidak suka keramaian
d. Sibuk dengan kegiatan diri sendiri
e. Menjadi bahan olok-olokan teman sebaya
f. Cenderung tidak suka terlibat dalam kegiatan kelompok
4. Kecemasan (Anxiety)
Anxietas atau kecemasan (anxiety) adalah suatu keadaan aprehensi atau keadaan khawatir yang mengeluhkan bahwa sesuatu yang buruk akan segera terjadi. Banyak hal yang harus dicemaskan-misalnya kesehatan kita, relasi sosial, ujian, karier, relasi internasional, dan kondisi lingkungan adalah beberapa hal yang menjadi sumber kekhawatiran. Hal yang normal dan adaptif untuk sedikit merasa cemas mengenai aspek-aspek hidup tersebut. Kecemasan bermanfaat bila hal tersebut mendorong kita untuk melakukan pemeriksaan medis secara reguler atau memotivasi kita untuk belajar menjelang ujian. Kecemasan adalah respon yang tepat terhadap ancaman, tetapi kecemasan bisa menjadi abnormal bila tingkatannya tidak sesuai dengan proporsi ancaman, atau bila sepertinya datang tanpa ada penyebabnya yaitu, bila bukan merupakan respon terhadap perubahan lingkungan. Dapat pula dikatakan bahwa kecemasan adalah suatu keadaan emosional yang mempunyai ciri keterangsangan fisiologis, perasaan tegang yang tidak menyenangkan, dan perasaan aprehensif bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi.
Di samping itu, Cattel dan Scheier seperti yang dikutip oleh Mashar mengemukakan bahwa kecemasan merupakan reaksi emosi sementara yang timbul pada situasi tertentu, yang dirasakan sebagai suatu ancaman. Kecemasan atau anxietas dapat pula diartikan sebagai rasa takut pada sesuatu tanpa sebab yang jelas, yang seringkali berlangsung lama. Biasanya rasa takut ini juga disertai oleh kegelisahan dan dugaan-dugaan akan terjadinya hal-hal buruk. Pada anak, rasa cemas biasanya terjadi saat anak berusia tiga tahun, bentuknya dapat berupa rasa cemas kehilangan kasih sayang orang tua, cemas akan mengalami rasa sakit, cemas karena merasa berbeda dengan orang lain, atau mengalami kejadian yang tidak menyenangkan. Pada usia dua sampai enam tahun, pikiran tentang bahaya yang nyata maupun yang ada dalam imajinasinya sendiri seringkali menjadi sumber kecemasan. Pada anak pra sekolah, kecemasan yang banyak dialami adalah kecemasan karena perpisahan (separation anxiety disorders) dengan pengasuh terutama pada saat anak awal masuk sekolah. Gejala-gejala yang dapat diamati saat anak mengalami kecemasan diadaptasi dari Mashar antara lain berupa gelisah, menangis, sulit tidur, mimpi buruk, sulit makan, gangguan pencernaan, kesulitan pernapasan, dan ketidakmauan ditinggal sendiri.
Dari beberapa tipe gangguan kecemasan yang dipaparkan oleh Nevid, salah satu diantaranya yang sering dialami oleh anak usia dini adalah takut berlebihan (fobia). Fobia berasal dari kata Yunani phobos, yang berarti “takut”. Konsep takut dan cemas bertautan erat. Takut adalah perasaan cemas dan agitasi sebagai respon terhadap suatu ancaman. Gangguan fobia adalah rasa takut yang persisten terhadap objek atau situasi dan rasa takut ini tidak sebanding dengan ancamannya. Hal yang aneh tentang fobia adalah biasanya melibatkan ketakutan terhadap peristiwa yang biasa dalam hidup, bukan yang luar biasa. Orang dengan fobia mengalami ketakutan untuk hal-hal yang biasa yang untuk orang lain sudah tidak terpikirkan lagi. Fobia dapat mengganggu bila mereka mempengaruhi tugas sehari-hari sepertu naik bus, dalam gelap, dalam ketinggian, berbelanja, pergi ke luar rumah.
Tipe fobia yang berbeda biasanya muncul pada usia yang berbeda-beda pula, seperti yang dapat dilihat pada tabel berikut:
Anxietas atau kecemasan (anxiety) adalah suatu keadaan aprehensi atau keadaan khawatir yang mengeluhkan bahwa sesuatu yang buruk akan segera terjadi. Banyak hal yang harus dicemaskan-misalnya kesehatan kita, relasi sosial, ujian, karier, relasi internasional, dan kondisi lingkungan adalah beberapa hal yang menjadi sumber kekhawatiran. Hal yang normal dan adaptif untuk sedikit merasa cemas mengenai aspek-aspek hidup tersebut. Kecemasan bermanfaat bila hal tersebut mendorong kita untuk melakukan pemeriksaan medis secara reguler atau memotivasi kita untuk belajar menjelang ujian. Kecemasan adalah respon yang tepat terhadap ancaman, tetapi kecemasan bisa menjadi abnormal bila tingkatannya tidak sesuai dengan proporsi ancaman, atau bila sepertinya datang tanpa ada penyebabnya yaitu, bila bukan merupakan respon terhadap perubahan lingkungan. Dapat pula dikatakan bahwa kecemasan adalah suatu keadaan emosional yang mempunyai ciri keterangsangan fisiologis, perasaan tegang yang tidak menyenangkan, dan perasaan aprehensif bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi.
Di samping itu, Cattel dan Scheier seperti yang dikutip oleh Mashar mengemukakan bahwa kecemasan merupakan reaksi emosi sementara yang timbul pada situasi tertentu, yang dirasakan sebagai suatu ancaman. Kecemasan atau anxietas dapat pula diartikan sebagai rasa takut pada sesuatu tanpa sebab yang jelas, yang seringkali berlangsung lama. Biasanya rasa takut ini juga disertai oleh kegelisahan dan dugaan-dugaan akan terjadinya hal-hal buruk. Pada anak, rasa cemas biasanya terjadi saat anak berusia tiga tahun, bentuknya dapat berupa rasa cemas kehilangan kasih sayang orang tua, cemas akan mengalami rasa sakit, cemas karena merasa berbeda dengan orang lain, atau mengalami kejadian yang tidak menyenangkan. Pada usia dua sampai enam tahun, pikiran tentang bahaya yang nyata maupun yang ada dalam imajinasinya sendiri seringkali menjadi sumber kecemasan. Pada anak pra sekolah, kecemasan yang banyak dialami adalah kecemasan karena perpisahan (separation anxiety disorders) dengan pengasuh terutama pada saat anak awal masuk sekolah. Gejala-gejala yang dapat diamati saat anak mengalami kecemasan diadaptasi dari Mashar antara lain berupa gelisah, menangis, sulit tidur, mimpi buruk, sulit makan, gangguan pencernaan, kesulitan pernapasan, dan ketidakmauan ditinggal sendiri.
Dari beberapa tipe gangguan kecemasan yang dipaparkan oleh Nevid, salah satu diantaranya yang sering dialami oleh anak usia dini adalah takut berlebihan (fobia). Fobia berasal dari kata Yunani phobos, yang berarti “takut”. Konsep takut dan cemas bertautan erat. Takut adalah perasaan cemas dan agitasi sebagai respon terhadap suatu ancaman. Gangguan fobia adalah rasa takut yang persisten terhadap objek atau situasi dan rasa takut ini tidak sebanding dengan ancamannya. Hal yang aneh tentang fobia adalah biasanya melibatkan ketakutan terhadap peristiwa yang biasa dalam hidup, bukan yang luar biasa. Orang dengan fobia mengalami ketakutan untuk hal-hal yang biasa yang untuk orang lain sudah tidak terpikirkan lagi. Fobia dapat mengganggu bila mereka mempengaruhi tugas sehari-hari sepertu naik bus, dalam gelap, dalam ketinggian, berbelanja, pergi ke luar rumah.
Tipe fobia yang berbeda biasanya muncul pada usia yang berbeda-beda pula, seperti yang dapat dilihat pada tabel berikut:
Tipikal Fobia
Jumlah rata-rata kasus Rata-rata Usia Muncul
Fobia Binatang 50 7
Fobia Suntikan 59 8
Fobia Darah 40 9
Fobia Dental 60 12
Fobia Sosial 80 16
Claustrophobia 40 20
Agorafobia 100 28
Sumber: diadaptasi dari Ost dalam Jeffry S. Nevid, dkk
Usia kemunculan sepertinya merefleksikan tahap perkembangan kognitif dan pengalaman hidup. Ketakutan terhadap binatang seringkali merupakan subjek dari fantasi anak-anak. Sebaliknya, agorafobia biasanya muncul mengikuti serangan panik yang mulai pada masa dewasa. Dan jika diperhatikan, maka anak usia dini lebih sering mengalami fobia tipe fobia binatang dan fobia suntikan.
Jumlah rata-rata kasus Rata-rata Usia Muncul
Fobia Binatang 50 7
Fobia Suntikan 59 8
Fobia Darah 40 9
Fobia Dental 60 12
Fobia Sosial 80 16
Claustrophobia 40 20
Agorafobia 100 28
Sumber: diadaptasi dari Ost dalam Jeffry S. Nevid, dkk
Usia kemunculan sepertinya merefleksikan tahap perkembangan kognitif dan pengalaman hidup. Ketakutan terhadap binatang seringkali merupakan subjek dari fantasi anak-anak. Sebaliknya, agorafobia biasanya muncul mengikuti serangan panik yang mulai pada masa dewasa. Dan jika diperhatikan, maka anak usia dini lebih sering mengalami fobia tipe fobia binatang dan fobia suntikan.
5. Hipersensitivitas
Hipersensitivitas adalah kepekaan emosional yang berlebihan dan cukup sering dijumpai pada anak-anak. Anak dikatakan hipersensitivitas bila ia mudah sekali merasa sakit hati dan menunjukkan respons yang berlebihan terhadap sikap dan perasaan orang lain. Anak yang hipersenditif ini tidak dapat menerima penilaian, komentar, dan kritik orang lain tanpa rasa sakit hati. Reaksi anak terhadap rasa sakit hati dapat berupa baik yang nyata maupun yang hanya berdasar prasangkanya saja, dapat membangkitkan perasaan kesal yang mendalam. Anak yang hipersensitif biasanya juga mudah marah (temperamental) dan sering mengalami suasana hati yang murung tanpa penyebab yang jelas.
6. Bunuh Diri
Dalam Global Petang tanggal 29 Mei 2006 yang silam diberitakan adanya seorang bocah usia delapan tahun meninggal dengan cara gantung diri di tali jemuran rumahnya setelah dimarahi guru di sekolah, karena belum memotong kuku jari. Ada masih banyak lagi kasus serupa yang mengindikasikan bahwa anak tidak memiliki kesiaptahanan dalam menghadapi persoalan.
Santrock menyatakan bahwa angka bunuh diri berkembang pesat tiga kali lipat dalam 30 tahun terakhir. Laki-laki diperkirakan lebih sering melakukan kecendurungan bunuh diri dari perempuan, hal ini dapat pula disebabkan oleh metode-metode mereka yang lebih aktif dalam mencoba bunuh diri – misalnya dengan menembak. Sebaliknya, perempuan cenderung menggunakan metode-metode pasif seperti pil tidur, yang cenderung kurang mematikan.
Bunuh diri menurut Kristal dalam Mashar dalam beberapa budaya dapat diteruma sebagai sebuah peristiwa heroik atau kepahlawanan. Bunuh diri tidak selalu merupakan tindakan menyakiti atau merusak diri sendiri tetapi merupakan “sebuah tangiasn untuk meminta pertolongan”. Bunuh diri biasanya dikaitkan dengan adanya perasaan depresi dan kehilangan. Sebagian besar korban bunuh diri adalah laki-laki. Bunuh diri pada anak sebenarnya tidak ditujukan untuk mencari kematian, tetapi sebagai manifestasi dari perasaan tidak dipahami dan tidak dihargai.
Hipersensitivitas adalah kepekaan emosional yang berlebihan dan cukup sering dijumpai pada anak-anak. Anak dikatakan hipersensitivitas bila ia mudah sekali merasa sakit hati dan menunjukkan respons yang berlebihan terhadap sikap dan perasaan orang lain. Anak yang hipersenditif ini tidak dapat menerima penilaian, komentar, dan kritik orang lain tanpa rasa sakit hati. Reaksi anak terhadap rasa sakit hati dapat berupa baik yang nyata maupun yang hanya berdasar prasangkanya saja, dapat membangkitkan perasaan kesal yang mendalam. Anak yang hipersensitif biasanya juga mudah marah (temperamental) dan sering mengalami suasana hati yang murung tanpa penyebab yang jelas.
6. Bunuh Diri
Dalam Global Petang tanggal 29 Mei 2006 yang silam diberitakan adanya seorang bocah usia delapan tahun meninggal dengan cara gantung diri di tali jemuran rumahnya setelah dimarahi guru di sekolah, karena belum memotong kuku jari. Ada masih banyak lagi kasus serupa yang mengindikasikan bahwa anak tidak memiliki kesiaptahanan dalam menghadapi persoalan.
Santrock menyatakan bahwa angka bunuh diri berkembang pesat tiga kali lipat dalam 30 tahun terakhir. Laki-laki diperkirakan lebih sering melakukan kecendurungan bunuh diri dari perempuan, hal ini dapat pula disebabkan oleh metode-metode mereka yang lebih aktif dalam mencoba bunuh diri – misalnya dengan menembak. Sebaliknya, perempuan cenderung menggunakan metode-metode pasif seperti pil tidur, yang cenderung kurang mematikan.
Bunuh diri menurut Kristal dalam Mashar dalam beberapa budaya dapat diteruma sebagai sebuah peristiwa heroik atau kepahlawanan. Bunuh diri tidak selalu merupakan tindakan menyakiti atau merusak diri sendiri tetapi merupakan “sebuah tangiasn untuk meminta pertolongan”. Bunuh diri biasanya dikaitkan dengan adanya perasaan depresi dan kehilangan. Sebagian besar korban bunuh diri adalah laki-laki. Bunuh diri pada anak sebenarnya tidak ditujukan untuk mencari kematian, tetapi sebagai manifestasi dari perasaan tidak dipahami dan tidak dihargai.
C. Faktor Penyebab Gangguan Sosial Emosional Anak Usia Dini
Mengenai latar belakang timbulnya gangguan sosio emosional telah banyak dikemukakan oleh para ahli yang berkecimpung dalam usaha penanggulangannya. Dinamika keadaan yang melatarbelakangi anak gangguan sosio emosional beserta gejala-gejalanya perlu ditelusuri untuk memberikan pemahaman yang jelas tentang anak yang mangalami gangguan tersebut. Dengan memahami hal itu akan mempermudah dalam usaha menanggulangi dan memberikan pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan anak.
Dari berbagai faktor yang berkaitan dengan masalah gangguan sosio emosional, berikut dibahas mengenai kondisi/keadaan fisik, masalah perkembangan, lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat.
1. Kondisi/keadaan fisik
Telah banyak tulisan maupun penelitian yang mengupas masalah kondisi/keadaan fisik dalam kaitannya dengan masalah gangguan tingkah laku, baik yang merupakan akibat langsung maupun tidak langsung.
Ada sementara ahli yang meyakini bahwa disfungsi kelenjar endoktrin dapat mempengaruhi timbulnya gangguan tingkah laku, atau dengan kata lain kelenjar endoktrin berpengaruh terhadap respon emosional seseorang. Bahkan dari hasil penelitiannya, Gunzburg seperti yang dikutif oleh Sutjihati Somantri menyimpulkan bahwa disfungsi kelenjar endoktrin merupakan salah satu penyebab timbulnya kejahatan. Kelenjar endoktrin ini mengeluarkan hormone yang mempengaruhi tenaga seseorang. Bila secara terus menerus fungsinya mengalami gangguan, maka dapat berakibat terganggunya perkembangan fisik dan mental seseorang sehingga akan berpengaruh terhadap perkembangan wataknya.
Kondisi fisik ini dapat pula berupa kelainan atau kecacatan baik tubuh maupun sensoris yang dapat mempengaruhi perilaku sesorang. Kecacatan yang dialami seseorang mengakibatkan timbulnya keterbatasan dalam memenuhi kebutuhannya baik berupa kebutuhan fisik-biologis maupun kebutuhan psikisnya.
Masalah ini menjadi kompleks dengan adanya sikap atau perlakuan negatif dari lingkungannya. Sebagai akibatnya, timbul perasaan rendah diri, perasaan tidak berdaya/tidak mampu, mudah putus asa, dan merasa tidak berguna sehingga menimbulkan kecendrungan menarik diri dari lingkungan pergaulan atau sebaliknya, memperlihatkan tingkah laku agresif, atau bahkan memanfaatkan kelainannya untuk menarik belas kasih lingkunggannya.
2. Masalah Perkembangan
Didalam menjalani setiap fase perkembangan individu, sulit untuk terhindar dari berbagai konflik. Mengenai hal ini, Erikson yang dikutif dalam Sutjihati Somantri menjelaskan bahwa setiap memasuki fase perkembangan baru, individu dihadapkan pada berbagai tantangan atau krisis emosi. Anak biasanya dapat mengatasi krisis emosi ini jika pada dirinya tumbuh kemampuan baru yang berasal dari adanya proses kematangan yang meyertai perkembangan. Apabila ego dapat mengatasi krisis ini, maka perkembangan ego yang matang akan terjadi sehingga individu dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial atau masyarakatnya. Sebaliknya apabila individu tidak berhasil menyelesaikan masalah tersebut maka akan menimbulkan gangguan emosi dan tingkah laku. Konflik emosi ini biasanya terjadi pada masa kanak-kanak dan masa puberitas.
Adapun ciri yang menonjol yang nampak pada masa kritis ini adalah sikap menantang dank eras kepala. Kecenderungan ini disebabkan oleh karena anak sedang dalam proses menemukan “aku”nya. Anak merasa jadi tidak puas dengan otoritas lingkungan sehingga timbul gejolak emosi yang meledak-ledak, misalnya: marah, menentang, memberontak, dank eras kepala. Emosi yang kuat seringkali meluap-luap sehingga dapat menimbulkan ketegangan dan kecemasan. Mereka seringkali menentang dan melanggar peraturan baik dirumah maupun disekolah.
Kartini Kartono (1982) menegaskan bahwa penghalang terhadap kelangsungan fungsi-fungsi fisik atau psikis pada masa ini dapat mengakibatkan kemunduran pada individu. Jiwa anak yang masih labil pada masa ini banyak menagndung resiko berbahaya, jika kurang mendapatkan bimbingan dan pengarahan dari orang dewasa maka anak akan mudah terjerumus pada tingkah laku menyimpang.
3. Lingkungan Keluarga
Kajian terhadap lingkungan keluarga dalam kaitannya dengan masalah ketunalarasan telah lama menjadi perhatian ahli. Sebagai lingkungan pertama dan utama dalam kehidupan anak, keluarga memilki pengaruh yang demikian penting dalam membentuk kepribadian anak. Keluargalah peletak dasar perasaan aman (emotional security) pada anak, dalam keluarga pula anak memperoleh pengalaman pertama mengenai perasaan dan sikap sosial. Lingkungan keluarga yang tidak mampu memberikan dasar perasaan aman dan dasar untuk perkembangan sosial dapat menimbulkan gangguan emosi dan tingkah laku anak.
Mengingat banyak sekali faktor yang terdapat dalam lingkungan keluarga yang berkaitan dengan masalah gangguan emosi dan tingkah laku, maka dalam pembahasan berikut akan dikemukakan beberapa aspek diantaranya:
a. Kasih sayang dan perhatian
Kasih saying dan perhatian orang tua dan anggota keluarga lain sangat dibutuhkan oleh anak. Kurangnya kasih sayang dan perhatian orang tua mengakibatkan anak mencarinya diluar rumah. Dia bergabung dengan kawan-kawannya dan membentuk suatu kelompok anak yang merasa senasib. Selain itu memperoleh rasa aman dalam kelompoknya, dapat juga anak dengan sengaja melakukan perbuatan tercela dan menetang norma lingkungan untuk memperoleh perhatian orang tuanya. Menegenai hal ini, Sofyan S. Willis dalam Sutjihati Somantri mengemukakan bahwa mereka berkelompok untuk memenuhi kebutuhan yang hampir sama, antara lain mendapatkan perhatian dari orang tua dan masyarakat.
Selain sikap diatas, tidak jarang diantara orang tua justru memberikan kasih sayang, perhatian, dan bahkan perlindungan yang berlebihan (over protective). Sikap memanjakan dapat menyebabkan ketergantungan pada anak sehingga jika anak mengalami kegagalan dalam mencoba sesuatu ia lekas menyerah dan merasa kecewa, sehingga pada akhirnya akan timbul rasa tidak percaya diri/rendah diri pasda anak.
b. Keharmonisan keluarga
Banyak tindakan kenakalan atau gangguan tingkah laku dilakukan oleh anak-anak yang berasal dari lingkungan keluarga yang kurang harmonis. Ketidakharmonisan ini dapat disebabkan oleh pecahnya keluarga atau tidak adanya kesepakatan antara orang tua dalam menerapkan disiplin dan pendidikan terhadap anak. Kondisi keluarga yang pecah atau rumah tangga yang kacau menyebabkan anak kurang mendapatkan bimbingan yang semestinya.
Berdasarkan hasil studinya, Hetherington dalam Sutjihati Somantri menyimpulkan hampir semua anak yang menghadapi perceraian orang tua mengalami masa peralihan yang sangat sulit.
Orang tua yang sering berselisih paham dalam menerapkan peraturan atau disiplin dapat menimbulkan keraguan pada diri anak akan kebenaran suatu norma, sehingga akhirya anak mencari jalan sendiri dalam hal ini dapat saja menjadi awal dari terjadinya gangguan tingkah laku.
c. Kondisi ekonomi
Lemahnya kondisi ekonomi keluarga dapat pula menjadi salah-satu penyebab tidak terpenuhinya kebutuhan anak, padahal sdeperti kita ketahui pada diri anak timbul keinginan-keinginan untuk menyamai temannya yang lain, misalnya: dalam berpakaian, kebutuhan akan hiburan, dan lain-lain. Tidak terpenuhinya kebutuhan tersebut didalam kelaurga dapat mendorong anak mancari jalan sendiri yang kadang-kadang mengarah pada tindakan anti sosial. G.W. Bawengan (1977) menyatakan bahwa kondisi-kondisi seperti kemiskinan atau pengangguran secara relative dapat melengkapi rangsangan-rangsangan untuk melakukan pencurian, penipuan, dan perilaku menyimpang lainnya.
Mengenai latar belakang timbulnya gangguan sosio emosional telah banyak dikemukakan oleh para ahli yang berkecimpung dalam usaha penanggulangannya. Dinamika keadaan yang melatarbelakangi anak gangguan sosio emosional beserta gejala-gejalanya perlu ditelusuri untuk memberikan pemahaman yang jelas tentang anak yang mangalami gangguan tersebut. Dengan memahami hal itu akan mempermudah dalam usaha menanggulangi dan memberikan pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan anak.
Dari berbagai faktor yang berkaitan dengan masalah gangguan sosio emosional, berikut dibahas mengenai kondisi/keadaan fisik, masalah perkembangan, lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat.
1. Kondisi/keadaan fisik
Telah banyak tulisan maupun penelitian yang mengupas masalah kondisi/keadaan fisik dalam kaitannya dengan masalah gangguan tingkah laku, baik yang merupakan akibat langsung maupun tidak langsung.
Ada sementara ahli yang meyakini bahwa disfungsi kelenjar endoktrin dapat mempengaruhi timbulnya gangguan tingkah laku, atau dengan kata lain kelenjar endoktrin berpengaruh terhadap respon emosional seseorang. Bahkan dari hasil penelitiannya, Gunzburg seperti yang dikutif oleh Sutjihati Somantri menyimpulkan bahwa disfungsi kelenjar endoktrin merupakan salah satu penyebab timbulnya kejahatan. Kelenjar endoktrin ini mengeluarkan hormone yang mempengaruhi tenaga seseorang. Bila secara terus menerus fungsinya mengalami gangguan, maka dapat berakibat terganggunya perkembangan fisik dan mental seseorang sehingga akan berpengaruh terhadap perkembangan wataknya.
Kondisi fisik ini dapat pula berupa kelainan atau kecacatan baik tubuh maupun sensoris yang dapat mempengaruhi perilaku sesorang. Kecacatan yang dialami seseorang mengakibatkan timbulnya keterbatasan dalam memenuhi kebutuhannya baik berupa kebutuhan fisik-biologis maupun kebutuhan psikisnya.
Masalah ini menjadi kompleks dengan adanya sikap atau perlakuan negatif dari lingkungannya. Sebagai akibatnya, timbul perasaan rendah diri, perasaan tidak berdaya/tidak mampu, mudah putus asa, dan merasa tidak berguna sehingga menimbulkan kecendrungan menarik diri dari lingkungan pergaulan atau sebaliknya, memperlihatkan tingkah laku agresif, atau bahkan memanfaatkan kelainannya untuk menarik belas kasih lingkunggannya.
2. Masalah Perkembangan
Didalam menjalani setiap fase perkembangan individu, sulit untuk terhindar dari berbagai konflik. Mengenai hal ini, Erikson yang dikutif dalam Sutjihati Somantri menjelaskan bahwa setiap memasuki fase perkembangan baru, individu dihadapkan pada berbagai tantangan atau krisis emosi. Anak biasanya dapat mengatasi krisis emosi ini jika pada dirinya tumbuh kemampuan baru yang berasal dari adanya proses kematangan yang meyertai perkembangan. Apabila ego dapat mengatasi krisis ini, maka perkembangan ego yang matang akan terjadi sehingga individu dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial atau masyarakatnya. Sebaliknya apabila individu tidak berhasil menyelesaikan masalah tersebut maka akan menimbulkan gangguan emosi dan tingkah laku. Konflik emosi ini biasanya terjadi pada masa kanak-kanak dan masa puberitas.
Adapun ciri yang menonjol yang nampak pada masa kritis ini adalah sikap menantang dank eras kepala. Kecenderungan ini disebabkan oleh karena anak sedang dalam proses menemukan “aku”nya. Anak merasa jadi tidak puas dengan otoritas lingkungan sehingga timbul gejolak emosi yang meledak-ledak, misalnya: marah, menentang, memberontak, dank eras kepala. Emosi yang kuat seringkali meluap-luap sehingga dapat menimbulkan ketegangan dan kecemasan. Mereka seringkali menentang dan melanggar peraturan baik dirumah maupun disekolah.
Kartini Kartono (1982) menegaskan bahwa penghalang terhadap kelangsungan fungsi-fungsi fisik atau psikis pada masa ini dapat mengakibatkan kemunduran pada individu. Jiwa anak yang masih labil pada masa ini banyak menagndung resiko berbahaya, jika kurang mendapatkan bimbingan dan pengarahan dari orang dewasa maka anak akan mudah terjerumus pada tingkah laku menyimpang.
3. Lingkungan Keluarga
Kajian terhadap lingkungan keluarga dalam kaitannya dengan masalah ketunalarasan telah lama menjadi perhatian ahli. Sebagai lingkungan pertama dan utama dalam kehidupan anak, keluarga memilki pengaruh yang demikian penting dalam membentuk kepribadian anak. Keluargalah peletak dasar perasaan aman (emotional security) pada anak, dalam keluarga pula anak memperoleh pengalaman pertama mengenai perasaan dan sikap sosial. Lingkungan keluarga yang tidak mampu memberikan dasar perasaan aman dan dasar untuk perkembangan sosial dapat menimbulkan gangguan emosi dan tingkah laku anak.
Mengingat banyak sekali faktor yang terdapat dalam lingkungan keluarga yang berkaitan dengan masalah gangguan emosi dan tingkah laku, maka dalam pembahasan berikut akan dikemukakan beberapa aspek diantaranya:
a. Kasih sayang dan perhatian
Kasih saying dan perhatian orang tua dan anggota keluarga lain sangat dibutuhkan oleh anak. Kurangnya kasih sayang dan perhatian orang tua mengakibatkan anak mencarinya diluar rumah. Dia bergabung dengan kawan-kawannya dan membentuk suatu kelompok anak yang merasa senasib. Selain itu memperoleh rasa aman dalam kelompoknya, dapat juga anak dengan sengaja melakukan perbuatan tercela dan menetang norma lingkungan untuk memperoleh perhatian orang tuanya. Menegenai hal ini, Sofyan S. Willis dalam Sutjihati Somantri mengemukakan bahwa mereka berkelompok untuk memenuhi kebutuhan yang hampir sama, antara lain mendapatkan perhatian dari orang tua dan masyarakat.
Selain sikap diatas, tidak jarang diantara orang tua justru memberikan kasih sayang, perhatian, dan bahkan perlindungan yang berlebihan (over protective). Sikap memanjakan dapat menyebabkan ketergantungan pada anak sehingga jika anak mengalami kegagalan dalam mencoba sesuatu ia lekas menyerah dan merasa kecewa, sehingga pada akhirnya akan timbul rasa tidak percaya diri/rendah diri pasda anak.
b. Keharmonisan keluarga
Banyak tindakan kenakalan atau gangguan tingkah laku dilakukan oleh anak-anak yang berasal dari lingkungan keluarga yang kurang harmonis. Ketidakharmonisan ini dapat disebabkan oleh pecahnya keluarga atau tidak adanya kesepakatan antara orang tua dalam menerapkan disiplin dan pendidikan terhadap anak. Kondisi keluarga yang pecah atau rumah tangga yang kacau menyebabkan anak kurang mendapatkan bimbingan yang semestinya.
Berdasarkan hasil studinya, Hetherington dalam Sutjihati Somantri menyimpulkan hampir semua anak yang menghadapi perceraian orang tua mengalami masa peralihan yang sangat sulit.
Orang tua yang sering berselisih paham dalam menerapkan peraturan atau disiplin dapat menimbulkan keraguan pada diri anak akan kebenaran suatu norma, sehingga akhirya anak mencari jalan sendiri dalam hal ini dapat saja menjadi awal dari terjadinya gangguan tingkah laku.
c. Kondisi ekonomi
Lemahnya kondisi ekonomi keluarga dapat pula menjadi salah-satu penyebab tidak terpenuhinya kebutuhan anak, padahal sdeperti kita ketahui pada diri anak timbul keinginan-keinginan untuk menyamai temannya yang lain, misalnya: dalam berpakaian, kebutuhan akan hiburan, dan lain-lain. Tidak terpenuhinya kebutuhan tersebut didalam kelaurga dapat mendorong anak mancari jalan sendiri yang kadang-kadang mengarah pada tindakan anti sosial. G.W. Bawengan (1977) menyatakan bahwa kondisi-kondisi seperti kemiskinan atau pengangguran secara relative dapat melengkapi rangsangan-rangsangan untuk melakukan pencurian, penipuan, dan perilaku menyimpang lainnya.
4. Lingkungan Sekolah
Sekolah merupakan tempat pendidikan yang kedua bagi anak setelah keluarga. Tanggung jawab sekolah tidak hanya sekedar membekali anak didik dengan sejumlah ilmu pengetahuan, akan tetapi sekolah juga bertanggung jawab membina keprbadian anak didik sehingga menjadi seorang individu dewasa yang bertanggung jawab baik terhadap dirinya sendiri maupun terhadap lingkungan masyarakat yang lebih luas. Akan tetapi tidak jarang sekolah dapat menjadi penyebab timbulnya gangguan tingkah laku pada anak seperti yang dikemukakan Sofyan Willis (1978) bahwa dalam rangka pembinaan anak didik kearah kedewasaan, kadang-kadang sekolah juga penyebab dari timbulnya kenakalan remaja.
Timbulnya gangguan tingkah laku yang disebabkan lingkungan sekolah antara lain berasal dari guru sebagai tenaga pelaksana pendidikan dan fasilitas penunjang yang dibutuhkan anak didik. Perilaku guru yang otoriter mengakibatkan anak merasa tertekan dan takut menghadapi pelajaran. Anak lebih memilih membolos dan berkeluyuran pada saat seharusnya ia berada didalam kelas. Sebaliknya, sikap guru yang terlampau lemah dan membiarkan anak didiknya tidak disiplin mengakibatkan anak didik berbuat sesuka hati dan berani melakukan tindakan-tindakan menentang peraturan.
Selain guru, fasilitas pendidikan berpengaruh pula terhadap terjadinya gangguan tingkah laku. Sekolah yang kurang mempunyai fasilitas yang dibutuhkan anak didik untuk menyalurkan bakat dan mengisi waktu luang mengakibatkan anak menyalurkan aktivitasnya pada hal-hal yang kurang baik. Misalnya: karena tidak ada tempat untuk bermain, anak berkeliaran ditempat-tempat umum sehingga kadang-kadang anak mengabaikan waktu belajarnya.
Sekolah merupakan tempat pendidikan yang kedua bagi anak setelah keluarga. Tanggung jawab sekolah tidak hanya sekedar membekali anak didik dengan sejumlah ilmu pengetahuan, akan tetapi sekolah juga bertanggung jawab membina keprbadian anak didik sehingga menjadi seorang individu dewasa yang bertanggung jawab baik terhadap dirinya sendiri maupun terhadap lingkungan masyarakat yang lebih luas. Akan tetapi tidak jarang sekolah dapat menjadi penyebab timbulnya gangguan tingkah laku pada anak seperti yang dikemukakan Sofyan Willis (1978) bahwa dalam rangka pembinaan anak didik kearah kedewasaan, kadang-kadang sekolah juga penyebab dari timbulnya kenakalan remaja.
Timbulnya gangguan tingkah laku yang disebabkan lingkungan sekolah antara lain berasal dari guru sebagai tenaga pelaksana pendidikan dan fasilitas penunjang yang dibutuhkan anak didik. Perilaku guru yang otoriter mengakibatkan anak merasa tertekan dan takut menghadapi pelajaran. Anak lebih memilih membolos dan berkeluyuran pada saat seharusnya ia berada didalam kelas. Sebaliknya, sikap guru yang terlampau lemah dan membiarkan anak didiknya tidak disiplin mengakibatkan anak didik berbuat sesuka hati dan berani melakukan tindakan-tindakan menentang peraturan.
Selain guru, fasilitas pendidikan berpengaruh pula terhadap terjadinya gangguan tingkah laku. Sekolah yang kurang mempunyai fasilitas yang dibutuhkan anak didik untuk menyalurkan bakat dan mengisi waktu luang mengakibatkan anak menyalurkan aktivitasnya pada hal-hal yang kurang baik. Misalnya: karena tidak ada tempat untuk bermain, anak berkeliaran ditempat-tempat umum sehingga kadang-kadang anak mengabaikan waktu belajarnya.
5. Lingkungan Masyarakat
Lingkungan tempat anak berpijak sebagai mahluk sosial adalah masyarakat. Apakah benar tingkah laku anak dibentuk oleh lingkungan soisalnya? Yang jelas menurut Bandura (dalam Kirk & Gallagher, 1986), salah satu hal yang nampak mempengaruhi pola perilaku anakdalam lingkungan sosial adalah keteladanan, yaitu menirukan perilaku orang lain.
Disamping pengaruh-pengaruh yang bersifat positif, didalam lingkungan masyarakat juga terdapat banyak sumber yang merupakan pengarug negative yang dapat memicu timbulnya perilaku menyimpang. Sikap masyarakat yang negative ditambah banyaknya hiburan yang tidak sesuai dengan perkembangan jiwa anak merupakan sumber terjadinya kelainan tingkah laku. Hal ini terutama terjadi dikota-kota besar dimana tersedia berbagai fasilitas tontonan dan hiburang yang tidak tersaring oleh budaya local.
Masuknya pengaruh budaya asing yang tidak sesuai dengan tradisi yang dianut masyarakat yang diterima begitu saja oleh kalangan remaja dapat menimbulkan konflik yang sifatnya negative. Disatu pihak para remaja menganggap bahwa kebudayaan asing itu benar, sementara di pihak lain masyarakat masih memegang norma-norma yang bersumber pada adat dan istiadat agama. Selanjutnya konflik juga dapat timbul pada diri anak sendiri yang disebabkan norma yang dianut dirumah atau keluarga ditekankan pada tingkah laku sopan dan menghargai orang lain, akan tetapi ia menemukan kenyataan lain dalam masyarakat dimana banyak ditemukan tindakan kekerasan dan tidak adanya sikap saling menghargai.
Selain faktor-faktor secara umu, berikut ini coba dikemukakan faktor penyebab secara spesifik terhadap masing-masing jenis gangguan yang dibatasi pada pembahasan makalah ini antara lain:
1. Faktor pemicu agresivitas
Agresivitas terjadi pada setiap anak, terdapat beberapa faktor yang dapat meneyebabkannya. Faktor ini dapat berupa faktor biologis yang berasal dari dalam diri anak (internal) maupun faktor lingkungan yang berasal dari luar diri anak (eksternal). Faktor-faktor biologis dapat berupa pengaruh genetik, system otak, dan kimia darah (hormone seks). Adapun faktor-faktor eksternal yang dapat berupa kemiskinan, kondisi lingkungan fisik yang tidak mendukung (suhu udara yang panas, oksigen yang terbatas), dan kecendrungan meniru model kekerasan yang ada disekitarnya, baik melalui pengamatan langsung terhadap figure-figur model yang ada disekitarnya maupun pengamatan tidak langsung pada figur-figur model kekerasan ditelevisi.
Selain karena faktor-faktor yang telah diuraikan tersebut, Izzaty menguraikan bahwa perilaku agresi dapat terpicu oleh beberapa sumber yang berasal dari dalam diri anak maupun lingkungan sekitarnya. Namun terkadang penyebab perilaku agresi pada anak dapat disebabkan oleh pemicu yang berkaitan dengan kondisi perkembangan, seperti kemampuan bicara belum lancar, energi anak yang berlebihan, perasaan yang tertekan dan terluka, serta keinginan mencari perhatian.
2. Faktor pemicu kecemasan
Sebagian faktor kecemasan dapat disebabkan oleh pola asuh orang tua yang kurang tepat, terutama saat awal kehidupan anak dalam membentuk basic trust atau kepercayaan dasar. Anak yang tidak memilki rasa aman dan memandang dunia diluar dirinya sebagai ancaman, ia cendrung akan lebih muda mengalami kecemasan khususnya saat mengalami berbagai perubahan situasi dan kondisi sekitar.
Beberapa penyebab kecemasan yang dialami anak yaitu:
a. Orang tua yang terlalu melindungi (over protective)
b. Orang tua signifikan others yang tidak konsisten, yang menyebabkan anak tidak mampu memprediksi sesuatu yang akan terjadi.
c. Aturan atau disiplin yang terlalu berlebihan, sehingga menimbulkan rasa cemas pada anak jika melakukan kesalahan karena adanya hukuman atau sanksi yang ditakuti anak.
d. Orang tua yang selalu menuntut kesempurnaan atas prestasi anak, membuat anak selalu merasa dituntut melakukan yang terbaik. Hal ini dapat menimbulkan ketegangan pada pada diri anak dan membuat anak tidak dapat rileks dalam menghadapi berbagai sesuatu.
e. Anak yang selalu mendapat penghargaan bersyarat (conditioning regard), akan cendrung mengalami kecemasan karena anak akan menuntut dirinya sesuai tuntutan dari lingkungan dan membuat anak tidak dapat berekspresi apa adanya.
f. Kritikan yang berlebihan dari orang tua atau orang dewasa disekitarnya.
g. Ketergantungan yang berlebihan terhadap orang dewasa yang ada disekitarnya. Anak yang selalu tergantung pada orang lain dan tidak dibiasakan untuk mandiri, cendrung lebih mudah mengembangkan kecemasan karena ketidakpercayaan pada diri sendiri bahwa ia mampu.
h. Anak yang cendrung tidak banyak bersosialisasi pada orang lain.
i. Figure model dari orang tua atau significan others yang sering menunjukkan kecemasan.
j. Adanya kegagalan atau frustasi yang terus-menerus.
Sedangkan faktor pemicu kecemasan berupa takut berlebihan atau fobia ada beberapa hal antara lain: perasaan takut ini biasanya muncul karena adanya peristiwa atau situasi yang dianggap berbahaya. Terdapat beberapa sumber takut yang biasa dialami oleh individu, yaitu hewan (serangga, ngengat, dan lalat), benda-benda yang berbahaya seperti listrik, mobil, senjata, atau tempat-tempat tertentu.
3. Faktor pemicu Temper Tantrum
Izzaty dalam Riana Mashar , menyatakan bahwa beberapa ahli menyebutkan penyebab temper tantrum yang paling umum terjadi pada anak karena beberapa hal, yaitu frustasi, lapar, sakit, kemarahan, kecemburuan, perubahan dalam rutinitas, serta tertekan dirumah dan disekolah.
4. Faktor pemicu Menarik Diri (Withdrawl)
Terdapat beberapa penyebab withdrawl pada anak, yaitu faktor lingkungan yang kurang member stimulasi dan dorongan untuk bersosialisasi; serta kecendrungan tipe kepribadian anak yang menurut Jung mengarah pada tipe kepribadian introvert. Atau ditinjau dari disposisi emosional berdasar cairan tubuh yang dikemukakan Hippocrates, maka anak tersebut cendrung termasuk dalam kategori melankolis. Selain kedua faktor tersebut, Izaty dalam Riana Mashar mengungkapkan bahwa rasa tidak puas pada diri anak terhadap lingkungan, ketiadaan minat yang sama, dan perbedaan usia anak dengan teman sebayanya, dapat menjadi faktor yang menimbulkan perilaku withdrawl.
5. Faktor pemicu Hipersensitivitas
Hipersensitivitas dapat disebabkan karena perasaan berbeda dengan orang lain. Anak merasa dirinya tidak sepandai, semenarik atau sepopuler anak-anak lain. Selain itu, dapat pula disebabkkan oleh adanya harapan-harapan yang tidak realistis. Bila anak terlalu berharap dari orang lain, secara terus-menerus mereka akan kecewa. Hipersensitivitas berkembang sejak anak menginginkan adanya penerimaan yang total dari orang lain, setiap pertanda adanya penolakan akan dirasakan sangat menyakitkan. Anak yang hipersensitif memilki harapan yang tinggi bahwa orang lain akan selau bersikap manis dan selalu memahami kebutuhan-kebutuhannya. Kondisi tersebut biasanya terbentuk dari pola asuh dan sikap orang tua yang overprotective dan memanjakan.
6. Faktor pemicu Bunuh Diri
Hidayat dalam Riana Mashar , menyatakan bahwa bunuh diri adalah tindakan merusak diri sendiri yang mengakibatkan kematian. Bunuh dari pada anak-anak umumnya disebabkan implusivitas dank karena kekacauan dalam kelaurga. Menurut Sigmund Freund, bunuh diri pada penderita kesedihan dan depresi ada hubungannya dengan agresi. Kehilangan objek cinta menyebabkan agresi terhadap objek yang hilang ini, kemudian berbalik pada diri sendiri (introspeksi). Adapun pada penderita psikotik bunuh diri dapat berhubungan dengan halusinasi atau waham yang diderita. Orang yang menderita kesulitan hidup (terbelit utang) dan melakukan tindakan bunuh diri dapat dijelaskan dengan menggunakan teori Nico Speijer, yang menyatakan bahwa pada kejadian bunuh diri terdapat agresi hebat yang tidak dapat disalurkan atau disublimasikan. Agresi timbul setelah orang mengalami frustasi, misalnya karena tidak mampu membayar utang, kehilangan harga diri, menyatakan bahwa integrasi sosial dan regulasi sosial dapat mempengaruhi perilaku bunuh diri disuatu masyarakat.
Lingkungan tempat anak berpijak sebagai mahluk sosial adalah masyarakat. Apakah benar tingkah laku anak dibentuk oleh lingkungan soisalnya? Yang jelas menurut Bandura (dalam Kirk & Gallagher, 1986), salah satu hal yang nampak mempengaruhi pola perilaku anakdalam lingkungan sosial adalah keteladanan, yaitu menirukan perilaku orang lain.
Disamping pengaruh-pengaruh yang bersifat positif, didalam lingkungan masyarakat juga terdapat banyak sumber yang merupakan pengarug negative yang dapat memicu timbulnya perilaku menyimpang. Sikap masyarakat yang negative ditambah banyaknya hiburan yang tidak sesuai dengan perkembangan jiwa anak merupakan sumber terjadinya kelainan tingkah laku. Hal ini terutama terjadi dikota-kota besar dimana tersedia berbagai fasilitas tontonan dan hiburang yang tidak tersaring oleh budaya local.
Masuknya pengaruh budaya asing yang tidak sesuai dengan tradisi yang dianut masyarakat yang diterima begitu saja oleh kalangan remaja dapat menimbulkan konflik yang sifatnya negative. Disatu pihak para remaja menganggap bahwa kebudayaan asing itu benar, sementara di pihak lain masyarakat masih memegang norma-norma yang bersumber pada adat dan istiadat agama. Selanjutnya konflik juga dapat timbul pada diri anak sendiri yang disebabkan norma yang dianut dirumah atau keluarga ditekankan pada tingkah laku sopan dan menghargai orang lain, akan tetapi ia menemukan kenyataan lain dalam masyarakat dimana banyak ditemukan tindakan kekerasan dan tidak adanya sikap saling menghargai.
Selain faktor-faktor secara umu, berikut ini coba dikemukakan faktor penyebab secara spesifik terhadap masing-masing jenis gangguan yang dibatasi pada pembahasan makalah ini antara lain:
1. Faktor pemicu agresivitas
Agresivitas terjadi pada setiap anak, terdapat beberapa faktor yang dapat meneyebabkannya. Faktor ini dapat berupa faktor biologis yang berasal dari dalam diri anak (internal) maupun faktor lingkungan yang berasal dari luar diri anak (eksternal). Faktor-faktor biologis dapat berupa pengaruh genetik, system otak, dan kimia darah (hormone seks). Adapun faktor-faktor eksternal yang dapat berupa kemiskinan, kondisi lingkungan fisik yang tidak mendukung (suhu udara yang panas, oksigen yang terbatas), dan kecendrungan meniru model kekerasan yang ada disekitarnya, baik melalui pengamatan langsung terhadap figure-figur model yang ada disekitarnya maupun pengamatan tidak langsung pada figur-figur model kekerasan ditelevisi.
Selain karena faktor-faktor yang telah diuraikan tersebut, Izzaty menguraikan bahwa perilaku agresi dapat terpicu oleh beberapa sumber yang berasal dari dalam diri anak maupun lingkungan sekitarnya. Namun terkadang penyebab perilaku agresi pada anak dapat disebabkan oleh pemicu yang berkaitan dengan kondisi perkembangan, seperti kemampuan bicara belum lancar, energi anak yang berlebihan, perasaan yang tertekan dan terluka, serta keinginan mencari perhatian.
2. Faktor pemicu kecemasan
Sebagian faktor kecemasan dapat disebabkan oleh pola asuh orang tua yang kurang tepat, terutama saat awal kehidupan anak dalam membentuk basic trust atau kepercayaan dasar. Anak yang tidak memilki rasa aman dan memandang dunia diluar dirinya sebagai ancaman, ia cendrung akan lebih muda mengalami kecemasan khususnya saat mengalami berbagai perubahan situasi dan kondisi sekitar.
Beberapa penyebab kecemasan yang dialami anak yaitu:
a. Orang tua yang terlalu melindungi (over protective)
b. Orang tua signifikan others yang tidak konsisten, yang menyebabkan anak tidak mampu memprediksi sesuatu yang akan terjadi.
c. Aturan atau disiplin yang terlalu berlebihan, sehingga menimbulkan rasa cemas pada anak jika melakukan kesalahan karena adanya hukuman atau sanksi yang ditakuti anak.
d. Orang tua yang selalu menuntut kesempurnaan atas prestasi anak, membuat anak selalu merasa dituntut melakukan yang terbaik. Hal ini dapat menimbulkan ketegangan pada pada diri anak dan membuat anak tidak dapat rileks dalam menghadapi berbagai sesuatu.
e. Anak yang selalu mendapat penghargaan bersyarat (conditioning regard), akan cendrung mengalami kecemasan karena anak akan menuntut dirinya sesuai tuntutan dari lingkungan dan membuat anak tidak dapat berekspresi apa adanya.
f. Kritikan yang berlebihan dari orang tua atau orang dewasa disekitarnya.
g. Ketergantungan yang berlebihan terhadap orang dewasa yang ada disekitarnya. Anak yang selalu tergantung pada orang lain dan tidak dibiasakan untuk mandiri, cendrung lebih mudah mengembangkan kecemasan karena ketidakpercayaan pada diri sendiri bahwa ia mampu.
h. Anak yang cendrung tidak banyak bersosialisasi pada orang lain.
i. Figure model dari orang tua atau significan others yang sering menunjukkan kecemasan.
j. Adanya kegagalan atau frustasi yang terus-menerus.
Sedangkan faktor pemicu kecemasan berupa takut berlebihan atau fobia ada beberapa hal antara lain: perasaan takut ini biasanya muncul karena adanya peristiwa atau situasi yang dianggap berbahaya. Terdapat beberapa sumber takut yang biasa dialami oleh individu, yaitu hewan (serangga, ngengat, dan lalat), benda-benda yang berbahaya seperti listrik, mobil, senjata, atau tempat-tempat tertentu.
3. Faktor pemicu Temper Tantrum
Izzaty dalam Riana Mashar , menyatakan bahwa beberapa ahli menyebutkan penyebab temper tantrum yang paling umum terjadi pada anak karena beberapa hal, yaitu frustasi, lapar, sakit, kemarahan, kecemburuan, perubahan dalam rutinitas, serta tertekan dirumah dan disekolah.
4. Faktor pemicu Menarik Diri (Withdrawl)
Terdapat beberapa penyebab withdrawl pada anak, yaitu faktor lingkungan yang kurang member stimulasi dan dorongan untuk bersosialisasi; serta kecendrungan tipe kepribadian anak yang menurut Jung mengarah pada tipe kepribadian introvert. Atau ditinjau dari disposisi emosional berdasar cairan tubuh yang dikemukakan Hippocrates, maka anak tersebut cendrung termasuk dalam kategori melankolis. Selain kedua faktor tersebut, Izaty dalam Riana Mashar mengungkapkan bahwa rasa tidak puas pada diri anak terhadap lingkungan, ketiadaan minat yang sama, dan perbedaan usia anak dengan teman sebayanya, dapat menjadi faktor yang menimbulkan perilaku withdrawl.
5. Faktor pemicu Hipersensitivitas
Hipersensitivitas dapat disebabkan karena perasaan berbeda dengan orang lain. Anak merasa dirinya tidak sepandai, semenarik atau sepopuler anak-anak lain. Selain itu, dapat pula disebabkkan oleh adanya harapan-harapan yang tidak realistis. Bila anak terlalu berharap dari orang lain, secara terus-menerus mereka akan kecewa. Hipersensitivitas berkembang sejak anak menginginkan adanya penerimaan yang total dari orang lain, setiap pertanda adanya penolakan akan dirasakan sangat menyakitkan. Anak yang hipersensitif memilki harapan yang tinggi bahwa orang lain akan selau bersikap manis dan selalu memahami kebutuhan-kebutuhannya. Kondisi tersebut biasanya terbentuk dari pola asuh dan sikap orang tua yang overprotective dan memanjakan.
6. Faktor pemicu Bunuh Diri
Hidayat dalam Riana Mashar , menyatakan bahwa bunuh diri adalah tindakan merusak diri sendiri yang mengakibatkan kematian. Bunuh dari pada anak-anak umumnya disebabkan implusivitas dank karena kekacauan dalam kelaurga. Menurut Sigmund Freund, bunuh diri pada penderita kesedihan dan depresi ada hubungannya dengan agresi. Kehilangan objek cinta menyebabkan agresi terhadap objek yang hilang ini, kemudian berbalik pada diri sendiri (introspeksi). Adapun pada penderita psikotik bunuh diri dapat berhubungan dengan halusinasi atau waham yang diderita. Orang yang menderita kesulitan hidup (terbelit utang) dan melakukan tindakan bunuh diri dapat dijelaskan dengan menggunakan teori Nico Speijer, yang menyatakan bahwa pada kejadian bunuh diri terdapat agresi hebat yang tidak dapat disalurkan atau disublimasikan. Agresi timbul setelah orang mengalami frustasi, misalnya karena tidak mampu membayar utang, kehilangan harga diri, menyatakan bahwa integrasi sosial dan regulasi sosial dapat mempengaruhi perilaku bunuh diri disuatu masyarakat.
D. Upaya Intervensi Gangguan Perkembangan Sosial dan Emosional Anak Usia Dini
Sebelum melakukan intervensi, seperti yang telah diketahui bahwa langkah awal adalah melakukan asesmen dahulu sebagai bentuk deteksi dini pada kondisi anak agar dapat memastikan jenis gangguan dan kondisi tingkat gangguan yang terjadi pada anak. Dengan demikian, baik orangtua maupun guru dapat memberikan intervensi atau penanganan atau tindakan yang tepat untuk menghadapi anak yang mengalami gangguan sosial dan emosional.
Beberapa penanganan yang dapat dilakukan oleh orang dewasa sebagai bentuk intervensi pada anak usia dini yang mengalami gangguan sosial emosional tertentu seperti di bawah ini:
1. Agresivitas (salah satu bentuk ketunalarasan)
Riana Mashar mengatakan bahwa agresivitas pada anak usia dini yang tidak ditangani dengan baik akan berpeluang besar menjadi perilaku yang menetap dan menimbulkan masalah baru di masa perkembangan selanjutnya. Berbagai perilaku antisosial, kenakalan remaja, putus sekolah, perilaku-perilaku negatif lain dapat terjadi karena agretivitas masa usia dini tidak tertangani dengan baik.
Mengingat pentingnya penanganan agretivitas sejak dini, maka orang tua dan pendidik perlu memerhatikan beberapa perlakuan awal bagi anak dengan perilaku agresi sebgaai berikut :
1. Mengajarkan semua anak tentang keterampilan sosila untuk berhubungan dengan orang lain.
2. Menciptakan lingkungan sekolah yang menekan tingkat frustasi atau tekanan pada anak, sehingga lebih memberi keleluasaan anak dalam beraktifitas selama proses pembelajaran, misalnya dengan penerapan pembelajaran aktif.
3. Anak yang berprilaku agresif dapat diatasi dengan menerapkan peraturan yang disertai dengan pemberian penguat atau positive reinforcement dan negative reinforcement.
4. Orang tua dan pendidik dapat pula menerapkan tekhnik penghapusan (extinction) atau pengabaian, yaitu dengan mengabaikan perilaku agresi anak dan tidak menunjukkan perhatian saat anak berperilaku agresi.
5. Anak diajarkan untuk lebih mengembangkan kecerdasan emosinya, dengan melatih anak untuk mampu mengenali emosi, mengelola emosi, berempati, mengembangkan hubungan baik dengan teman, dan motivasi diri. Ini semua dapat diawali dengan relaksasi diri.
Sebelum melakukan intervensi, seperti yang telah diketahui bahwa langkah awal adalah melakukan asesmen dahulu sebagai bentuk deteksi dini pada kondisi anak agar dapat memastikan jenis gangguan dan kondisi tingkat gangguan yang terjadi pada anak. Dengan demikian, baik orangtua maupun guru dapat memberikan intervensi atau penanganan atau tindakan yang tepat untuk menghadapi anak yang mengalami gangguan sosial dan emosional.
Beberapa penanganan yang dapat dilakukan oleh orang dewasa sebagai bentuk intervensi pada anak usia dini yang mengalami gangguan sosial emosional tertentu seperti di bawah ini:
1. Agresivitas (salah satu bentuk ketunalarasan)
Riana Mashar mengatakan bahwa agresivitas pada anak usia dini yang tidak ditangani dengan baik akan berpeluang besar menjadi perilaku yang menetap dan menimbulkan masalah baru di masa perkembangan selanjutnya. Berbagai perilaku antisosial, kenakalan remaja, putus sekolah, perilaku-perilaku negatif lain dapat terjadi karena agretivitas masa usia dini tidak tertangani dengan baik.
Mengingat pentingnya penanganan agretivitas sejak dini, maka orang tua dan pendidik perlu memerhatikan beberapa perlakuan awal bagi anak dengan perilaku agresi sebgaai berikut :
1. Mengajarkan semua anak tentang keterampilan sosila untuk berhubungan dengan orang lain.
2. Menciptakan lingkungan sekolah yang menekan tingkat frustasi atau tekanan pada anak, sehingga lebih memberi keleluasaan anak dalam beraktifitas selama proses pembelajaran, misalnya dengan penerapan pembelajaran aktif.
3. Anak yang berprilaku agresif dapat diatasi dengan menerapkan peraturan yang disertai dengan pemberian penguat atau positive reinforcement dan negative reinforcement.
4. Orang tua dan pendidik dapat pula menerapkan tekhnik penghapusan (extinction) atau pengabaian, yaitu dengan mengabaikan perilaku agresi anak dan tidak menunjukkan perhatian saat anak berperilaku agresi.
5. Anak diajarkan untuk lebih mengembangkan kecerdasan emosinya, dengan melatih anak untuk mampu mengenali emosi, mengelola emosi, berempati, mengembangkan hubungan baik dengan teman, dan motivasi diri. Ini semua dapat diawali dengan relaksasi diri.
2. Kecemasan
Banyak hal yang menjadi sumber kecemasan pada anak, beberapa penyebab kecemasan sebagaimana dipaparkan oleh Riana Mashar yang dialami anak yaitu:
1. Orang tua yang terlalu melindungi ( over protective)
2. Orang tua atau siginificant others yang tidak konsisten, yang menyebabkan anak tidak mampu memprediksi sesuatu yang akan terjadi
3. Aturan atau disiplin yang terlalu berlebihan, sehingga menimbulkan rasa cemas pada anak jika melakukan kesalahan karena ada hukuman dan sangsi yang ditakuti anak.
4. Orangtua selalu menuntut kesempurnaan atas prestasi anak, membuat anak selalu merasa dituntut melakukan yang terbaik. Hal ini dapat menimbulkan ketegangan pada diri anak dan membuat anak tidak dapat relaks dalam menghadapi berbagai sesuatu.
5. Anak yang selau mendapat penghargaan bersyarat (conditioning regard), akan cenderung mengalami kecemasan karena anak akan menuntut dirinya sesuai tuntutan dari lingkungan dan membuat anak tidak dapat berekspresi apa adanya.
6. Kritikan yang berlebihan dari orang tua atau orang dewasa di sekitarnya.
7. Ketergantungan yang berlebihan pada orang dewasa yang ada di sekitarnya .anak yang selalu tergantung pada orang lain dan tidak dibiasakan untuk mandiri, cenderung lebih mudah mengembangkan kecemasan karena ketidak percayaan kepada diri sendiri bahwa dia mampu.
8. Anak yang cenderung tidak banyak bersosialisasi dengan orang lain.
9. Figure model dari orang tua atau significan others yang sering menunjukkan kecemasan.
10. Adanya kegagalan atau frustasi yang terus menerus.
Penanganan kecemasan pada anak harus didahului dengan penanganan terhadap orang tua. Beberapa cara yang dapat ditempuh untuk menangani kecemasan pada anak adalah sebagai berikut:
1. Mencari sumber yang mebuat anak cemas
2. Memberikan rasa aman pada anak dengan menunujukkan sikap yang tenang, menerima keadaan anak, dan tidak menambah beban psikologis pada anak dengan mengancam, menakut-nakuti, atau memarahi anak.
3. Membantu anak mengatasi rasa cemasnya misalnya dengan menerapkan tekhnik desentitasi sistematis, yaitu cara bertahap membantu anak sedikit demi sedikit mengurangi kecemasannya secara bertahap.
4. Mengalihkan anak dari sumber rasa cemas dengan melatih anak untuk relaksasi atau melakukan kegiatan-kegiatan lain yang menarik.
5. Melakukan hal-hal yang menenangkan, seperti mendengarkan music, cerita, atau menggambar.
6. Mengajak anak berbicara tentang sumber kecemasan yang dialami dengan kata-kata yang menenangkan dan membuat ia merasa nyaman.
7. Membiasakan anak terbuka dan mampu mengekspresikan perasaannya.
8. Meminta bantuan ahli jika kecemasan anak berlarut-larut.
Selain itu Rini Hildayani mengatakan bahwa terdapat beberapa bentuk kecemasan, yaitu fobia, fobia merupaka ketakutan yang tidak realistik, intens dan mengganggu terhadap obyek atau peristiwa yang relative tidak berbahaya. Penyebab fobia masih belum diketahui secara pasti, apakah suatu stimulus akan mendatangkan ketakutan tergantung pada perasaan aman yang dimiliki anak. Perasaan aman ini sering dipengaruhi asing tidaknya setting fisik dan sosial bagi anak, tingkat perkembangan kognitif yang menentukan apkah sebuah peristiwa akan dikelompokkan sebagai suatu yang cukup dikenal atau asing bagi anak, keadaan kesejahteraan anak dan karakteristik temperamental jangka panjang, seperti kuat dan tabah atau sensitive dan mudah merasa takut. Dalam penanganan fobia adalah anda menjadi model yang baik bagi anak. Dengan modeling, anak mengamati bagaimana anda berinteraksi secara adaptif dengan objek yang ditakutinya. Hal lain yang juga dapat dilakukan adalah juga participatory modeling, artnya anak bergabung dengan model untuk mendekati, mengamati objek yang ditakutinya secara bertahap dan perlahan.
Salah satu ketakutan yang umum terjadi pada anak anak adalah ketakutan pada sekolah atau biasa disebut fobia sekolah. meskipun belum ditemukan adanya alas an yang jelas untuk terjadinya serngan fobia, King, Hamilton, dan Ollendick. Wenar mengemukakan bahwa perubahan sekolah, penyakit atau kematian orang tua, serta kondisi yang mengharuskan anak untuk tinggal di rumah akibat sakit atau kecelakaan dapat menjadi peristiwa-peristiwa umum yang menyebabkan anak fobia terhadap sekolah. Selain itu sebuah penelitian kecil tentang keluarga juga menemukan bahwa fobia sekolah dapat terjadi pada anak-anak yang sangat dependen dan orang tua yang terlibat secara berlebihan.
Dalam penanganan fobia sekolah ini Kearney dan Silverman mengemukaan bahwa penanganannya harus disesuaikan dengan ketakutan yang dialami anak. Anak yang mengalami ketakutan pada setting sekolah tertentu, misalnya guru, atau bis sekolah, dapat ditangani dengan cara menghadirkan secara perlahan-lahan objek yang ditakutinya. Anak yang ingin melepaskan diri dari situasi sosial yang tidak menyenangkan misalnya hubungan dengan teman yang tidak menyenangkan, ditanganani dengan tekhnik modeling dan restrukturisasi kognitif. Adapun anak-anak yang memperlihatkan keluhan fisik tetap ditempatkan di rumah dan penanganan dilakukan dengan menginstruksikan orangtua untuk mengabaikan anak, menempatkan anak di dalam kamar, dan memberi pilihan pada anak untuk tinggal di rumah dengan konsekwensi tertentu ( misalnya tidak diperkenankan menonton tv , tidak boleh bermain dan lainnya) atau hadir di sekolah.
Takut berlebihan atau disebut juga fobia yang merupakan bagian dari kecemasan atau anxietas. Perasaan takut yang berlebihan pada anak akan menghambat anak dalam beraktifitas, sehingga perlu penanganan secara tepat. Beberapa hal yang perlu dilakukan untuk mengatasi ketakutan yang berlebihan pada anak antara lain :
a. Mengidentifikasi ketakutan anak dan tidak membebani anak dengan kecemasan-kecemasan yang dirasakan oleh pendidik atau orang tua
b. Memberi pengertian kepada anak tentang sumber rasa takut dan jika memungkinkan menerapkan prinsip desentisasi sistematis, yaitu tekhnik perubahan tingkah laku dengan pembiasaan-pembiasaan terhadap sumber rasa takut secara bertahap.
c. Memberi antisipasi kepada anak dengan melatih mereka untuk secara mandiri mampu mengatasi rasa takutnya, misalnya dengan mengajak anak berinteraksi dan mengamati hal-hal yang menimbulkan rasa takut.
d. Memberi figure model agar ditiru anak untuk mengatasi rasa takut.
3. Temper Tantrum
Ada beberapa cara sederhana dalam menghadapi perilaku tantrum yang ditunjukkan oleh anak prasekolah adalah mencoba mengerti dan memahami jenis tantrum yang dihadapi. Sebagaimana diketahui bahwa ada 3 jenis Tantrum, setiap jenis tantrm membutuhkan penanganan yang berbeda-beda.
d. Penanganan Manipulative Tantrum
Bila anak menunjukkan manipulative tantrum maka yang harus dilakukan adalah mengabaikan (ignorin) perilaku temper tantrum anak dan tidak mempedulikan keinginan anak pada saat itu. Jangan memperhatikan perilaku tantrum yang ditunjukkan aak. Cobalah untuk melihat kea rah anak, dan tetap dengan tenang melakukan pekerjaan anda yang lain.
Tentu saja adalah hal yang sulit untuk member perhatian pada anak yang sedang berteriak-teriak terutama di dalam kelas dengan banyak siswa lain. Sedapat mungkin pisahkan anak dari teman-temannya. Pindahkan anak pada tempat yang lebih tenang, misalnya dipojokan atau ruangan lain yang anda pastikan keamanannya. Katakan pada anak, ”kamu dapat kembali bergabung dengan kami, bila kamu mengendalikan kemarahanmu” atau “untuk sementara kamu diam dulu di ruangan ini sampai kamu bisa berhenti berteriak-teriak seperti itu” mintalah agar anak lain tidak mengacuhkan perilaku temannya itu, katakana pada mereka bahwa si Dodi sedang dihukum karena ibu guru tidak suka ada anak yang berteriak-teriak di dalam kelas. Biar Dodi menghentikan teriakannya itu, dan kita tetap belajar dengan baik. Tidak perlu memperhatikan dodi, sekarang perhatikan ibu….”.
Cara di atas biasa disebut sebagai model time out. Time out merupakan salah satu cara termasuk dalam reducing excess behavior. Hal ini berarti prosedur time out dapat digunakan untuk menurunkan/mengurangi tingkah laku berlebihan yang ditunjukkan seorang anak ketika ia melakukan temper tantrum. Seperti dikemukakan oleh Tyler & Brown (1967 dalam Gelfand & Hartmann, 1975) bahwa time out biasa digunakan untuk mengurangi munculnya perilaku agresif dan tantrum pada anak.
Time out artinya memasukkan anak pada situasi dimana semua orang tidak ada yang mempedulikannya. Time out diarahkan pada tingkah laku specific (target perilaku yang tidak dikehendaki), dimana ketika perilaku tersebut muncul, tidak diberikan /disediakan postif reinforcement selama waktu tertentu. Dengan kata lain selama time out, anak dijauhkan dari segala bentuk positif reinforcement yang biasa diperolehnya.
e. Menangani verbal frustration tantrum
Untuk menangani tantrum jenis kedua ini kita tidak dapat begitu saja mengacuhkan perilaku tantrum anak, jangan membiarkan atau meningggalkan anak karena hanya membuat anak semakin kecewa dan frustasi. Jika hal itu terjadi di sekolah, bisa saja mengamuknya kemudia dialihkan ke rumah karena masalah utamanya tidak terselesaikan.
Maka yang harus dilakukan adalah membantu anak mengenali apa yang dirasakan, kemudian membantunya memecahkan masalahnya.
Kebanyakan anak melakukan tantrum karena anak tidak dapat menunjukkan atau menjelaskan perasaan dan keinginannya melaui kata-kata. Cobalah menunjukkan bahwa anda memahami keadaan anak. Dorong anak untuk mengungkapkan dengan verbal perasaan dan keinginannya. Bila halini sulit bagi anak, cobalah dengan kata-kata anda untuk mengartikan perasaan dan keinginan anak melalui kata-kata hal ini akan membantu mereka untuk memahami frustasi yang mereka rasakan.
f. Menangani Temperramental Tantrum
Penanganan pada tantrum jenis ketiga ini hampir sama seperti pada verbal frustration tantrum dimana mereka mengacuhkan perilaku tantrumnya maka hal ini tidak menyelesaikan masalah. Dikarenakan anak sulit untuk dapat melakukan koktrol terhadap dirinya sendiri tanpa bantuan orang lain. Pada tantrum jenis ini adakalanya anda membutuhkan ahli untuk menanganinya.
Berikutnya adalah mencatat hal-hal yang menjadi sumber terjadinya tantrum. Hal ini bertujuan untuk mengantisipasi hal yang dapat memunculkan perilaku tantrum. Hal yang umum memicu terjadi tantrum adalah kondisi-kondisi seperti: anak sedang merasa lelah, lapar atau tertekan oleh hal-hal tertentu.
a. Mengendalikan diri
Adakalanya dalam menghadapi anak yang sedang tantrum, guru terpancing secara emosial. Tetaplah bersikap tenang, tampilkan sikap penghargaan pada anak tersebut, karena jika kita cenderung bersikap emosi pula justru semakin memicu temper tantrum pada anak.
b. Hindari argumentasi dan penjelasan tindakan pada saat anak sedang tantrum
Anak yang sedang berada pada periode tantrum tertinggi tidak dapat mendengar apa yang dikatakan pada mereka, mereka sangat ketakutan bahkan tidak dapat menghentikan tanginan dan teriakannya sendiri (Linsdown & Walker,1996). Argument ataupun memberi alasan tentang tindakan anda tidaklah efektif pada kondisi tersebut.
c. Menghindari Reward
Hendaknya tidak terpengaruh oleh tantrum meskipun saat itu kita merasa bodoh atau bersalah. Kita harus berani mengatakan tidak sekalipun anak menunjukkan perilaku tantrumnya, hal ini bertujuan untuk memberikan pelajaran pada anak bahwa tidak semua keinginan harus dan dapat dituruti. Anak diajarkan tentang hal-hal yang menjadi prioritas, hal-hal yang bermanfaat pada dirinya atau tidak. Selain itu juga untuk membentuk disiplin pada anak.
d. Hindari penggunaan obat
Jangan menggunakan obat untuk menghentikan perilaku tantrum pada anak, walaupun obat tersebut cepat memberikan ketenangan pada anak. melatih anak mengelola, mengontrol emosinya akan lebih baik sekaligus memberikan dampak positif untuk meminimalisir bahkan menghilangkan perilaku tantrum.
Perilaku temper tantrum, dapat diatasi dengan perilaku pendidik atau orang tua yang tetap mampu mengontrol emosi dengan menunjukkan sikap yang tenang, lemah lembut, tidak terpancing untuk ikut marah dan tegas. Jika orang tua atau pendidik memberikan respons atau penguat positif bagi temper tantrum anak, sangat mungkin perilaku ini akan terus menetap dan selalu dijadikan sebagai senjata bagi anak untuk memperoleh apa yang diinginkan.
Riana Mashar memaparkan beberapa cara dalam menghadapi anak temper tantrum sebagai berikut :
a. Pencegahan dan mengenali kebiasaan anak, mengetahui secara pasti pada kondisi-kondisi seperti apa munculnya tantrum serta mengatur pola asuh dan pola didik yang baik bagi orang tua dan pendidik.
b. Ketika tantrum terjadi maka hendaknya dipastikan bahwa lingkungan sekitar aman, orang tua dan pendidik harus tetap tenang dan berupaya menjaga emosinya sendiri agar tetap tenang, tidak mengacuhkan tantrum. Setelah anak menunjukkan penurunan perilaku tantrum, maka orang tua dan pendidik perlu egera mendekati anak, memeluk dan memberi ketenangan kepada anak, setelah anak tenang baru orang tua member pengertian tentang perilaku anak tanpa menyudutkan. Sebaiknya hindari upaya menenangkan anak dengan memberi pelukan atau perhatian berlebihan dan menuruti kemauan anak saat mengembangkan perilaku tantrum karena hal ini akan menjadi penguat positif untuk perilaku negative tersebut.
c. Ketika tantrum telah berlalu maka jangan diikuti dengan hukuman, nasihat-nasihat, atau teguran maupun sindirian-sindiran, jangan memberi hadiah apapun, berikanlah rasa cinta dan aman pada anak,orang tua perlu bekerja sama dengan guru dalam melakukan evaluasi terhadap perilaku tantrum anak.
4. Menarik Diri (With Drawl)
Terdapat beberapa penyebab withdrawl pada anak, yaitu faktor lingkungan yang kurang member stimulasi dan dorongan untuk bersosialisasi, serta kecenderungan tipe kepribadian anak yang menurut Jung mengarah pada tipe kepribadian introvert, atau jika ditinjau dari disposisiemosional berdasar cairan tubuh yang dikemukakan Hippocrates, maka anak tersebut cenderung termasuk kategori melankolis. Selain kedua faktor tersebut, Izzaty mengungkapkan bahwa rasa tak puas diri terhadap lingkungan, ketiadaan minat yang sama, dan perbedaan usia anak dengan teman sebayanya, dapat menjadi faktor yang menimbulkan perilaku withdrawl.
Withdrawl perlu penanganan serius mengingat besar pengaruh sosialisasi dengan teman sebaya terhadap perkembangan aspek perkembangan anak. Baik Piaget, Anna Freud, maupun Vygotsky dalam kesimpulan penelitian-penelitian mereka menyatakan bahwa interaksi dengan teman sebaya dapat meningkatkan kemampuan kognitif, perkembangan bahasa, moral, emosi, dan keterampilan sosial dalam diri anak. Hal ini poerlu menjadi perhatian bagi orang tua dan pendidkk segera member intervensi yang memadai dalam menangani anak-anak withdrawl .
Terdapat beberapa cara yang dapat dilakukan dalam penanganan withdrawl diantaranya orang tua dan pendidik perlu mengembangkan sikap penerimaan dan penghargaan terhadap setiap ekspresi anak, baik perasaan, ide, pernyataan, atau ungkapan-ungkapan verbal anak. Penghargaan dari lingkungan sekitar akan menimbulkan percaya diri dan rasa aman pada anak. Selain itu, anak juga perlu distimulasi guna mengikuti kegiatan-kegiatan kelompok agar anak berinteraksi dengan banyak orang. Jika permasalahan tersebut terus berlanjut, sebaiknya orang tua segera mengkonsultasikan anak kepada ahli yang lebih kompeten.
6. Hipersensitivitas
Hipersensivitas dapat disebabkan karena perasaan berbeda dengan orang lain. Anak merasa tidak sepandai, semenarik atau sepopuler anak-anak lain. Selain itu , dapat pula disebabkan oleh adanya harapan-harapan yang tidak realistis. Bila anak telalu berharap dari orang lain, secara terus menerus mereka akan merasa kecewa. Hipersensivitas berkembang sejak anak menginginkan adanya penerimaan yang yotal dari orang lain, setiap pertanda adanya penolakan akan dirasakan sangat menyakitkan. Anak yang hipersensitif memiliki harapan yang tinggi bahwa orang lain akan selalu bersikap manis dan selalu memahami kebutuhan-kebutuhannya. Kondisi tersebut biasanya terbentuk dari pola asuh dan sikap orang tua yang over protective dan memanjakan.
Beberapa hal yang perlu dilakukan pendidik atau orang tua dalam menangani anak hipersensitif diantaranya :
a. Menghindari sikap overprotective pada anak.
b. Perlu membiasakan anak untuk menerima masukan, kritik, dan saran dari lingkungan sekitar
c. Perlu mengajarkan pada anak untuk memandang dirinya secara lebih proporsional
d. Anak perlu dilatih untuk memiliki keterampilan menyelesaikan masalah
7. Bunuh Diri
Hidayat dalam Riana Mashar menyatakan bahwa bunuh diri adalah tindakan merusak diri sendiri yang mengakibatkan kematian . bunuh diri pada anak umumnya disebakan impulsivitas dan kekacauan dalam keluarga. Menurut Sigmund Freud , bunuh diri pada penderita kesedihan dan depresi adanya hubungannya dengan agresi. Kehilangan objek cinta menyebabkan agresi terhadap objek yang hilang ini, kemudian berbalik kepada diri sendiri (introspeksi).
Berdasar kasus bunuh diri yang dilakukan oleh anak-anak, terdapat bebrapa macam faktor pencetus yang mengakibatkan anak melakukan bunuh diri. Hidayat, mengamati terdapat dua faktor yang menyebabkan anak melakukan percobaan bunuh diri. Faktor pertama karena anak tidak mempunyai keterampilan hidup menghadapi stress. Adapun faktor kedua orang tua gagal dalam mengajarkan keterampilan hidup pada anak. Ketidakmampuan anak dalam mengahadapi stress dapat disebabkan oleh faktor lingkungan yang ada di sekitar anak. Lingkungan yang mempunyai masalah sosial misalnya terjadi kekerasan, persaingan ekonomi, dapat mempengaruhi keharmonisan dalam rumah tangga dan kondisi psikis anak. Anak-nak yang mengalami kekerasan, kecanduan, kemiskinan, dan pelanggaran seksual dan atau emosional memiliki resiko lebih tinggi terhadap percobaan bunuh diri. Selain itu, lingkungan sekolah juga berpengaruh besar pada anak. Seorang guru yang tidak bijak dapat menyebabkan stress pada diri anak, karena dipermalukan di depan teman-teman.
Tindakan preventif pada anak usia dini untuk menghindari tindakan bunuh diri dari beberapa kesimpulan pemicu tindakan bunuh diri adalah sebagai berikut :
a. Penanaman kecintaan Allah sebagai Pencipta yang Maha Pengasih dan Penyayang.
b. Pengasuhan dengan kasih sayang , menumbuhkan keyakinan diri dan kepercayaan diri pada anak, serta mengarahkan anak pada kegiatan peningkatan kemampuan individual anak .
c. Peningkatan keterampilan hidup pada anak
d. Dalam bersosialiasi dengan teman dan lingkungan sekitarnya hendaknya anak dibekali pula keterampilan problem solving dalam mengatasi permasalahan yang muncul dalam interaksinya dengan teman dan lingkungannya.
e. Menciptakan lingkungan yang nyaman dan ramah anak.
Hal lain sebagaimana yang dungkapkan Maslow (Hal, 1985 ) bahwa sekolah memainkan peranan, gangguan sosial emosional yang dialami anak secara general jika merujuk dari teori Maslow adalah merupakan kebutuhan aktualisasi diri yang tidak dapat dicapai disebabkan oleh berbagai sebabnya.
Untuk itu ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh orang tua maupun para pendidik untuk mengatasi hal tersebut :
a. Berikan kesempatan kepada setiap anak untuk mengalami setiap kejadian dengan hidup, penuh, tidak egois. Kita hendaknya menciptakan situasi yang memungkinkan anak berkonsentrasi dengan pengalaman tersebut dan biarkan pengalaman itu merasuk dalam diri anak
b. Kehidupan adalah proses terus menerus dari memilih keamanan (aman dari rasa takut dan kebutuhan untuk memepertahankan diri) dan risiko (untuk dapat tumbuh dan berkembang) ciptakan situasi yang dapat menolong anak emilih resiko sehingga mereka akan selalu tumbuh dan berkembang
c. Apabila anak harus selalu berfikir, jangan terlalu banyak member petunjuk. Biarkan anak mengatakan apa yang mereka rasakan.
d. Apabila anak dalam keraguan, dorong anak untuk dapat mengatakan sejujurnya. Apabila anak melihat dirinya sendiri dan berlaku jujur, mereka akan bertanggung jawab.
e. Biarkan anak mendengarkan seleranya sendiri dan bersiap untuk tidak popular
f. Berikan kesempatan pada anak untuk menggunakan kepandaiannya. Dorong anak untuk bekerja sebaik mungkin sesuai dengan apa yang ingin mereka kerjakan.
g. Ajak anak untuk mempelajari apa yang terbaik dan terburuk dari mereka dan bantu anak untuk menyingkirkan segala ilusi dan keyakinan palsu.
h. Minta anak untuk mengenali dirinya sendiri, apa disukai dan tidak disukai, apa yang baik dan buruk untuk mereka, ke mana arah dan tujuan mereka selain itu, anak juga didorong untuk mengenali pertahanan dirinya dan menemukan kekuatan untuk mengalahkan
BAB III
PENUTUP
Banyak hal yang menjadi sumber kecemasan pada anak, beberapa penyebab kecemasan sebagaimana dipaparkan oleh Riana Mashar yang dialami anak yaitu:
1. Orang tua yang terlalu melindungi ( over protective)
2. Orang tua atau siginificant others yang tidak konsisten, yang menyebabkan anak tidak mampu memprediksi sesuatu yang akan terjadi
3. Aturan atau disiplin yang terlalu berlebihan, sehingga menimbulkan rasa cemas pada anak jika melakukan kesalahan karena ada hukuman dan sangsi yang ditakuti anak.
4. Orangtua selalu menuntut kesempurnaan atas prestasi anak, membuat anak selalu merasa dituntut melakukan yang terbaik. Hal ini dapat menimbulkan ketegangan pada diri anak dan membuat anak tidak dapat relaks dalam menghadapi berbagai sesuatu.
5. Anak yang selau mendapat penghargaan bersyarat (conditioning regard), akan cenderung mengalami kecemasan karena anak akan menuntut dirinya sesuai tuntutan dari lingkungan dan membuat anak tidak dapat berekspresi apa adanya.
6. Kritikan yang berlebihan dari orang tua atau orang dewasa di sekitarnya.
7. Ketergantungan yang berlebihan pada orang dewasa yang ada di sekitarnya .anak yang selalu tergantung pada orang lain dan tidak dibiasakan untuk mandiri, cenderung lebih mudah mengembangkan kecemasan karena ketidak percayaan kepada diri sendiri bahwa dia mampu.
8. Anak yang cenderung tidak banyak bersosialisasi dengan orang lain.
9. Figure model dari orang tua atau significan others yang sering menunjukkan kecemasan.
10. Adanya kegagalan atau frustasi yang terus menerus.
Penanganan kecemasan pada anak harus didahului dengan penanganan terhadap orang tua. Beberapa cara yang dapat ditempuh untuk menangani kecemasan pada anak adalah sebagai berikut:
1. Mencari sumber yang mebuat anak cemas
2. Memberikan rasa aman pada anak dengan menunujukkan sikap yang tenang, menerima keadaan anak, dan tidak menambah beban psikologis pada anak dengan mengancam, menakut-nakuti, atau memarahi anak.
3. Membantu anak mengatasi rasa cemasnya misalnya dengan menerapkan tekhnik desentitasi sistematis, yaitu cara bertahap membantu anak sedikit demi sedikit mengurangi kecemasannya secara bertahap.
4. Mengalihkan anak dari sumber rasa cemas dengan melatih anak untuk relaksasi atau melakukan kegiatan-kegiatan lain yang menarik.
5. Melakukan hal-hal yang menenangkan, seperti mendengarkan music, cerita, atau menggambar.
6. Mengajak anak berbicara tentang sumber kecemasan yang dialami dengan kata-kata yang menenangkan dan membuat ia merasa nyaman.
7. Membiasakan anak terbuka dan mampu mengekspresikan perasaannya.
8. Meminta bantuan ahli jika kecemasan anak berlarut-larut.
Selain itu Rini Hildayani mengatakan bahwa terdapat beberapa bentuk kecemasan, yaitu fobia, fobia merupaka ketakutan yang tidak realistik, intens dan mengganggu terhadap obyek atau peristiwa yang relative tidak berbahaya. Penyebab fobia masih belum diketahui secara pasti, apakah suatu stimulus akan mendatangkan ketakutan tergantung pada perasaan aman yang dimiliki anak. Perasaan aman ini sering dipengaruhi asing tidaknya setting fisik dan sosial bagi anak, tingkat perkembangan kognitif yang menentukan apkah sebuah peristiwa akan dikelompokkan sebagai suatu yang cukup dikenal atau asing bagi anak, keadaan kesejahteraan anak dan karakteristik temperamental jangka panjang, seperti kuat dan tabah atau sensitive dan mudah merasa takut. Dalam penanganan fobia adalah anda menjadi model yang baik bagi anak. Dengan modeling, anak mengamati bagaimana anda berinteraksi secara adaptif dengan objek yang ditakutinya. Hal lain yang juga dapat dilakukan adalah juga participatory modeling, artnya anak bergabung dengan model untuk mendekati, mengamati objek yang ditakutinya secara bertahap dan perlahan.
Salah satu ketakutan yang umum terjadi pada anak anak adalah ketakutan pada sekolah atau biasa disebut fobia sekolah. meskipun belum ditemukan adanya alas an yang jelas untuk terjadinya serngan fobia, King, Hamilton, dan Ollendick. Wenar mengemukakan bahwa perubahan sekolah, penyakit atau kematian orang tua, serta kondisi yang mengharuskan anak untuk tinggal di rumah akibat sakit atau kecelakaan dapat menjadi peristiwa-peristiwa umum yang menyebabkan anak fobia terhadap sekolah. Selain itu sebuah penelitian kecil tentang keluarga juga menemukan bahwa fobia sekolah dapat terjadi pada anak-anak yang sangat dependen dan orang tua yang terlibat secara berlebihan.
Dalam penanganan fobia sekolah ini Kearney dan Silverman mengemukaan bahwa penanganannya harus disesuaikan dengan ketakutan yang dialami anak. Anak yang mengalami ketakutan pada setting sekolah tertentu, misalnya guru, atau bis sekolah, dapat ditangani dengan cara menghadirkan secara perlahan-lahan objek yang ditakutinya. Anak yang ingin melepaskan diri dari situasi sosial yang tidak menyenangkan misalnya hubungan dengan teman yang tidak menyenangkan, ditanganani dengan tekhnik modeling dan restrukturisasi kognitif. Adapun anak-anak yang memperlihatkan keluhan fisik tetap ditempatkan di rumah dan penanganan dilakukan dengan menginstruksikan orangtua untuk mengabaikan anak, menempatkan anak di dalam kamar, dan memberi pilihan pada anak untuk tinggal di rumah dengan konsekwensi tertentu ( misalnya tidak diperkenankan menonton tv , tidak boleh bermain dan lainnya) atau hadir di sekolah.
Takut berlebihan atau disebut juga fobia yang merupakan bagian dari kecemasan atau anxietas. Perasaan takut yang berlebihan pada anak akan menghambat anak dalam beraktifitas, sehingga perlu penanganan secara tepat. Beberapa hal yang perlu dilakukan untuk mengatasi ketakutan yang berlebihan pada anak antara lain :
a. Mengidentifikasi ketakutan anak dan tidak membebani anak dengan kecemasan-kecemasan yang dirasakan oleh pendidik atau orang tua
b. Memberi pengertian kepada anak tentang sumber rasa takut dan jika memungkinkan menerapkan prinsip desentisasi sistematis, yaitu tekhnik perubahan tingkah laku dengan pembiasaan-pembiasaan terhadap sumber rasa takut secara bertahap.
c. Memberi antisipasi kepada anak dengan melatih mereka untuk secara mandiri mampu mengatasi rasa takutnya, misalnya dengan mengajak anak berinteraksi dan mengamati hal-hal yang menimbulkan rasa takut.
d. Memberi figure model agar ditiru anak untuk mengatasi rasa takut.
3. Temper Tantrum
Ada beberapa cara sederhana dalam menghadapi perilaku tantrum yang ditunjukkan oleh anak prasekolah adalah mencoba mengerti dan memahami jenis tantrum yang dihadapi. Sebagaimana diketahui bahwa ada 3 jenis Tantrum, setiap jenis tantrm membutuhkan penanganan yang berbeda-beda.
d. Penanganan Manipulative Tantrum
Bila anak menunjukkan manipulative tantrum maka yang harus dilakukan adalah mengabaikan (ignorin) perilaku temper tantrum anak dan tidak mempedulikan keinginan anak pada saat itu. Jangan memperhatikan perilaku tantrum yang ditunjukkan aak. Cobalah untuk melihat kea rah anak, dan tetap dengan tenang melakukan pekerjaan anda yang lain.
Tentu saja adalah hal yang sulit untuk member perhatian pada anak yang sedang berteriak-teriak terutama di dalam kelas dengan banyak siswa lain. Sedapat mungkin pisahkan anak dari teman-temannya. Pindahkan anak pada tempat yang lebih tenang, misalnya dipojokan atau ruangan lain yang anda pastikan keamanannya. Katakan pada anak, ”kamu dapat kembali bergabung dengan kami, bila kamu mengendalikan kemarahanmu” atau “untuk sementara kamu diam dulu di ruangan ini sampai kamu bisa berhenti berteriak-teriak seperti itu” mintalah agar anak lain tidak mengacuhkan perilaku temannya itu, katakana pada mereka bahwa si Dodi sedang dihukum karena ibu guru tidak suka ada anak yang berteriak-teriak di dalam kelas. Biar Dodi menghentikan teriakannya itu, dan kita tetap belajar dengan baik. Tidak perlu memperhatikan dodi, sekarang perhatikan ibu….”.
Cara di atas biasa disebut sebagai model time out. Time out merupakan salah satu cara termasuk dalam reducing excess behavior. Hal ini berarti prosedur time out dapat digunakan untuk menurunkan/mengurangi tingkah laku berlebihan yang ditunjukkan seorang anak ketika ia melakukan temper tantrum. Seperti dikemukakan oleh Tyler & Brown (1967 dalam Gelfand & Hartmann, 1975) bahwa time out biasa digunakan untuk mengurangi munculnya perilaku agresif dan tantrum pada anak.
Time out artinya memasukkan anak pada situasi dimana semua orang tidak ada yang mempedulikannya. Time out diarahkan pada tingkah laku specific (target perilaku yang tidak dikehendaki), dimana ketika perilaku tersebut muncul, tidak diberikan /disediakan postif reinforcement selama waktu tertentu. Dengan kata lain selama time out, anak dijauhkan dari segala bentuk positif reinforcement yang biasa diperolehnya.
e. Menangani verbal frustration tantrum
Untuk menangani tantrum jenis kedua ini kita tidak dapat begitu saja mengacuhkan perilaku tantrum anak, jangan membiarkan atau meningggalkan anak karena hanya membuat anak semakin kecewa dan frustasi. Jika hal itu terjadi di sekolah, bisa saja mengamuknya kemudia dialihkan ke rumah karena masalah utamanya tidak terselesaikan.
Maka yang harus dilakukan adalah membantu anak mengenali apa yang dirasakan, kemudian membantunya memecahkan masalahnya.
Kebanyakan anak melakukan tantrum karena anak tidak dapat menunjukkan atau menjelaskan perasaan dan keinginannya melaui kata-kata. Cobalah menunjukkan bahwa anda memahami keadaan anak. Dorong anak untuk mengungkapkan dengan verbal perasaan dan keinginannya. Bila halini sulit bagi anak, cobalah dengan kata-kata anda untuk mengartikan perasaan dan keinginan anak melalui kata-kata hal ini akan membantu mereka untuk memahami frustasi yang mereka rasakan.
f. Menangani Temperramental Tantrum
Penanganan pada tantrum jenis ketiga ini hampir sama seperti pada verbal frustration tantrum dimana mereka mengacuhkan perilaku tantrumnya maka hal ini tidak menyelesaikan masalah. Dikarenakan anak sulit untuk dapat melakukan koktrol terhadap dirinya sendiri tanpa bantuan orang lain. Pada tantrum jenis ini adakalanya anda membutuhkan ahli untuk menanganinya.
Berikutnya adalah mencatat hal-hal yang menjadi sumber terjadinya tantrum. Hal ini bertujuan untuk mengantisipasi hal yang dapat memunculkan perilaku tantrum. Hal yang umum memicu terjadi tantrum adalah kondisi-kondisi seperti: anak sedang merasa lelah, lapar atau tertekan oleh hal-hal tertentu.
a. Mengendalikan diri
Adakalanya dalam menghadapi anak yang sedang tantrum, guru terpancing secara emosial. Tetaplah bersikap tenang, tampilkan sikap penghargaan pada anak tersebut, karena jika kita cenderung bersikap emosi pula justru semakin memicu temper tantrum pada anak.
b. Hindari argumentasi dan penjelasan tindakan pada saat anak sedang tantrum
Anak yang sedang berada pada periode tantrum tertinggi tidak dapat mendengar apa yang dikatakan pada mereka, mereka sangat ketakutan bahkan tidak dapat menghentikan tanginan dan teriakannya sendiri (Linsdown & Walker,1996). Argument ataupun memberi alasan tentang tindakan anda tidaklah efektif pada kondisi tersebut.
c. Menghindari Reward
Hendaknya tidak terpengaruh oleh tantrum meskipun saat itu kita merasa bodoh atau bersalah. Kita harus berani mengatakan tidak sekalipun anak menunjukkan perilaku tantrumnya, hal ini bertujuan untuk memberikan pelajaran pada anak bahwa tidak semua keinginan harus dan dapat dituruti. Anak diajarkan tentang hal-hal yang menjadi prioritas, hal-hal yang bermanfaat pada dirinya atau tidak. Selain itu juga untuk membentuk disiplin pada anak.
d. Hindari penggunaan obat
Jangan menggunakan obat untuk menghentikan perilaku tantrum pada anak, walaupun obat tersebut cepat memberikan ketenangan pada anak. melatih anak mengelola, mengontrol emosinya akan lebih baik sekaligus memberikan dampak positif untuk meminimalisir bahkan menghilangkan perilaku tantrum.
Perilaku temper tantrum, dapat diatasi dengan perilaku pendidik atau orang tua yang tetap mampu mengontrol emosi dengan menunjukkan sikap yang tenang, lemah lembut, tidak terpancing untuk ikut marah dan tegas. Jika orang tua atau pendidik memberikan respons atau penguat positif bagi temper tantrum anak, sangat mungkin perilaku ini akan terus menetap dan selalu dijadikan sebagai senjata bagi anak untuk memperoleh apa yang diinginkan.
Riana Mashar memaparkan beberapa cara dalam menghadapi anak temper tantrum sebagai berikut :
a. Pencegahan dan mengenali kebiasaan anak, mengetahui secara pasti pada kondisi-kondisi seperti apa munculnya tantrum serta mengatur pola asuh dan pola didik yang baik bagi orang tua dan pendidik.
b. Ketika tantrum terjadi maka hendaknya dipastikan bahwa lingkungan sekitar aman, orang tua dan pendidik harus tetap tenang dan berupaya menjaga emosinya sendiri agar tetap tenang, tidak mengacuhkan tantrum. Setelah anak menunjukkan penurunan perilaku tantrum, maka orang tua dan pendidik perlu egera mendekati anak, memeluk dan memberi ketenangan kepada anak, setelah anak tenang baru orang tua member pengertian tentang perilaku anak tanpa menyudutkan. Sebaiknya hindari upaya menenangkan anak dengan memberi pelukan atau perhatian berlebihan dan menuruti kemauan anak saat mengembangkan perilaku tantrum karena hal ini akan menjadi penguat positif untuk perilaku negative tersebut.
c. Ketika tantrum telah berlalu maka jangan diikuti dengan hukuman, nasihat-nasihat, atau teguran maupun sindirian-sindiran, jangan memberi hadiah apapun, berikanlah rasa cinta dan aman pada anak,orang tua perlu bekerja sama dengan guru dalam melakukan evaluasi terhadap perilaku tantrum anak.
4. Menarik Diri (With Drawl)
Terdapat beberapa penyebab withdrawl pada anak, yaitu faktor lingkungan yang kurang member stimulasi dan dorongan untuk bersosialisasi, serta kecenderungan tipe kepribadian anak yang menurut Jung mengarah pada tipe kepribadian introvert, atau jika ditinjau dari disposisiemosional berdasar cairan tubuh yang dikemukakan Hippocrates, maka anak tersebut cenderung termasuk kategori melankolis. Selain kedua faktor tersebut, Izzaty mengungkapkan bahwa rasa tak puas diri terhadap lingkungan, ketiadaan minat yang sama, dan perbedaan usia anak dengan teman sebayanya, dapat menjadi faktor yang menimbulkan perilaku withdrawl.
Withdrawl perlu penanganan serius mengingat besar pengaruh sosialisasi dengan teman sebaya terhadap perkembangan aspek perkembangan anak. Baik Piaget, Anna Freud, maupun Vygotsky dalam kesimpulan penelitian-penelitian mereka menyatakan bahwa interaksi dengan teman sebaya dapat meningkatkan kemampuan kognitif, perkembangan bahasa, moral, emosi, dan keterampilan sosial dalam diri anak. Hal ini poerlu menjadi perhatian bagi orang tua dan pendidkk segera member intervensi yang memadai dalam menangani anak-anak withdrawl .
Terdapat beberapa cara yang dapat dilakukan dalam penanganan withdrawl diantaranya orang tua dan pendidik perlu mengembangkan sikap penerimaan dan penghargaan terhadap setiap ekspresi anak, baik perasaan, ide, pernyataan, atau ungkapan-ungkapan verbal anak. Penghargaan dari lingkungan sekitar akan menimbulkan percaya diri dan rasa aman pada anak. Selain itu, anak juga perlu distimulasi guna mengikuti kegiatan-kegiatan kelompok agar anak berinteraksi dengan banyak orang. Jika permasalahan tersebut terus berlanjut, sebaiknya orang tua segera mengkonsultasikan anak kepada ahli yang lebih kompeten.
6. Hipersensitivitas
Hipersensivitas dapat disebabkan karena perasaan berbeda dengan orang lain. Anak merasa tidak sepandai, semenarik atau sepopuler anak-anak lain. Selain itu , dapat pula disebabkan oleh adanya harapan-harapan yang tidak realistis. Bila anak telalu berharap dari orang lain, secara terus menerus mereka akan merasa kecewa. Hipersensivitas berkembang sejak anak menginginkan adanya penerimaan yang yotal dari orang lain, setiap pertanda adanya penolakan akan dirasakan sangat menyakitkan. Anak yang hipersensitif memiliki harapan yang tinggi bahwa orang lain akan selalu bersikap manis dan selalu memahami kebutuhan-kebutuhannya. Kondisi tersebut biasanya terbentuk dari pola asuh dan sikap orang tua yang over protective dan memanjakan.
Beberapa hal yang perlu dilakukan pendidik atau orang tua dalam menangani anak hipersensitif diantaranya :
a. Menghindari sikap overprotective pada anak.
b. Perlu membiasakan anak untuk menerima masukan, kritik, dan saran dari lingkungan sekitar
c. Perlu mengajarkan pada anak untuk memandang dirinya secara lebih proporsional
d. Anak perlu dilatih untuk memiliki keterampilan menyelesaikan masalah
7. Bunuh Diri
Hidayat dalam Riana Mashar menyatakan bahwa bunuh diri adalah tindakan merusak diri sendiri yang mengakibatkan kematian . bunuh diri pada anak umumnya disebakan impulsivitas dan kekacauan dalam keluarga. Menurut Sigmund Freud , bunuh diri pada penderita kesedihan dan depresi adanya hubungannya dengan agresi. Kehilangan objek cinta menyebabkan agresi terhadap objek yang hilang ini, kemudian berbalik kepada diri sendiri (introspeksi).
Berdasar kasus bunuh diri yang dilakukan oleh anak-anak, terdapat bebrapa macam faktor pencetus yang mengakibatkan anak melakukan bunuh diri. Hidayat, mengamati terdapat dua faktor yang menyebabkan anak melakukan percobaan bunuh diri. Faktor pertama karena anak tidak mempunyai keterampilan hidup menghadapi stress. Adapun faktor kedua orang tua gagal dalam mengajarkan keterampilan hidup pada anak. Ketidakmampuan anak dalam mengahadapi stress dapat disebabkan oleh faktor lingkungan yang ada di sekitar anak. Lingkungan yang mempunyai masalah sosial misalnya terjadi kekerasan, persaingan ekonomi, dapat mempengaruhi keharmonisan dalam rumah tangga dan kondisi psikis anak. Anak-nak yang mengalami kekerasan, kecanduan, kemiskinan, dan pelanggaran seksual dan atau emosional memiliki resiko lebih tinggi terhadap percobaan bunuh diri. Selain itu, lingkungan sekolah juga berpengaruh besar pada anak. Seorang guru yang tidak bijak dapat menyebabkan stress pada diri anak, karena dipermalukan di depan teman-teman.
Tindakan preventif pada anak usia dini untuk menghindari tindakan bunuh diri dari beberapa kesimpulan pemicu tindakan bunuh diri adalah sebagai berikut :
a. Penanaman kecintaan Allah sebagai Pencipta yang Maha Pengasih dan Penyayang.
b. Pengasuhan dengan kasih sayang , menumbuhkan keyakinan diri dan kepercayaan diri pada anak, serta mengarahkan anak pada kegiatan peningkatan kemampuan individual anak .
c. Peningkatan keterampilan hidup pada anak
d. Dalam bersosialiasi dengan teman dan lingkungan sekitarnya hendaknya anak dibekali pula keterampilan problem solving dalam mengatasi permasalahan yang muncul dalam interaksinya dengan teman dan lingkungannya.
e. Menciptakan lingkungan yang nyaman dan ramah anak.
Hal lain sebagaimana yang dungkapkan Maslow (Hal, 1985 ) bahwa sekolah memainkan peranan, gangguan sosial emosional yang dialami anak secara general jika merujuk dari teori Maslow adalah merupakan kebutuhan aktualisasi diri yang tidak dapat dicapai disebabkan oleh berbagai sebabnya.
Untuk itu ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh orang tua maupun para pendidik untuk mengatasi hal tersebut :
a. Berikan kesempatan kepada setiap anak untuk mengalami setiap kejadian dengan hidup, penuh, tidak egois. Kita hendaknya menciptakan situasi yang memungkinkan anak berkonsentrasi dengan pengalaman tersebut dan biarkan pengalaman itu merasuk dalam diri anak
b. Kehidupan adalah proses terus menerus dari memilih keamanan (aman dari rasa takut dan kebutuhan untuk memepertahankan diri) dan risiko (untuk dapat tumbuh dan berkembang) ciptakan situasi yang dapat menolong anak emilih resiko sehingga mereka akan selalu tumbuh dan berkembang
c. Apabila anak harus selalu berfikir, jangan terlalu banyak member petunjuk. Biarkan anak mengatakan apa yang mereka rasakan.
d. Apabila anak dalam keraguan, dorong anak untuk dapat mengatakan sejujurnya. Apabila anak melihat dirinya sendiri dan berlaku jujur, mereka akan bertanggung jawab.
e. Biarkan anak mendengarkan seleranya sendiri dan bersiap untuk tidak popular
f. Berikan kesempatan pada anak untuk menggunakan kepandaiannya. Dorong anak untuk bekerja sebaik mungkin sesuai dengan apa yang ingin mereka kerjakan.
g. Ajak anak untuk mempelajari apa yang terbaik dan terburuk dari mereka dan bantu anak untuk menyingkirkan segala ilusi dan keyakinan palsu.
h. Minta anak untuk mengenali dirinya sendiri, apa disukai dan tidak disukai, apa yang baik dan buruk untuk mereka, ke mana arah dan tujuan mereka selain itu, anak juga didorong untuk mengenali pertahanan dirinya dan menemukan kekuatan untuk mengalahkan
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan yang telah dilakukan pada bab sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Pengertian gangguan perkembangan sosial emosional anak usia dini adalah ketidaknormalan yang menghambat perkembangan anak usia dini kaitannya dalam mengelola emosi, kepribadian, dan hubungan interpersonal anak dengan orang lain.
2. Jenis-jenis gangguan perkembangan sosial emosional anak usia dini sangat banyak mengingat definisi gangguan sosial dan emosional pun amat luas dan beragam, namun jenis gangguan perkembangan sosial emosional pada anak usia dini dapat dikelompokkan menjadi: tunalaras (agresivitas, mencuri, berbohong), kecemasan (fobia), menarik diri (withdrawal), temper tantrum, hipersensitivitas, dan bunuh diri.
3. Faktor penyebab gangguan perkembangan sosial emosional anak usia dini antara lain: lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, lingkungan masyarakat, kondisi fisik, masalah perkembangan.
4. Intervensi gangguan perkembangan sosial emosional pada anak usia dini beragam bergantung pada jenis gangguan yang dialami oleh seperti anak tunalaras (agresivitas, mencuri, berbohong), kecemasan (fobia), menarik diri (withdrawal), temper tantrum, hipersensitivitas, dan bunuh diri yang pada intinya semua memerlukan kerjasama yang baik antara orang tua, guru, dan lingkungan masayarakat.
B. SARAN
Perkembangan sosial dan emosional merupakan faktor yang sangat penting dan perlu diperhatikan. Selama ini masih banyak orang tua yang mengesampingkan perkembangan emosi anak usia dini, yang tanpa disadari ketika hambatan perkembangan emosi terhambat maka perkembangan sosial dapat berpengaruh.
Gangguan-gangguan yang terjadi perkembangan sosial dan emosional ini perlu mendapat penanganan yang cukup serius. Karena, kesuksesan seseorang ternyata 80% dipengaruhi oleh kecerdasan emosi dan kemampuan interaksi sosialnya.
DAFTAR PUSTAKA
Berdasarkan pembahasan yang telah dilakukan pada bab sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Pengertian gangguan perkembangan sosial emosional anak usia dini adalah ketidaknormalan yang menghambat perkembangan anak usia dini kaitannya dalam mengelola emosi, kepribadian, dan hubungan interpersonal anak dengan orang lain.
2. Jenis-jenis gangguan perkembangan sosial emosional anak usia dini sangat banyak mengingat definisi gangguan sosial dan emosional pun amat luas dan beragam, namun jenis gangguan perkembangan sosial emosional pada anak usia dini dapat dikelompokkan menjadi: tunalaras (agresivitas, mencuri, berbohong), kecemasan (fobia), menarik diri (withdrawal), temper tantrum, hipersensitivitas, dan bunuh diri.
3. Faktor penyebab gangguan perkembangan sosial emosional anak usia dini antara lain: lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, lingkungan masyarakat, kondisi fisik, masalah perkembangan.
4. Intervensi gangguan perkembangan sosial emosional pada anak usia dini beragam bergantung pada jenis gangguan yang dialami oleh seperti anak tunalaras (agresivitas, mencuri, berbohong), kecemasan (fobia), menarik diri (withdrawal), temper tantrum, hipersensitivitas, dan bunuh diri yang pada intinya semua memerlukan kerjasama yang baik antara orang tua, guru, dan lingkungan masayarakat.
B. SARAN
Perkembangan sosial dan emosional merupakan faktor yang sangat penting dan perlu diperhatikan. Selama ini masih banyak orang tua yang mengesampingkan perkembangan emosi anak usia dini, yang tanpa disadari ketika hambatan perkembangan emosi terhambat maka perkembangan sosial dapat berpengaruh.
Gangguan-gangguan yang terjadi perkembangan sosial dan emosional ini perlu mendapat penanganan yang cukup serius. Karena, kesuksesan seseorang ternyata 80% dipengaruhi oleh kecerdasan emosi dan kemampuan interaksi sosialnya.
DAFTAR PUSTAKA
Davidson Gerald C. dkk, 2006, Psikologi Abnormal ( Jakarta: PT Raja Grafindo Persada)
De Clerq Linda, 1997, Tingkah Laku Abnormal ( Jakarta: PT Grasindo)
Hildayani Rini, 2011, Psikologi Perkembangan Anak ( Jakarta: Universitas Terbuka)
Hildayani Rini, 2013, Penanganan Anak Bekelainan (Anak Dengan Kebutuhan Khusus), Jakarta: Universitas Terbuka
Hurlock Elizabeth B., Perkembangan Anak Jilid 1 ( Jakarta: Erlangga, 2011)
Jamaris Martini, 2010, Orientasi Baru dalam Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Pena Mas Murni)
Mashar Riana, 2011, Emosi Anak Usia Dini Dan Strategi Pengembangannya (Kencana: Jakarta)
Nevid S. Jefery, dkk, 2003, Psikologi Abnormal, (Jakarta: Erlangga)
Nugraha, 2004, Strategi pengembangan sosial emosional. (Jakarta: Universitas terbuka)
Papalia, Olds, & Feldman, Human Development, 2009, (Perkembangan Manusia), (Jakarta: Salemba Humanika)
Santrock, 2002, Life Span Development: Perkembangan Masa Hidup, (Jakarta: Penerbit Erlangga)
Somantri Sutjiati, 2007, Psikologi Anak Luar Biasa, (Bandung: Refika Aditama)
Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI, 2007, Ilmu Kesehatan Anak Jilid 1 , (Jakarta: Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI)
Supratiknya A., 1995, Mengenal Perilaku Abnormal (Yogyakarta: Kanisius)
Tandry Novita, 2011, Mengenal Tahap Tumbuh Kembang Anak Dan Masalahnya (Libri: Jakarta)
http://www.ditplb.or.id/profile.php?id=47 diakses pada tanggal 9 Mei 2013
De Clerq Linda, 1997, Tingkah Laku Abnormal ( Jakarta: PT Grasindo)
Hildayani Rini, 2011, Psikologi Perkembangan Anak ( Jakarta: Universitas Terbuka)
Hildayani Rini, 2013, Penanganan Anak Bekelainan (Anak Dengan Kebutuhan Khusus), Jakarta: Universitas Terbuka
Hurlock Elizabeth B., Perkembangan Anak Jilid 1 ( Jakarta: Erlangga, 2011)
Jamaris Martini, 2010, Orientasi Baru dalam Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Pena Mas Murni)
Mashar Riana, 2011, Emosi Anak Usia Dini Dan Strategi Pengembangannya (Kencana: Jakarta)
Nevid S. Jefery, dkk, 2003, Psikologi Abnormal, (Jakarta: Erlangga)
Nugraha, 2004, Strategi pengembangan sosial emosional. (Jakarta: Universitas terbuka)
Papalia, Olds, & Feldman, Human Development, 2009, (Perkembangan Manusia), (Jakarta: Salemba Humanika)
Santrock, 2002, Life Span Development: Perkembangan Masa Hidup, (Jakarta: Penerbit Erlangga)
Somantri Sutjiati, 2007, Psikologi Anak Luar Biasa, (Bandung: Refika Aditama)
Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI, 2007, Ilmu Kesehatan Anak Jilid 1 , (Jakarta: Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI)
Supratiknya A., 1995, Mengenal Perilaku Abnormal (Yogyakarta: Kanisius)
Tandry Novita, 2011, Mengenal Tahap Tumbuh Kembang Anak Dan Masalahnya (Libri: Jakarta)
http://www.ditplb.or.id/profile.php?id=47 diakses pada tanggal 9 Mei 2013
Subscribe to:
Posts (Atom)