Pada zaman khalifah Umar bin Khatthab Radhiyallaahu ‘Anhu pernah terjadi kisah yang menggambarkan derita seorang istri yang merindukan sentuhan suaminya, sementara suaminya sedang tidak berada di sisinya karena tengah mengemban tugas berjihad di medan perang. Diriwayatkan suatu malam Khalifah Umar bin Khatthab Radhiyallaahu ‘Anhu tengah melakukan perjalanan keliling Madinah yang mana hal demikian sering dilakukannya semenjak ia menjabat khalifah. Ketika melintasi suatu rumah yang terkunci, sekonyong-konyong Umar bin Khatthab Radhiyallaahu ‘Anhu mendengar seorang perempuan Arab berkata :
Malam kian larut berselimut gulita
Telah sekian lama kekasih tiada kucumbu
Demi Allah, sekiranya bukan karena mengingat-Mu
Niscaya ranjang ini berguncang keras
Namun, duhai Rabbi…
Rasa malu telah menghalangiku
Dan suamiku itu…
Terhormat lagi mulia
Pantang kendaraannya dijamah orang
Setelah itu perempuan itu menghela nafas dalam-dalam seraya berkata “Alangkah sepinya, betapa lama suamiku meninggalkan diriku…”
Umar pun terpaku mendengar tuturan perempuan itu lalu ia bergumam “Semoga Allah merahmatimu.” Lalu keesokan harinya Umar membawakan pakaian dan sejumlah uang untuk wanita itu. Lalu ia mencari tahu perihal suami wanita itu. Menurut informasi yang diterimanya, suami wanita itu sedang berjihad fi sabilillah di medan perang, Umar pun menulis surat kepada suami wanita tersebut dan menyuruhnya pulang.
Selanjutnya Umar mendatangi putrinya Hafshah dan bertanya “Wahai putriku, berapa lamakah seorang perempuan tahan berpisah dengan suaminya?”
“Subhaanallah ! Orang seperti engkau bertanya kepada anak sepertiku mengenai masalah seperti ini?” jawab Hafshah.
“Kalau bukan karena aku ingin mengatasi persoalan kaum muslimin aku tidak akan bertanya kepadamu,” kata Umar.
Lalu Hafshah menjawab, “Bisa sebulan, dua bulan atau tiga bulan. Setelah empat bulan ia tidak akan mampu lagi bersabar. Riwayat lain menyebutkan “Lima bulan, enam bulan.”
Maka sejak saat itu, khalifah Umar bin Khatthab Radhiyallaahu ‘Anhu menetapkan jangka waktu itu sebagai ukuran lamanya pengiriman pasukan ke medan perang. (Manaqib Umar Bin Khatthab karya Ibnul Jauzi).
Demikianlah banyak pelajaran penting yang dapat dari sepenggal kisah diatas, khususnya bagi kaum laki-laki yang sudah beristri, agar tidak mengabaikan hak sang istri, karena ada Hak Istri Atas Suami. Jika memang keadaan yang mengharuskan sang suami bepergian, maka usahakanlah pada waktu-waktu tertentu yang tidak terlalu lama untuk “melihat” istrinya, jika tidak memungkinkan, maka sebaiknya istrinya juga diboyong, karena dengan yang demikian itu, hati akan menjadi tenang insyaAllah.
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir,” (QS. 30:21).
Demikian Islam tidak memandang remeh permasalahan yang satu ini, karena urusan hubungan suami istri juga merupakan perkara ibadah.
0 comments:
Post a Comment