Wali Songo
Senja hampir bergulir di Desa Gapuro, Gresik, Jawa Timur, menjelang bulan Ramadhan itu. Tak
ada angin. Awan seperti berhenti berarak. Batu pualam berukir kaligrafi indah itu terpacak
bagaikan saksi sejarah. Itulah nisan makam almarhum Syekh Maulana Malik Ibrahim, yang wafat
pada 12 Rabiul Awal 822 Hijriah, atau 8 April 1419.
Di latar nisan itu tersurat ayat suci Al-Quran: surat Ali Imran 185, Ar-Rahman 26-27, At-Taubah
21-22, dan Ayat Kursi. Ada juga rangkaian kata pujian dalam bahasa Arab bagi Malik Ibrahim: ”Ia
guru yang dibanggakan para pejabat, tempat para sultan dan menteri meminta nasihat. Orang
yang santun dan murah hati terhadap fakir miskin. Orang yang berbahagia karena mati syahid,
tersanjung dalam bidang pemerintahan dan agama.”
Demikian terjemahan bebas inskripsi di nisan pualam makam berbangun lengkung menyerupai
kubah itu. Dalam beberapa sumber sejarah tradisional, Syekh Maulana Malik Ibrahim disebut
sebagai anggota Wali Songo, tokoh sentral penyebar agama Islam di Pulau Jawa. Sejarawan G.W.J.
Drewes menegaskan, Maulana Malik Ibrahim adalah tokoh yang pertama-tama dipandang sebagai
wali di antara para wali.
”Ia seorang mubalig paling awal,” tulis Drewes dalam bukunya, New Light on the Coming of Islam
in Indonesia. Gelar Syekh dan Maulana, yang melekat di depan nama Malik Ibrahim, menurut
sejarawan Hoessein Djajadiningrat, membuktikan bahwa ia ulama besar. Gelar tersebut hanya
diperuntukkan bagi tokoh muslim yang punya derajat tinggi.
Sekalipun Malik Ibrahim tidak termasuk dalam jajaran Wali Songo, masih menurut Hoessein, jelas
dia adalah seorang wali. Adapun istilah Wali Songo berasal dari kata ”wali” dan ‘’songo”. Kata wali
berasal dari bahasa Arab, waliyullah, orang yang dicintai Allah –alias kekasih Tuhan. Kata songo
berasal dari bahasa Jawa, yang berarti sembilan.
Ada wali yang termasuk anggota Wali Songo –yang terdiri dari sembilan orang– dan ada wali yang
bukan anggota ”dewan” Wali Songo. Konsep ”dewan wali” berjumlah sembilan ini diduga diadopsi
dari paham Hindu-Jawa yang berkembang sebelum masuknya Islam. Wali Songo seakan-akan
dianalogikan dengan sembilan dewa yang bertahta di sembilan penjuru mata angin.
Dewa Kuwera bertahta di utara, Isana di timur laut. Indra di timur, Agni di tenggara, dan Kama di
selatan. Dewa Surya berkedudukan di barat daya, Yama di barat, Bayu, atawa Nayu, di barat laut,
dan Siwa di tengah. Para wali diakui sebagai manusia yang dekat dengan Tuhan. Mereka ulama
besar yang menyemaikan benih Islam di Jawadwipa.
Figur para wali –sebagaimana dikisahkan dalam babad dan ”kepustakaan” tutur– selalu
dihubungkan dengan kekuatan gaib yang dahsyat. Namun, hingga sekarang, belum tercapai
”kesepakatan” tetang siapa saja gerangan Wali nan Sembilan itu. Terdapat beragam-ragam
pendapat, masing-masing dengan alasannya sendiri.
Pada umumnya orang berpendapat, yang terhisab ke dalam Wali Songo adalah: Syekh Maulana
Malik Ibrahim alias Sunan Gresik, Raden Rakhmad alias Sunan Ampel, Raden Paku alias Sunan
Giri, Syarif Hidayatullah alias Sunan Gunung Jati, Raden Maulana Makdum Ibrahim alias Sunan
Bonang, Syarifuddin alias Sunan Drajat, Jafar Sodiq alias Sunan Kudus, Raden Syahid alias Sunan Kalijaga, dan Raden Umar Sayid alias Sunan Muria.
Namun, komposisi Wali nan Sembilan ini juga punya banyak versi. Prof. Soekmono dalam
bukunya, Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia, Jilid III, tidak memasukkan Syekh Maulana
Malik Ibrahim dalam jajaran Wali Songo. Guru besar sejarah kebudayaan Universitas Indonesia
itu justru menempatkan Syekh Siti Jenar, alias Syekh Lemah Abang, sebagai anggota Wali Songo.
Sayang, Soekmono tak menyodorkan argumentasi mengapa Maulana Malik Ibrahim tidak
termasuk Wali Songo. Ia hanya menyebut Syekh Siti Jenar sebagai tokoh sangat populer. Siti Jenar
dihukum mati oleh Wali Songo, karena dinilai menyebarkan ajaran sesat tentang jubuhing kawulo
Gusti (bersatunya hamba dengan Tuhannya), yang dapat mengguncang iman orang dan
menggoyahkan syariat Islam.
Selain itu, Wali Songo juga ditafsirkan sebagai sebuah lembaga, atau dewan dakwah. Istilah
sembilan dirujukkan dengan sembilan fungsi koordinatif dalam lembaga dakwah itu. Teori ini
diuraikan dalam buku Kisah Wali Songo; Para Penyebar Agama Islam di Tanah Jawa karya Asnan
Wahyudi dan Abu Khalid.
Kedua penulis itu merujuk pada kitab Kanz Al-’ulum karya Ibn Bathuthah. Mereka menjelaskan,
sebagai lembaga dewan dakwah, Wali Songo paling tidak mengalami lima kali pergantian anggota.
Pada periode awal, anggotanya terdiri dari Maulana Malik Ibrahim, Ishaq, Ahmad Jumad Al-
Kubra, Muhammad Al-Magribi, Malik Israil, Muhammad Al-Akbar, Maulana Hasanuddin,
Aliyuddin, dan Syekh Subakir.
Pada periode kedua, Raden Rakhmad (Sunan Ampel), Sunan Kudus, Syarif Hidayatullah (Sunan
Gunung Jati), dan Sunan Bonang masuk menggantikan Maulana Malik Ibrahim, Malik Israil, Ali
Akbar, dan Maulana Hasanuddin –yang wafat. Pada periode ketiga, masuk Sunan Giri,
menggantikan Ishaq yang pindah ke Pasai, Aceh, dan Sunan Kalijaga menggantikan Syekh Subakir
yang pulang ke Persia.
Pada periode keempat, Raden Patah dan Fatullah Khan masuk jajaran Wali Songo. Kedua tokoh
ini menggantikan Ahmad Jumad Al-Kubra dan Muhammad Al-Magribi yang wafat. Sunan Muria
menduduki lembaga Wali Songo dalam periode terakhir. Ia menggantikan Raden Patah, yang naik
tahta sebagai Raja Demak Bintoro yang pertama.
Analisis tersebut secara kronologis mengandung banyak kelemahan. Contohnya Sunan Ampel,
yang diperkirakan wafat pada 1445. Dalam versi ini disebutkan, seolah-olah Sunan Ampel masih
hidup sezaman dengan Sunan Kudus, Sunan Bonang, Sunan Drajat, Sunan Kalijaga, dan Sunan
Muria. Padahal, Sunan Kudus hidup pada 1540-an.
Adapun Sunan Bonang dan Sunan Drajat adalah putra Sunan Ampel. Sunan Bonang merupakan
guru Sunan Kalijaga, yang berputra Sunan Muria. Bagaimana mungkin Sunan Ampel hidup
sezaman dengan Sunan Muria? Lagi pula, tokoh Wali Songo yang disebut dalam buku ini –
Aliyuddin, Ali Akbar, dan Fatullah Khan– bukan wali terkenal di Jawa.
Nama mereka jarang ditemukan dalam historiografi tradisional, baik berupa serat maupun babad.
Padahal, di Jawa terdapat puluhan naskah kuno berupa babad, hikayat, dan serat, yang
mengisahkan para wali. Sebagian besar babad juga menggambarkan, Wali Songo hidup dalam
kurun waktu yang bersamaan.
Para wali, menurut versi babad, dikisahkan sering mengadakan pertemuan di Masjid Demak dan
Masjid ”Sang Cipta Rasa” (Cirebon). Di sana mereka membicarakan berbagai persoalan
keagamanan dan kenegaraan. Kisah semacam ini, antara lain, dapat dibaca di Babad Demak,
Babad Cirebon, dan Babad Tanah Jawi.
Babad Cirebon, misalnya, mewartakan bahwa pada 1426, para wali berkumpul di Gunung Ciremai.
Mereka mengadakan musyawarah yang dipimpin Sunan Ampel, membentuk ”Dewan Wali Songo”.
Sunan Gunung Jati ditunjuk selaku wali katib, atau imam para wali. Anggotanya terdiri dari Sunan
Ampel, Syekh Maulana Magribi, Sunan Bonang, Sunan Ngudung alias Sunan Kudus, Sunan
Kalijaga, Sunan Muria, Syekh Lemah Abang, Syekh Betong, dan Sunan Majagung.
ada angin. Awan seperti berhenti berarak. Batu pualam berukir kaligrafi indah itu terpacak
bagaikan saksi sejarah. Itulah nisan makam almarhum Syekh Maulana Malik Ibrahim, yang wafat
pada 12 Rabiul Awal 822 Hijriah, atau 8 April 1419.
Di latar nisan itu tersurat ayat suci Al-Quran: surat Ali Imran 185, Ar-Rahman 26-27, At-Taubah
21-22, dan Ayat Kursi. Ada juga rangkaian kata pujian dalam bahasa Arab bagi Malik Ibrahim: ”Ia
guru yang dibanggakan para pejabat, tempat para sultan dan menteri meminta nasihat. Orang
yang santun dan murah hati terhadap fakir miskin. Orang yang berbahagia karena mati syahid,
tersanjung dalam bidang pemerintahan dan agama.”
Demikian terjemahan bebas inskripsi di nisan pualam makam berbangun lengkung menyerupai
kubah itu. Dalam beberapa sumber sejarah tradisional, Syekh Maulana Malik Ibrahim disebut
sebagai anggota Wali Songo, tokoh sentral penyebar agama Islam di Pulau Jawa. Sejarawan G.W.J.
Drewes menegaskan, Maulana Malik Ibrahim adalah tokoh yang pertama-tama dipandang sebagai
wali di antara para wali.
”Ia seorang mubalig paling awal,” tulis Drewes dalam bukunya, New Light on the Coming of Islam
in Indonesia. Gelar Syekh dan Maulana, yang melekat di depan nama Malik Ibrahim, menurut
sejarawan Hoessein Djajadiningrat, membuktikan bahwa ia ulama besar. Gelar tersebut hanya
diperuntukkan bagi tokoh muslim yang punya derajat tinggi.
Sekalipun Malik Ibrahim tidak termasuk dalam jajaran Wali Songo, masih menurut Hoessein, jelas
dia adalah seorang wali. Adapun istilah Wali Songo berasal dari kata ”wali” dan ‘’songo”. Kata wali
berasal dari bahasa Arab, waliyullah, orang yang dicintai Allah –alias kekasih Tuhan. Kata songo
berasal dari bahasa Jawa, yang berarti sembilan.
Ada wali yang termasuk anggota Wali Songo –yang terdiri dari sembilan orang– dan ada wali yang
bukan anggota ”dewan” Wali Songo. Konsep ”dewan wali” berjumlah sembilan ini diduga diadopsi
dari paham Hindu-Jawa yang berkembang sebelum masuknya Islam. Wali Songo seakan-akan
dianalogikan dengan sembilan dewa yang bertahta di sembilan penjuru mata angin.
Dewa Kuwera bertahta di utara, Isana di timur laut. Indra di timur, Agni di tenggara, dan Kama di
selatan. Dewa Surya berkedudukan di barat daya, Yama di barat, Bayu, atawa Nayu, di barat laut,
dan Siwa di tengah. Para wali diakui sebagai manusia yang dekat dengan Tuhan. Mereka ulama
besar yang menyemaikan benih Islam di Jawadwipa.
Figur para wali –sebagaimana dikisahkan dalam babad dan ”kepustakaan” tutur– selalu
dihubungkan dengan kekuatan gaib yang dahsyat. Namun, hingga sekarang, belum tercapai
”kesepakatan” tetang siapa saja gerangan Wali nan Sembilan itu. Terdapat beragam-ragam
pendapat, masing-masing dengan alasannya sendiri.
Pada umumnya orang berpendapat, yang terhisab ke dalam Wali Songo adalah: Syekh Maulana
Malik Ibrahim alias Sunan Gresik, Raden Rakhmad alias Sunan Ampel, Raden Paku alias Sunan
Giri, Syarif Hidayatullah alias Sunan Gunung Jati, Raden Maulana Makdum Ibrahim alias Sunan
Bonang, Syarifuddin alias Sunan Drajat, Jafar Sodiq alias Sunan Kudus, Raden Syahid alias Sunan Kalijaga, dan Raden Umar Sayid alias Sunan Muria.
Namun, komposisi Wali nan Sembilan ini juga punya banyak versi. Prof. Soekmono dalam
bukunya, Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia, Jilid III, tidak memasukkan Syekh Maulana
Malik Ibrahim dalam jajaran Wali Songo. Guru besar sejarah kebudayaan Universitas Indonesia
itu justru menempatkan Syekh Siti Jenar, alias Syekh Lemah Abang, sebagai anggota Wali Songo.
Sayang, Soekmono tak menyodorkan argumentasi mengapa Maulana Malik Ibrahim tidak
termasuk Wali Songo. Ia hanya menyebut Syekh Siti Jenar sebagai tokoh sangat populer. Siti Jenar
dihukum mati oleh Wali Songo, karena dinilai menyebarkan ajaran sesat tentang jubuhing kawulo
Gusti (bersatunya hamba dengan Tuhannya), yang dapat mengguncang iman orang dan
menggoyahkan syariat Islam.
Selain itu, Wali Songo juga ditafsirkan sebagai sebuah lembaga, atau dewan dakwah. Istilah
sembilan dirujukkan dengan sembilan fungsi koordinatif dalam lembaga dakwah itu. Teori ini
diuraikan dalam buku Kisah Wali Songo; Para Penyebar Agama Islam di Tanah Jawa karya Asnan
Wahyudi dan Abu Khalid.
Kedua penulis itu merujuk pada kitab Kanz Al-’ulum karya Ibn Bathuthah. Mereka menjelaskan,
sebagai lembaga dewan dakwah, Wali Songo paling tidak mengalami lima kali pergantian anggota.
Pada periode awal, anggotanya terdiri dari Maulana Malik Ibrahim, Ishaq, Ahmad Jumad Al-
Kubra, Muhammad Al-Magribi, Malik Israil, Muhammad Al-Akbar, Maulana Hasanuddin,
Aliyuddin, dan Syekh Subakir.
Pada periode kedua, Raden Rakhmad (Sunan Ampel), Sunan Kudus, Syarif Hidayatullah (Sunan
Gunung Jati), dan Sunan Bonang masuk menggantikan Maulana Malik Ibrahim, Malik Israil, Ali
Akbar, dan Maulana Hasanuddin –yang wafat. Pada periode ketiga, masuk Sunan Giri,
menggantikan Ishaq yang pindah ke Pasai, Aceh, dan Sunan Kalijaga menggantikan Syekh Subakir
yang pulang ke Persia.
Pada periode keempat, Raden Patah dan Fatullah Khan masuk jajaran Wali Songo. Kedua tokoh
ini menggantikan Ahmad Jumad Al-Kubra dan Muhammad Al-Magribi yang wafat. Sunan Muria
menduduki lembaga Wali Songo dalam periode terakhir. Ia menggantikan Raden Patah, yang naik
tahta sebagai Raja Demak Bintoro yang pertama.
Analisis tersebut secara kronologis mengandung banyak kelemahan. Contohnya Sunan Ampel,
yang diperkirakan wafat pada 1445. Dalam versi ini disebutkan, seolah-olah Sunan Ampel masih
hidup sezaman dengan Sunan Kudus, Sunan Bonang, Sunan Drajat, Sunan Kalijaga, dan Sunan
Muria. Padahal, Sunan Kudus hidup pada 1540-an.
Adapun Sunan Bonang dan Sunan Drajat adalah putra Sunan Ampel. Sunan Bonang merupakan
guru Sunan Kalijaga, yang berputra Sunan Muria. Bagaimana mungkin Sunan Ampel hidup
sezaman dengan Sunan Muria? Lagi pula, tokoh Wali Songo yang disebut dalam buku ini –
Aliyuddin, Ali Akbar, dan Fatullah Khan– bukan wali terkenal di Jawa.
Nama mereka jarang ditemukan dalam historiografi tradisional, baik berupa serat maupun babad.
Padahal, di Jawa terdapat puluhan naskah kuno berupa babad, hikayat, dan serat, yang
mengisahkan para wali. Sebagian besar babad juga menggambarkan, Wali Songo hidup dalam
kurun waktu yang bersamaan.
Para wali, menurut versi babad, dikisahkan sering mengadakan pertemuan di Masjid Demak dan
Masjid ”Sang Cipta Rasa” (Cirebon). Di sana mereka membicarakan berbagai persoalan
keagamanan dan kenegaraan. Kisah semacam ini, antara lain, dapat dibaca di Babad Demak,
Babad Cirebon, dan Babad Tanah Jawi.
Babad Cirebon, misalnya, mewartakan bahwa pada 1426, para wali berkumpul di Gunung Ciremai.
Mereka mengadakan musyawarah yang dipimpin Sunan Ampel, membentuk ”Dewan Wali Songo”.
Sunan Gunung Jati ditunjuk selaku wali katib, atau imam para wali. Anggotanya terdiri dari Sunan
Ampel, Syekh Maulana Magribi, Sunan Bonang, Sunan Ngudung alias Sunan Kudus, Sunan
Kalijaga, Sunan Muria, Syekh Lemah Abang, Syekh Betong, dan Sunan Majagung.
Ditambah dengan Sunan Gunung Jati, jumlah wali itu malah menjadi 10 orang. Nama-nama Wali
Songo yang tertulis di Babad Cirebon tersebut berbeda dengan yang tersurat di Babad Tanah Jawi.
Dalam Babad Tanah Jawi, yang berasal dari Jawa Tengah, tidak ditemukan nama Syekh Betong
dan Syekh Majagung. Sebagai gantinya, akan dijumpai nama Sunan Giri dan Sunan Drajat.
Tapi, peran Wali Songo jelaslah tak sebatas di bidang keagamaan. Mereka juga bertindak selaku
anggota dewan penasihat bagi raja. Bahkan, Sunan Giri membentuk dinasti keagamaan, dan
secara politis berkuasa di wilayah Gresik, Tuban, dan sekitarnya. Ia mengesahkan penobatan Joko
Tingkir sebagai Raja Pajang bergelar Sultan Hadiwijaya, setelah kekuasaan Raja Demak surut.
Di luar Wali Songo, ada puluhan tokoh penyebar agama Islam di Jawa yang juga dianggap sebagai
wali. Hanya, biasanya mereka berkuasa di kawasan tak seberapa luas. Sunan Tembayat, misalnya,
dikenal sebagai pedakwah di Tembayat, sebuah wilayah kecamatan di Kabupaten Klaten, Jawa
Tengah. Ia dilegendakan sebagai murid Sunan Kalijaga.
Sunan Tembayat adalah Adipati Semarang yang termasyhur dengan nama Ki Ageng Pandanarang.
Berdasarkan cerita babad yang dikutip H.J. De Graaf dan T.H. Pigeuad, Pandanaran meninggalkan
singgasananya lantaran gandrung akan ajaran Islam yang disampaikan Sunan Kalijaga. Pada 1512,
Pandanarang menyerahkan tampuk pemerintahan kepada adik laki-lakinya.
”Ia bersama istrinya mengundurkan diri dari dunia ramai,” tulis De Graaf dan Pigeaud dalam buku
Kerajaan Islam Pertama di Jawa. ”Pasangan bangsawan Jawa ini berkelana mencari ketenangan
batin, sembari berdakwah,” kedua pakar sejarah dari Universitas Leiden, Negeri Belanda, itu
menambahkan.
Usai bertualang, Pandanarang dan istrinya bekerja pada seorang wanita pedagang beras di Wedi,
Klaten. Akhirnya ia menetap di Tembayat sebagai guru mengaji. Di sana selama 25 tahun,
Pandanarang hidup sebagai orang suci dengan sebutan Sunan Tembayat. Ia wafat pada 1537 dan
dimakamkan di situ. Bangunan kompleks makam Sunan Tembayat terbuat dari batu berukir,
menyerupai bentuk Candi Bentar di Jawa Timur dan pura di Bali.
Pada prasasti makam Sunan Tembayat tertulis, makam ini pertama kali dipugar pada 1566 oleh
Raja Pajang, Sultan Hadiwijaya. ”Kemudian, pada 1633, Sultan Agung dari Mataram memperluas
dan memperindah bangunan makam Tembayat,” tulis De Graaf. Cerita tutur tentang kesaktian
orang suci dari Semarang yang dimakamkan di Tembayat ini, menurut De Graaf, sudah beredar
luas di kalangan masyarakat Jawa sejak pertengahan abad ke-17.
Kisah ini ternukil di naskah klasik karya Panembahan Kajoran dari Yogyakarta, yang ditulis pada
1677. Naskah tersebut pertama kali diteliti oleh D.A. Rinkes pada 1909. Dan kini, bukti sejarah itu
tersimpan di Museum Leiden, Negeri Belanda. ”Dengan begitu, legenda itu punya inti kebenaran,”
tulis De Graaf, yang dijuluki ”Bapak Sejarah Jawa”.
Selain Sunan Tembayat –menurut versi Babad Tanah Jawi– Sunan Kalijaga juga punya murid lain,
Sunan Geseng namanya. Nama asli petani penyadap nira ini adalah Ki Cokrojoyo. Alkisah, dalam
pengembaraannya, Sunan Kalijaga terpikat suara merdu Ki Crokro yang bernyanyi setelah
menyadap nira.
Kalijaga meminta Ki Cokro mengganti syair lagunya dengan zikir kepada Allah. Ketika Ki Cokro
berzikir, mendadak gula yang ia buat dari nira itu berubah jadi emas. Petani ini heran bukan
kepalang. Ia ingin berguru kepada Sunan Kalijaga. Untuk menguji keteguhan hati calon muridnya,
Sunan Kalijaga menyuruh ki Cokro berzikir tanpa berhenti, sebelum ia datang lagi.
Setahun kemudian, Sunan Kalijaga teringat Ki Cokro. Sang aulia memerintahkan murid-muridnya
mencari Ki Cokro, yang berzikir di tengah hutan. Mereka kesulitan menemukannya, karena tempat
berzikir ki Cokro telah berubah menjadi padang ilalang dan semak belukar. Syahdan, setelah
murid-murid Sunan Kalijaga membakar padang ilalang, tampaklah Ki Cokro sujud ke kiblat.
Tubuhnya hangus, alias geseng, dimakan api. Tapi, penyadap nira ini masih bugar, mulutnya
berzikir komat-kamit. Sunan Kalijaga membangunkannya dan memberinya nama Sunan Geseng.
Ia menyebarkan agama Islam di Desa Jatinom, sekitar 10 kilometer dari kota Klaten arah ke utara.
Songo yang tertulis di Babad Cirebon tersebut berbeda dengan yang tersurat di Babad Tanah Jawi.
Dalam Babad Tanah Jawi, yang berasal dari Jawa Tengah, tidak ditemukan nama Syekh Betong
dan Syekh Majagung. Sebagai gantinya, akan dijumpai nama Sunan Giri dan Sunan Drajat.
Tapi, peran Wali Songo jelaslah tak sebatas di bidang keagamaan. Mereka juga bertindak selaku
anggota dewan penasihat bagi raja. Bahkan, Sunan Giri membentuk dinasti keagamaan, dan
secara politis berkuasa di wilayah Gresik, Tuban, dan sekitarnya. Ia mengesahkan penobatan Joko
Tingkir sebagai Raja Pajang bergelar Sultan Hadiwijaya, setelah kekuasaan Raja Demak surut.
Di luar Wali Songo, ada puluhan tokoh penyebar agama Islam di Jawa yang juga dianggap sebagai
wali. Hanya, biasanya mereka berkuasa di kawasan tak seberapa luas. Sunan Tembayat, misalnya,
dikenal sebagai pedakwah di Tembayat, sebuah wilayah kecamatan di Kabupaten Klaten, Jawa
Tengah. Ia dilegendakan sebagai murid Sunan Kalijaga.
Sunan Tembayat adalah Adipati Semarang yang termasyhur dengan nama Ki Ageng Pandanarang.
Berdasarkan cerita babad yang dikutip H.J. De Graaf dan T.H. Pigeuad, Pandanaran meninggalkan
singgasananya lantaran gandrung akan ajaran Islam yang disampaikan Sunan Kalijaga. Pada 1512,
Pandanarang menyerahkan tampuk pemerintahan kepada adik laki-lakinya.
”Ia bersama istrinya mengundurkan diri dari dunia ramai,” tulis De Graaf dan Pigeaud dalam buku
Kerajaan Islam Pertama di Jawa. ”Pasangan bangsawan Jawa ini berkelana mencari ketenangan
batin, sembari berdakwah,” kedua pakar sejarah dari Universitas Leiden, Negeri Belanda, itu
menambahkan.
Usai bertualang, Pandanarang dan istrinya bekerja pada seorang wanita pedagang beras di Wedi,
Klaten. Akhirnya ia menetap di Tembayat sebagai guru mengaji. Di sana selama 25 tahun,
Pandanarang hidup sebagai orang suci dengan sebutan Sunan Tembayat. Ia wafat pada 1537 dan
dimakamkan di situ. Bangunan kompleks makam Sunan Tembayat terbuat dari batu berukir,
menyerupai bentuk Candi Bentar di Jawa Timur dan pura di Bali.
Pada prasasti makam Sunan Tembayat tertulis, makam ini pertama kali dipugar pada 1566 oleh
Raja Pajang, Sultan Hadiwijaya. ”Kemudian, pada 1633, Sultan Agung dari Mataram memperluas
dan memperindah bangunan makam Tembayat,” tulis De Graaf. Cerita tutur tentang kesaktian
orang suci dari Semarang yang dimakamkan di Tembayat ini, menurut De Graaf, sudah beredar
luas di kalangan masyarakat Jawa sejak pertengahan abad ke-17.
Kisah ini ternukil di naskah klasik karya Panembahan Kajoran dari Yogyakarta, yang ditulis pada
1677. Naskah tersebut pertama kali diteliti oleh D.A. Rinkes pada 1909. Dan kini, bukti sejarah itu
tersimpan di Museum Leiden, Negeri Belanda. ”Dengan begitu, legenda itu punya inti kebenaran,”
tulis De Graaf, yang dijuluki ”Bapak Sejarah Jawa”.
Selain Sunan Tembayat –menurut versi Babad Tanah Jawi– Sunan Kalijaga juga punya murid lain,
Sunan Geseng namanya. Nama asli petani penyadap nira ini adalah Ki Cokrojoyo. Alkisah, dalam
pengembaraannya, Sunan Kalijaga terpikat suara merdu Ki Crokro yang bernyanyi setelah
menyadap nira.
Kalijaga meminta Ki Cokro mengganti syair lagunya dengan zikir kepada Allah. Ketika Ki Cokro
berzikir, mendadak gula yang ia buat dari nira itu berubah jadi emas. Petani ini heran bukan
kepalang. Ia ingin berguru kepada Sunan Kalijaga. Untuk menguji keteguhan hati calon muridnya,
Sunan Kalijaga menyuruh ki Cokro berzikir tanpa berhenti, sebelum ia datang lagi.
Setahun kemudian, Sunan Kalijaga teringat Ki Cokro. Sang aulia memerintahkan murid-muridnya
mencari Ki Cokro, yang berzikir di tengah hutan. Mereka kesulitan menemukannya, karena tempat
berzikir ki Cokro telah berubah menjadi padang ilalang dan semak belukar. Syahdan, setelah
murid-murid Sunan Kalijaga membakar padang ilalang, tampaklah Ki Cokro sujud ke kiblat.
Tubuhnya hangus, alias geseng, dimakan api. Tapi, penyadap nira ini masih bugar, mulutnya
berzikir komat-kamit. Sunan Kalijaga membangunkannya dan memberinya nama Sunan Geseng.
Ia menyebarkan agama Islam di Desa Jatinom, sekitar 10 kilometer dari kota Klaten arah ke utara.
Penduduk Jatinom mengenal Sunan Geseng dengan sebutan Ki Ageng Gribik.
Julukan itu berangkat dari pilihan Sunan Geseng untuk tinggal di rumah beratap gribik –anyaman
daun nyiur. Menurut legenda setempat, ketika Ki Ageng Gribik pulang dari menunaikan ibadah
haji, ia melihat penduduk Jatinom kelaparan. Ia membawa sepotong kue apem, dibagikan kepada
ratusan orang yang kelaparan. Semuanya kebagian.
Kia Ageng Gribik meminta warga yang kelaparan makan secuil kue apem seraya mengucapkan
zikir: Ya-Qowiyyu (Allah Mahakuat). Mereka pun kenyang dan sehat. Sampai kini, masyarakat
Jatinom menghidupkan legenda Ki Ageng Gribik itu dengan menyelenggarakan upacara ”Ya-
Qowiyyu” pada setiap bulan Syafar.
Warga membikin kue apem, lalu disetorkan ke masjid. Apem yang terkumpul jumlahnya mencapai
ratusan ribu. Kalau ditotal, beratnya sekitar 40 ton. Puncak upacara berlangsung usai salat Jumat.
Dari menara masjid, kue apem disebarkan para santri sambil berzikir, Ya-Qowiyyu…. Ribuan
orang yang menghadiri upacara memperebutkan apem ”gotong royong” itu.
Kisah Ki Ageng Gribik hanyalah satu dari sekian banyak mitos tentang para wali. Legenda
keagamaan yang ditulis babad, menurut De Graaf, sedikit nilai kebenarannya. Hanya yang
mengenai wali-wali terkemuka, katanya, ada kepastian sejarah yang cukup kuat. Makam mereka
masih tetap merupakan tempat yang sangat dihormati. Pada kurun abad ke-16 hingga abad ke-17,
keturunan para wali juga memegang peranan penting dalam sejarah politik Jawa.
SELAMA 40 hari, Raden Paku bertafakur di sebuah gua. Ia bersimpuh, meminta petunjuk Allah
SWT, ingin mendirikan pesantren. Di tengah hening malam, pesan ayahnya, Syekh Maulana Ishak,
kembali terngiang: ”Kelak, bila tiba masanya, dirikanlah pesantren di Gresik.” Pesan yang tak
terlalu sulit, sebetulnya.
Tapi, ia diminta mencari tanah yang sama persis dengan tanah dalam sebuah bungkusan ini.
Selesai bertafakur, Raden Paku berangkat mengembara. Di sebuah perbukitan di Desa Sidomukti,
Kebomas, ia kemudian mendirikan Pesantren Giri. Sejak itu pula Raden Paku dikenal sebagai
Sunan Giri. Dalam bahasa Sansekerta, ”giri” berarti gunung.
Namun, tak ada peninggalan yang menunjukkan kebesaran Pesantren Giri –yang berkembang
menjadi Kerajaan Giri Kedaton. Tak ada juga bekas-bekas istana. Kini, di daerah perbukitan itu
hanya terlihat situs Kedaton, sekitar satu kilometer dari makam Sunan Giri. Di situs itu berdiri
sebuah langgar berukuran 6 x 5 meter.
Di sanalah, konon, sempat berdiri sebuah masjid, tempat Sunan Giri mengajarkan agama Islam.
Ada juga bekas tempat wudu berupa kolam berukuran 1 x 1 meter. Tempat ini tampak lengang
pengunjung. ”Memang banyak orang yang tidak tahu situs ini,” kata Muhammad Hasan,
Sekretaris Yayasan Makam Sunan Giri, kepada GATRA.
Syahdan, Pesantren Giri terkenal ke seluruh penjuru Jawa, bahkan sampai ke Madura, Lombok,
Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku. Menurut Babad Tanah Jawi, murid Sunan Giri juga
bertebaran sampai ke Cina, Mesir, Arab, dan Eropa. Pesantren Giri merupakan pusat ajaran tauhid
dan fikih, karena Sunan Giri meletakkan ajaran Islam di atas Al-Quran dan sunah Rasul.
Ia tidak mau berkompromi dengan adat istiadat, yang dianggapnya merusak kemurnian Islam.
Karena itu, Sunan Giri dianggap sebagai pemimpin kaum ”putihan”, aliran yang didukung Sunan
Ampel dan Sunan Drajat. Tapi, Sunan Kalijaga menganggap cara berdakwah Sunan Giri kaku.
Menurut Sunan Kalijaga, dakwah hendaklah pula menggunakan pendekatan kebudayaan.
Misalnya dengan wayang. Paham ini mendapat sokongan dari Sunan Bonang, Sunan Muria, Sunan
Kudus, dan Sunan Gunung Jati. Perdebatan para wali ini sempat memuncak pada peresmian
Masjid Demak. ”Aliran Tuban” –Sunan Kalijaga cs– ingin meramaikan peresmian itu dengan
wayang. Tapi, menurut Sunan Giri, menonton wayang tetap haram, karena gambar wayang itu
berbentuk manusia.
Akhirnya, Sunan Kalijaga mencari jalan tengah. Ia mengusulkan bentuk wayang diubah: menjadi
tipis dan tidak menyerupai manusia. Sejak itulah wayang beber berubah menjadi wayang kulit.
Julukan itu berangkat dari pilihan Sunan Geseng untuk tinggal di rumah beratap gribik –anyaman
daun nyiur. Menurut legenda setempat, ketika Ki Ageng Gribik pulang dari menunaikan ibadah
haji, ia melihat penduduk Jatinom kelaparan. Ia membawa sepotong kue apem, dibagikan kepada
ratusan orang yang kelaparan. Semuanya kebagian.
Kia Ageng Gribik meminta warga yang kelaparan makan secuil kue apem seraya mengucapkan
zikir: Ya-Qowiyyu (Allah Mahakuat). Mereka pun kenyang dan sehat. Sampai kini, masyarakat
Jatinom menghidupkan legenda Ki Ageng Gribik itu dengan menyelenggarakan upacara ”Ya-
Qowiyyu” pada setiap bulan Syafar.
Warga membikin kue apem, lalu disetorkan ke masjid. Apem yang terkumpul jumlahnya mencapai
ratusan ribu. Kalau ditotal, beratnya sekitar 40 ton. Puncak upacara berlangsung usai salat Jumat.
Dari menara masjid, kue apem disebarkan para santri sambil berzikir, Ya-Qowiyyu…. Ribuan
orang yang menghadiri upacara memperebutkan apem ”gotong royong” itu.
Kisah Ki Ageng Gribik hanyalah satu dari sekian banyak mitos tentang para wali. Legenda
keagamaan yang ditulis babad, menurut De Graaf, sedikit nilai kebenarannya. Hanya yang
mengenai wali-wali terkemuka, katanya, ada kepastian sejarah yang cukup kuat. Makam mereka
masih tetap merupakan tempat yang sangat dihormati. Pada kurun abad ke-16 hingga abad ke-17,
keturunan para wali juga memegang peranan penting dalam sejarah politik Jawa.
SELAMA 40 hari, Raden Paku bertafakur di sebuah gua. Ia bersimpuh, meminta petunjuk Allah
SWT, ingin mendirikan pesantren. Di tengah hening malam, pesan ayahnya, Syekh Maulana Ishak,
kembali terngiang: ”Kelak, bila tiba masanya, dirikanlah pesantren di Gresik.” Pesan yang tak
terlalu sulit, sebetulnya.
Tapi, ia diminta mencari tanah yang sama persis dengan tanah dalam sebuah bungkusan ini.
Selesai bertafakur, Raden Paku berangkat mengembara. Di sebuah perbukitan di Desa Sidomukti,
Kebomas, ia kemudian mendirikan Pesantren Giri. Sejak itu pula Raden Paku dikenal sebagai
Sunan Giri. Dalam bahasa Sansekerta, ”giri” berarti gunung.
Namun, tak ada peninggalan yang menunjukkan kebesaran Pesantren Giri –yang berkembang
menjadi Kerajaan Giri Kedaton. Tak ada juga bekas-bekas istana. Kini, di daerah perbukitan itu
hanya terlihat situs Kedaton, sekitar satu kilometer dari makam Sunan Giri. Di situs itu berdiri
sebuah langgar berukuran 6 x 5 meter.
Di sanalah, konon, sempat berdiri sebuah masjid, tempat Sunan Giri mengajarkan agama Islam.
Ada juga bekas tempat wudu berupa kolam berukuran 1 x 1 meter. Tempat ini tampak lengang
pengunjung. ”Memang banyak orang yang tidak tahu situs ini,” kata Muhammad Hasan,
Sekretaris Yayasan Makam Sunan Giri, kepada GATRA.
Syahdan, Pesantren Giri terkenal ke seluruh penjuru Jawa, bahkan sampai ke Madura, Lombok,
Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku. Menurut Babad Tanah Jawi, murid Sunan Giri juga
bertebaran sampai ke Cina, Mesir, Arab, dan Eropa. Pesantren Giri merupakan pusat ajaran tauhid
dan fikih, karena Sunan Giri meletakkan ajaran Islam di atas Al-Quran dan sunah Rasul.
Ia tidak mau berkompromi dengan adat istiadat, yang dianggapnya merusak kemurnian Islam.
Karena itu, Sunan Giri dianggap sebagai pemimpin kaum ”putihan”, aliran yang didukung Sunan
Ampel dan Sunan Drajat. Tapi, Sunan Kalijaga menganggap cara berdakwah Sunan Giri kaku.
Menurut Sunan Kalijaga, dakwah hendaklah pula menggunakan pendekatan kebudayaan.
Misalnya dengan wayang. Paham ini mendapat sokongan dari Sunan Bonang, Sunan Muria, Sunan
Kudus, dan Sunan Gunung Jati. Perdebatan para wali ini sempat memuncak pada peresmian
Masjid Demak. ”Aliran Tuban” –Sunan Kalijaga cs– ingin meramaikan peresmian itu dengan
wayang. Tapi, menurut Sunan Giri, menonton wayang tetap haram, karena gambar wayang itu
berbentuk manusia.
Akhirnya, Sunan Kalijaga mencari jalan tengah. Ia mengusulkan bentuk wayang diubah: menjadi
tipis dan tidak menyerupai manusia. Sejak itulah wayang beber berubah menjadi wayang kulit.
Ketika Sunan Ampel, ”ketua” para wali, wafat pada 1478, Sunan Giri diangkat menjadi
penggantinya. Atas usulan Sunan Kalijaga, ia diberi gelar Prabu Satmata.
Diriwayatkan, pemberian gelar itu jatuh pada 9 Maret 1487, yang kemudian ditetapkan sebagai
hari jadi Kabupaten Gresik. Di kalangan Wali nan Sembilan, Sunan Giri juga dikenal sebagai ahli
politik dan ketatanegaraan. Ia pernah menyusun peraturan ketataprajaan dan pedoman tata cara
di keraton. Pandangan politiknya pun dijadikan rujukan.
Menurut Dr. H.J. De Graaf, lahirnya berbagai kerajaan Islam, seperti Demak, Pajang, dan
Mataram, tidak lepas dari peranan Sunan Giri. Pengaruhnya, kata sejarawan Jawa itu, melintas
sampai ke luar Pulau Jawa, seperti Makassar, Hitu, dan Ternate. Konon, seorang raja barulah sah
kerajaannya kalau sudah direstui Sunan Giri.
Pengaruh Sunan Giri ini tercatat dalam naskah sejarah Through Account of Ambon, serta berita
orang Portugis dan Belanda di Kepulauan Maluku. Dalam naskah tersebut, kedudukan Sunan Giri
disamakan dengan Paus bagi umat Katolik Roma, atau khalifah bagi umat Islam. Dalam Babad
Demak pun, peran Sunan Giri tercatat.
Ketika Kerajaan Majapahit runtuh karena diserang Raja Girindrawardhana dari Kaling Kediri,
pada 1478, Sunan Giri dinobatkan menjadi raja peralihan. Selama 40 hari, Sunan Giri memangku
jabatan tersebut. Setelah itu, ia menyerahkannya kepada Raden Patah, putra Raja Majapahit,
Brawijaya Kertabhumi.
Sejak itulah, Kerajaan Demak Bintoro berdiri dan dianggap sebagai kerajaan Islam pertama di
Jawa. Padahal, sebenarnya, Sunan Giri sudah menjadi raja di Giri Kedaton sejak 1470. Tapi,
pemerintahan Giri lebih dikenal sebagai pemerintahan ulama dan pusat penyebaran Islam.
Sebagai kerajaan, juga tidak jelas batas wilayahnya.
Tampaknya, Sunan Giri lebih memilih jejak langkah ayahnya, Syekh Maulana Ishak, seorang
ulama dari Gujarat yang menetap di Pasai, kini Aceh. Ibunya Dewi Sekardadu, putri Raja Hindu
Blambangan bernama Prabu Menak Sembuyu. Kisah Sunan Giri bermula ketika Maulana Ishak
tertarik mengunjungi Jawa Timur, karena ingin menyebarkan agama Islam.
Setelah bertemu dengan Sunan Ampel, yang masih sepupunya, ia disarankan berdakwah di daerah
Blambangan. Ketika itu, masyarakat Blambangan sedang tertimpa wabah penyakit. Bahkan putri
Raja Blambangan, Dewi Sekardadu, ikut terjangkit. Semua tabib tersohor tidak berhasil
mengobatinya.
Akhirnya raja mengumumkan sayembara: siapa yang berhasil mengobati sang Dewi, bila laki-laki
akan dijodohkan dengannya, bila perempuan dijadikan saudara angkat sang dewi. Tapi, tak ada
seorang pun yang sanggup memenangkan sayembara itu. Di tengah keputusasaan, sang prabu
mengutus Patih Bajul Sengara mencari pertapa sakti.
Dalam pencarian itu, patih sempat bertemu dengan seorang pertapa sakti, Resi Kandayana
namanya. Resi inilah yang memberi ”referensi” tentang Syekh Maulana Ishak. Rupanya, Maulana
Ishak mau mengobati Dewi Sekardadu, kalau Prabu Menak Sembuyu dan keluarganya bersedia
masuk Islam. Setelah Dewi Sekardadu sembuh, syarat Maulana Ishak pun dipenuhi.
Seluruh keluarga raja memeluk agama Islam. Setelah itu, Dewa Sekardadu dinikahkan dengan
Maulana Ishak. Sayangnya, Prabu Menak Sembuyu tidak sepenuh hati menjadi seorang muslim. Ia
malah iri menyaksikan Maulana Ishak berhasil mengislamkan sebagian besar rakyatnya. Ia
berusaha menghalangi syiar Islam, bahkan mengutus orang kepercayaannya untuk membunuh
Maulana Ishak.
Merasa jiwanya terancam, Maulana Ishak akhirnya meninggalkan Blambangan, dan kembali ke
Pasai. Sebelum berangkat, ia hanya berpesan kepada Dewi Sekardadu –yang sedang mengandung
tujuh bulan– agar anaknya diberi nama Raden Paku. Setelah bayi laki-laki itu lahir, Prabu Menak
Sembuyu melampiaskan kebenciannya kepada anak Maulana Ishak dengan membuangnya ke laut
dalam sebuah peti.
Alkisah, peti tersebut ditemukan oleh awak kapal dagang dari Gresik, yang sedang menuju Pulau
6
Bali. Bayi itu lalu diserahkan kepada Nyai Ageng Pinatih, pemilik kapal tersebut. Sejak itu, bayi
laki-laki yang kemudian dinamai Joko Samudro itu diasuh dan dibesarkannya. Menginjak usia
tujuh tahun, Joko Samudro dititipkan di padepokan Sunan Ampel, untuk belajar agama Islam.
Karena kecerdasannya, anak itu diberi gelar ”Maulana `Ainul Yaqin”. Setelah bertahun-tahun
belajar, Joko Samudro dan putranya, Raden Maulana Makhdum Ibrahim, diutus Sunan Ampel
untuk menimba ilmu di Mekkah. Tapi, mereka harus singgah dulu di Pasai, untuk menemui Syekh
Maulana Ishak.
Rupanya, Sunan Ampel ingin mempertemukan Raden Paku dengan ayah kandungnya. Setelah
belajar selama tujuh tahun di Pasai, mereka kembali ke Jawa. Pada saat itulah Maulana Ishak
membekali Raden Paku dengan segenggam tanah, lalu memintanya mendirikan pesantren di
sebuah tempat yang warna dan bau tanahnya sama dengan yang diberikannya.
Kini, jejak bangunan Pesantren Giri hampir tiada. Tapi, jejak dakwah Sunan Giri masih membekas.
Keteguhannya memurnikan agama Islam juga diikuti para penerusnya. Sunan Giri wafat pada
1506 Masehi, dalam usia 63 tahun. Ia dimakamkan di Desa Giri, Kecamatan Kebomas, Kabupaten
Gresik, Jawa Timur.
2007 heritageofjava.com.
penggantinya. Atas usulan Sunan Kalijaga, ia diberi gelar Prabu Satmata.
Diriwayatkan, pemberian gelar itu jatuh pada 9 Maret 1487, yang kemudian ditetapkan sebagai
hari jadi Kabupaten Gresik. Di kalangan Wali nan Sembilan, Sunan Giri juga dikenal sebagai ahli
politik dan ketatanegaraan. Ia pernah menyusun peraturan ketataprajaan dan pedoman tata cara
di keraton. Pandangan politiknya pun dijadikan rujukan.
Menurut Dr. H.J. De Graaf, lahirnya berbagai kerajaan Islam, seperti Demak, Pajang, dan
Mataram, tidak lepas dari peranan Sunan Giri. Pengaruhnya, kata sejarawan Jawa itu, melintas
sampai ke luar Pulau Jawa, seperti Makassar, Hitu, dan Ternate. Konon, seorang raja barulah sah
kerajaannya kalau sudah direstui Sunan Giri.
Pengaruh Sunan Giri ini tercatat dalam naskah sejarah Through Account of Ambon, serta berita
orang Portugis dan Belanda di Kepulauan Maluku. Dalam naskah tersebut, kedudukan Sunan Giri
disamakan dengan Paus bagi umat Katolik Roma, atau khalifah bagi umat Islam. Dalam Babad
Demak pun, peran Sunan Giri tercatat.
Ketika Kerajaan Majapahit runtuh karena diserang Raja Girindrawardhana dari Kaling Kediri,
pada 1478, Sunan Giri dinobatkan menjadi raja peralihan. Selama 40 hari, Sunan Giri memangku
jabatan tersebut. Setelah itu, ia menyerahkannya kepada Raden Patah, putra Raja Majapahit,
Brawijaya Kertabhumi.
Sejak itulah, Kerajaan Demak Bintoro berdiri dan dianggap sebagai kerajaan Islam pertama di
Jawa. Padahal, sebenarnya, Sunan Giri sudah menjadi raja di Giri Kedaton sejak 1470. Tapi,
pemerintahan Giri lebih dikenal sebagai pemerintahan ulama dan pusat penyebaran Islam.
Sebagai kerajaan, juga tidak jelas batas wilayahnya.
Tampaknya, Sunan Giri lebih memilih jejak langkah ayahnya, Syekh Maulana Ishak, seorang
ulama dari Gujarat yang menetap di Pasai, kini Aceh. Ibunya Dewi Sekardadu, putri Raja Hindu
Blambangan bernama Prabu Menak Sembuyu. Kisah Sunan Giri bermula ketika Maulana Ishak
tertarik mengunjungi Jawa Timur, karena ingin menyebarkan agama Islam.
Setelah bertemu dengan Sunan Ampel, yang masih sepupunya, ia disarankan berdakwah di daerah
Blambangan. Ketika itu, masyarakat Blambangan sedang tertimpa wabah penyakit. Bahkan putri
Raja Blambangan, Dewi Sekardadu, ikut terjangkit. Semua tabib tersohor tidak berhasil
mengobatinya.
Akhirnya raja mengumumkan sayembara: siapa yang berhasil mengobati sang Dewi, bila laki-laki
akan dijodohkan dengannya, bila perempuan dijadikan saudara angkat sang dewi. Tapi, tak ada
seorang pun yang sanggup memenangkan sayembara itu. Di tengah keputusasaan, sang prabu
mengutus Patih Bajul Sengara mencari pertapa sakti.
Dalam pencarian itu, patih sempat bertemu dengan seorang pertapa sakti, Resi Kandayana
namanya. Resi inilah yang memberi ”referensi” tentang Syekh Maulana Ishak. Rupanya, Maulana
Ishak mau mengobati Dewi Sekardadu, kalau Prabu Menak Sembuyu dan keluarganya bersedia
masuk Islam. Setelah Dewi Sekardadu sembuh, syarat Maulana Ishak pun dipenuhi.
Seluruh keluarga raja memeluk agama Islam. Setelah itu, Dewa Sekardadu dinikahkan dengan
Maulana Ishak. Sayangnya, Prabu Menak Sembuyu tidak sepenuh hati menjadi seorang muslim. Ia
malah iri menyaksikan Maulana Ishak berhasil mengislamkan sebagian besar rakyatnya. Ia
berusaha menghalangi syiar Islam, bahkan mengutus orang kepercayaannya untuk membunuh
Maulana Ishak.
Merasa jiwanya terancam, Maulana Ishak akhirnya meninggalkan Blambangan, dan kembali ke
Pasai. Sebelum berangkat, ia hanya berpesan kepada Dewi Sekardadu –yang sedang mengandung
tujuh bulan– agar anaknya diberi nama Raden Paku. Setelah bayi laki-laki itu lahir, Prabu Menak
Sembuyu melampiaskan kebenciannya kepada anak Maulana Ishak dengan membuangnya ke laut
dalam sebuah peti.
Alkisah, peti tersebut ditemukan oleh awak kapal dagang dari Gresik, yang sedang menuju Pulau
6
Bali. Bayi itu lalu diserahkan kepada Nyai Ageng Pinatih, pemilik kapal tersebut. Sejak itu, bayi
laki-laki yang kemudian dinamai Joko Samudro itu diasuh dan dibesarkannya. Menginjak usia
tujuh tahun, Joko Samudro dititipkan di padepokan Sunan Ampel, untuk belajar agama Islam.
Karena kecerdasannya, anak itu diberi gelar ”Maulana `Ainul Yaqin”. Setelah bertahun-tahun
belajar, Joko Samudro dan putranya, Raden Maulana Makhdum Ibrahim, diutus Sunan Ampel
untuk menimba ilmu di Mekkah. Tapi, mereka harus singgah dulu di Pasai, untuk menemui Syekh
Maulana Ishak.
Rupanya, Sunan Ampel ingin mempertemukan Raden Paku dengan ayah kandungnya. Setelah
belajar selama tujuh tahun di Pasai, mereka kembali ke Jawa. Pada saat itulah Maulana Ishak
membekali Raden Paku dengan segenggam tanah, lalu memintanya mendirikan pesantren di
sebuah tempat yang warna dan bau tanahnya sama dengan yang diberikannya.
Kini, jejak bangunan Pesantren Giri hampir tiada. Tapi, jejak dakwah Sunan Giri masih membekas.
Keteguhannya memurnikan agama Islam juga diikuti para penerusnya. Sunan Giri wafat pada
1506 Masehi, dalam usia 63 tahun. Ia dimakamkan di Desa Giri, Kecamatan Kebomas, Kabupaten
Gresik, Jawa Timur.
2007 heritageofjava.com.
SUNAN AMPEL
PRABU Sri Kertawijaya tak kuasa memendam gundah. Raja Majapahit itu risau memikirkan
pekerti warganya yang bubrah tanpa arah. Sepeninggal Prabu Hayam Wuruk dan Mahapatih
Gajah Mada, kejayaan Majapahit tinggal cerita pahit. Perang saudara berkecamuk di mana-mana.
Panggung judi, main perempuan, dan mabuk-mabukan menjadi ”kesibukan” harian kaum
bangsawan –pun rakyat kebanyakan.
Melihat beban berat suaminya, Ratu Darawati merasa wajib urun rembuk. ”Saya punya keponakan
yang ahli mendidik kemerosotan budi pekerti,” kata permaisuri yang juga putri Raja Campa itu.
”Namanya Sayyid Ali Rahmatullah, putra Kakanda Dewi Candrawulan,” Darawati menambahkan.
Tanpa berpikir panjang, Kertawijaya mengirim utusan, menjemput Ali Rahmatullah ke Campa –
kini wilayah Kamboja.
Ali Rahmatullah inilah yang kelak lebih dikenal sebagai Sunan Ampel. Cucu Raja Campa itu adalah
putra kedua pasangan Syekh Ibrahim Asmarakandi dan Dewi Candrawulan. Ayahnya, Syekh
Ibrahim, adalah seorang ulama asal Samarkand, Asia Tengah. Kawasan ini melahirkan beberapa
ulama besar, antara lain perawi hadis Imam Bukhari.
Ibrahim berhasil mengislamkan Raja Campa. Ia kemudian diangkat sebagai menantu. Sejumlah
sumber sejarah mencatat silsilah Ibrahim dan Rahmatullah, yang sampai pada Nabi Muhammad
lewat jalur Imam Husein bin Ali. Tarikh Auliya karya KH Bisri Mustofa mencantumkan nama
Rahmatullah sebagai keturunan Nabi ke-23.
Ia diperkirakan lahir pada 1420, karena ketika berada di Palembang, pada 1440, sebuah sumber
sejarah menyebutnya berusia 20 tahun. Soalnya, para sejarawan lebih banyak mendiskusikan
tahun kedatangan Rahmatullah di Pulau Jawa. Petualang Portugis, Tome Pires, menduga
kedatangan itu pada 1443.
Hikayat Hasanuddin memperkirakannya pada sebelum 1446 –tahun kejatuhan Campa ke tangan
Vietnam. De Hollander menulis, sebelum ke Jawa, Rahmatullah memperkenalkan Islam kepada
Raja Palembang, Arya Damar, pada 1440. Perkiraan Tome Pires menjadi bertambah kuat. Dalam
lawatan ke Jawa, Rahmatullah didampingi ayahnya, kakaknya (Sayid Ali Murtadho), dan
sahabatnya (Abu Hurairah).
Rombongan mendarat di kota bandar Tuban, tempat mereka berdakwah beberapa lama, sampai
Syekh Asmarakandi wafat. Makamnya kini masih terpelihara di Desa Gesikharjo, Palang, Tuban.
Sisa rombongan melanjutkan perjalanan ke Trowulan, ibu kota Majapahit, menghadap
Kertawijaya. Di sana, Rahmatullah menyanggupi permintaan raja untuk mendidik moral para
bangsawan dan kawula Majapahit.
Sebagai hadiah, ia diberi tanah di Ampeldenta, Surabaya. Sejumlah 300 keluarga diserahkan
untuk dididik dan mendirikan permukiman di Ampel. Meski raja menolak masuk Islam,
Rahmatullah diberi kebebasan mengajarkan Islam pada warga Majapahit, asal tanpa paksaan.
Selama tinggal di Majapahit, Rahmatullah dinikahkan dengan Nyai Ageng Manila, putri
Tumenggung Arya Teja, Bupati Tuban.
Sejak itu, gelar pangeran dan raden melekat di depan namanya. Raden Rahmat diperlakukan
sebagai keluarga keraton Majapahit. Ia pun makin disegani masyarakat. Pada hari yang ditentukan,
berangkatlah rombongan Raden Rahmat ke Ampel. Dari Trowulan, melewati Desa Krian,
Wonokromo, berlanjut ke Desa Kembang Kuning. Di sepanjang perjalanan, Raden Rahmat terus
melakukan dakwah.
Ia membagi-bagikan kipas yang terbuat dari akar tumbuhan kepada penduduk. Mereka cukup
mengimbali kipas itu dengan mengucapkan syahadat. Pengikutnya pun bertambah banyak.
Sebelum tiba di Ampel, Raden Rahmat membangun langgar (musala) sederhana di Kembang
Kuning, delapan kilometer dari Ampel.
Langgar ini kemudian menjadi besar, megah, dan bertahan sampai sekarang –dan diberi nama
Masjid Rahmat. Setibanya di Ampel, langkah pertama Raden Rahmat adalah membangun masjid
sebagai pusat ibadah dan dakwah. Kemudian ia membangun pesantren, mengikuti model Maulana
Malik Ibrahim di Gresik. Format pesantrennya mirip konsep biara yang sudah dikenal masyarakat
Jawa.
Raden Rahmat memang dikenal memiliki kepekaan adaptasi. Caranya menanamkan akidah dan
syariat sangat memperhatikan kondisi masyarakat. Kata ‘’salat” diganti dengan ‘’sembahyang”
(asalnya: sembah dan hyang). Tempat ibadah tidak dinamai musala, tapi ”langgar”, mirip kata
sanggar. Penuntut ilmu disebut santri, berasal dari shastri –orang yang tahu buku suci agama
Hindu.
Siapa pun, bangsawan atau rakyat jelata, bisa nyantri pada Raden Rahmat. Meski menganut
mazhab Hanafi, Raden Rahmat sangat toleran pada penganut mazhab lain. Santrinya dibebaskan
ikut mazhab apa saja. Dengan cara pandang netral itu, pendidikan di Ampel mendapat simpati
kalangan luas. Dari sinilah sebutan ”Sunan Ampel” mulai populer.
Ajarannya yang terkenal adalah falsafah ”Moh Limo”. Artinya: tidak melakukan lima hal tercela.
Yakni moh main (tidak mau judi), moh ngombe (tidak mau mabuk), moh maling (tidak mau
mencuri), moh madat (tidak mau mengisap candu), dan moh madon (tidak mau berzina). Falsafah
ini sejalan dengan problem kemerosotan moral warga yang dikeluhkan Sri Kertawijaya.
Sunan Ampel sangat memperhatikan kaderisasi. Buktinya, dari sekian putra dan santrinya, ada
yang kemudian menjadi tokoh Islam terkemuka. Dari perkawinannya dengan Nyai Ageng Manila,
menurut satu versi, Sunan Ampel dikaruniai enam anak. Dua di antaranya juga menjadi wali, yaitu
Sunan Bonang (Makdum Ibrahim) dan Sunan Drajat (Raden Qosim).
Seorang putrinya, Asyikah, ia nikahkan dengan muridnya, Raden Patah, yang kelak menjadi sultan
pertama Demak. Dua putrinya dari istri yang lain, Nyai Karimah, ia nikahkan dengan dua
muridnya yang juga wali. Yakni Dewi Murtasiah, diperistri Sunan Giri, dan Dewi Mursimah, yang
dinikahkan dengan Sunan Kalijaga.
Sunan Ampel biasa berbeda pendapat dengan putra dan murid-mantunya yang juga para wali.
Dalam hal menyikapi adat, Sunan Ampel lebih puritan ketimbang Sunan Kalijaga. Sunan Kalijaga
pernah menawarkan untuk mengislamkan adat sesaji, selamatan, wayang, dan gamelan. Sunan
Ampel menolak halus.
”Apakah tidak khawatir kelak adat itu akan dianggap berasal dari Islam?” kata Sunan Ampel.
”Nanti bisa bidah, dan Islam tak murni lagi.” Pandangan Sunan Ampel didukung Sunan Giri dan
Sunan Drajat. Sementara Sunan Kudus dan Sunan Bonang menyetujui Sunan Kalijaga. Sunan
Kudus membuat dua kategori: adat yang bisa dimasuki Islam, dan yang sama sekali tidak.
Ini mirip dengan perdebatan dalam ushul fiqih: apakah adat bisa dijadikan sumber hukum Islam
atau tidak. Meski demikian, perbedaan itu tidak mengganggu silaturahmi antarpara wali. Sunan
Ampel memang dikenal bijak mengelola perbedaan pendapat. Karena itu, sepeninggal Maulana
Malik Ibrahim, ia diangkat menjadi sesepuh Wali Songo dan mufti (juru fatwa) se-tanah Jawa.
Menurut satu versi, Sunan Ampel-lah yang memprakarsai pembentukan Dewan Wali Songo,
sebagai strategi menyelamatkan dakwah Islam di tengah kemelut politik Majapahit. Namun,
mengenai tanggal wafatnya, tak ada bukti sejarah yang pasti. Sumber-sumber tradisional memberi
titimangsa yang berbeda.
Babad Gresik menyebutkan tahun 1481, dengan candrasengkala ”Ngulama Ampel Seda Masjid”.
Cerita tutur menyebutkan, beliau wafat saat sujud di masjid. Serat Kanda edisi Brandes
menyatakan tahun 1406. Sumber lain menunjuk tahun 1478, setahun setelah berdirinya Masjid
Demak. Ia dimakamkan di sebelah barat Masjid Ampel, di areal seluas 1.000 meter persegi,
bersama ratusan santrinya.
Kompleks makam tersebut dikelilingi tembok besar setinggi 2,5 meter. Makam Sunan Ampel
bersama istri dan lima kerabatnya dipagari baja tahan karat setinggi 1,5 meter, melingkar seluas
64 meter persegi. Khusus makam Sunan Ampel dikelilingi pasir putih. Setiap hari, penziarah ke
makam Sunan Ampel rata-rata 1.000 orang, dari berbagai pelosok Tanah Air.
Jumlahnya bertambah pada acara ritual tertentu, seperti saat Haul Agung Sunan Ampel ke-552,
awal November lalu. Pengunjungnya membludak sampai 10.000 orang. Kalau makam Maulana
Malik Ibrahim sepi penziarah di bulan Ramadhan, makam Sunan Ampel justru makin ramai 24
jam pada bulan puasa.
pekerti warganya yang bubrah tanpa arah. Sepeninggal Prabu Hayam Wuruk dan Mahapatih
Gajah Mada, kejayaan Majapahit tinggal cerita pahit. Perang saudara berkecamuk di mana-mana.
Panggung judi, main perempuan, dan mabuk-mabukan menjadi ”kesibukan” harian kaum
bangsawan –pun rakyat kebanyakan.
Melihat beban berat suaminya, Ratu Darawati merasa wajib urun rembuk. ”Saya punya keponakan
yang ahli mendidik kemerosotan budi pekerti,” kata permaisuri yang juga putri Raja Campa itu.
”Namanya Sayyid Ali Rahmatullah, putra Kakanda Dewi Candrawulan,” Darawati menambahkan.
Tanpa berpikir panjang, Kertawijaya mengirim utusan, menjemput Ali Rahmatullah ke Campa –
kini wilayah Kamboja.
Ali Rahmatullah inilah yang kelak lebih dikenal sebagai Sunan Ampel. Cucu Raja Campa itu adalah
putra kedua pasangan Syekh Ibrahim Asmarakandi dan Dewi Candrawulan. Ayahnya, Syekh
Ibrahim, adalah seorang ulama asal Samarkand, Asia Tengah. Kawasan ini melahirkan beberapa
ulama besar, antara lain perawi hadis Imam Bukhari.
Ibrahim berhasil mengislamkan Raja Campa. Ia kemudian diangkat sebagai menantu. Sejumlah
sumber sejarah mencatat silsilah Ibrahim dan Rahmatullah, yang sampai pada Nabi Muhammad
lewat jalur Imam Husein bin Ali. Tarikh Auliya karya KH Bisri Mustofa mencantumkan nama
Rahmatullah sebagai keturunan Nabi ke-23.
Ia diperkirakan lahir pada 1420, karena ketika berada di Palembang, pada 1440, sebuah sumber
sejarah menyebutnya berusia 20 tahun. Soalnya, para sejarawan lebih banyak mendiskusikan
tahun kedatangan Rahmatullah di Pulau Jawa. Petualang Portugis, Tome Pires, menduga
kedatangan itu pada 1443.
Hikayat Hasanuddin memperkirakannya pada sebelum 1446 –tahun kejatuhan Campa ke tangan
Vietnam. De Hollander menulis, sebelum ke Jawa, Rahmatullah memperkenalkan Islam kepada
Raja Palembang, Arya Damar, pada 1440. Perkiraan Tome Pires menjadi bertambah kuat. Dalam
lawatan ke Jawa, Rahmatullah didampingi ayahnya, kakaknya (Sayid Ali Murtadho), dan
sahabatnya (Abu Hurairah).
Rombongan mendarat di kota bandar Tuban, tempat mereka berdakwah beberapa lama, sampai
Syekh Asmarakandi wafat. Makamnya kini masih terpelihara di Desa Gesikharjo, Palang, Tuban.
Sisa rombongan melanjutkan perjalanan ke Trowulan, ibu kota Majapahit, menghadap
Kertawijaya. Di sana, Rahmatullah menyanggupi permintaan raja untuk mendidik moral para
bangsawan dan kawula Majapahit.
Sebagai hadiah, ia diberi tanah di Ampeldenta, Surabaya. Sejumlah 300 keluarga diserahkan
untuk dididik dan mendirikan permukiman di Ampel. Meski raja menolak masuk Islam,
Rahmatullah diberi kebebasan mengajarkan Islam pada warga Majapahit, asal tanpa paksaan.
Selama tinggal di Majapahit, Rahmatullah dinikahkan dengan Nyai Ageng Manila, putri
Tumenggung Arya Teja, Bupati Tuban.
Sejak itu, gelar pangeran dan raden melekat di depan namanya. Raden Rahmat diperlakukan
sebagai keluarga keraton Majapahit. Ia pun makin disegani masyarakat. Pada hari yang ditentukan,
berangkatlah rombongan Raden Rahmat ke Ampel. Dari Trowulan, melewati Desa Krian,
Wonokromo, berlanjut ke Desa Kembang Kuning. Di sepanjang perjalanan, Raden Rahmat terus
melakukan dakwah.
Ia membagi-bagikan kipas yang terbuat dari akar tumbuhan kepada penduduk. Mereka cukup
mengimbali kipas itu dengan mengucapkan syahadat. Pengikutnya pun bertambah banyak.
Sebelum tiba di Ampel, Raden Rahmat membangun langgar (musala) sederhana di Kembang
Kuning, delapan kilometer dari Ampel.
Langgar ini kemudian menjadi besar, megah, dan bertahan sampai sekarang –dan diberi nama
Masjid Rahmat. Setibanya di Ampel, langkah pertama Raden Rahmat adalah membangun masjid
sebagai pusat ibadah dan dakwah. Kemudian ia membangun pesantren, mengikuti model Maulana
Malik Ibrahim di Gresik. Format pesantrennya mirip konsep biara yang sudah dikenal masyarakat
Jawa.
Raden Rahmat memang dikenal memiliki kepekaan adaptasi. Caranya menanamkan akidah dan
syariat sangat memperhatikan kondisi masyarakat. Kata ‘’salat” diganti dengan ‘’sembahyang”
(asalnya: sembah dan hyang). Tempat ibadah tidak dinamai musala, tapi ”langgar”, mirip kata
sanggar. Penuntut ilmu disebut santri, berasal dari shastri –orang yang tahu buku suci agama
Hindu.
Siapa pun, bangsawan atau rakyat jelata, bisa nyantri pada Raden Rahmat. Meski menganut
mazhab Hanafi, Raden Rahmat sangat toleran pada penganut mazhab lain. Santrinya dibebaskan
ikut mazhab apa saja. Dengan cara pandang netral itu, pendidikan di Ampel mendapat simpati
kalangan luas. Dari sinilah sebutan ”Sunan Ampel” mulai populer.
Ajarannya yang terkenal adalah falsafah ”Moh Limo”. Artinya: tidak melakukan lima hal tercela.
Yakni moh main (tidak mau judi), moh ngombe (tidak mau mabuk), moh maling (tidak mau
mencuri), moh madat (tidak mau mengisap candu), dan moh madon (tidak mau berzina). Falsafah
ini sejalan dengan problem kemerosotan moral warga yang dikeluhkan Sri Kertawijaya.
Sunan Ampel sangat memperhatikan kaderisasi. Buktinya, dari sekian putra dan santrinya, ada
yang kemudian menjadi tokoh Islam terkemuka. Dari perkawinannya dengan Nyai Ageng Manila,
menurut satu versi, Sunan Ampel dikaruniai enam anak. Dua di antaranya juga menjadi wali, yaitu
Sunan Bonang (Makdum Ibrahim) dan Sunan Drajat (Raden Qosim).
Seorang putrinya, Asyikah, ia nikahkan dengan muridnya, Raden Patah, yang kelak menjadi sultan
pertama Demak. Dua putrinya dari istri yang lain, Nyai Karimah, ia nikahkan dengan dua
muridnya yang juga wali. Yakni Dewi Murtasiah, diperistri Sunan Giri, dan Dewi Mursimah, yang
dinikahkan dengan Sunan Kalijaga.
Sunan Ampel biasa berbeda pendapat dengan putra dan murid-mantunya yang juga para wali.
Dalam hal menyikapi adat, Sunan Ampel lebih puritan ketimbang Sunan Kalijaga. Sunan Kalijaga
pernah menawarkan untuk mengislamkan adat sesaji, selamatan, wayang, dan gamelan. Sunan
Ampel menolak halus.
”Apakah tidak khawatir kelak adat itu akan dianggap berasal dari Islam?” kata Sunan Ampel.
”Nanti bisa bidah, dan Islam tak murni lagi.” Pandangan Sunan Ampel didukung Sunan Giri dan
Sunan Drajat. Sementara Sunan Kudus dan Sunan Bonang menyetujui Sunan Kalijaga. Sunan
Kudus membuat dua kategori: adat yang bisa dimasuki Islam, dan yang sama sekali tidak.
Ini mirip dengan perdebatan dalam ushul fiqih: apakah adat bisa dijadikan sumber hukum Islam
atau tidak. Meski demikian, perbedaan itu tidak mengganggu silaturahmi antarpara wali. Sunan
Ampel memang dikenal bijak mengelola perbedaan pendapat. Karena itu, sepeninggal Maulana
Malik Ibrahim, ia diangkat menjadi sesepuh Wali Songo dan mufti (juru fatwa) se-tanah Jawa.
Menurut satu versi, Sunan Ampel-lah yang memprakarsai pembentukan Dewan Wali Songo,
sebagai strategi menyelamatkan dakwah Islam di tengah kemelut politik Majapahit. Namun,
mengenai tanggal wafatnya, tak ada bukti sejarah yang pasti. Sumber-sumber tradisional memberi
titimangsa yang berbeda.
Babad Gresik menyebutkan tahun 1481, dengan candrasengkala ”Ngulama Ampel Seda Masjid”.
Cerita tutur menyebutkan, beliau wafat saat sujud di masjid. Serat Kanda edisi Brandes
menyatakan tahun 1406. Sumber lain menunjuk tahun 1478, setahun setelah berdirinya Masjid
Demak. Ia dimakamkan di sebelah barat Masjid Ampel, di areal seluas 1.000 meter persegi,
bersama ratusan santrinya.
Kompleks makam tersebut dikelilingi tembok besar setinggi 2,5 meter. Makam Sunan Ampel
bersama istri dan lima kerabatnya dipagari baja tahan karat setinggi 1,5 meter, melingkar seluas
64 meter persegi. Khusus makam Sunan Ampel dikelilingi pasir putih. Setiap hari, penziarah ke
makam Sunan Ampel rata-rata 1.000 orang, dari berbagai pelosok Tanah Air.
Jumlahnya bertambah pada acara ritual tertentu, seperti saat Haul Agung Sunan Ampel ke-552,
awal November lalu. Pengunjungnya membludak sampai 10.000 orang. Kalau makam Maulana
Malik Ibrahim sepi penziarah di bulan Ramadhan, makam Sunan Ampel justru makin ramai 24
jam pada bulan puasa.
SUNAN GIRI
SELAMA 40 hari, Raden Paku bertafakur di sebuah gua. Ia bersimpuh, meminta petunjuk Allah
SWT, ingin mendirikan pesantren. Di tengah hening malam, pesan ayahnya, Syekh Maulana Ishak,
kembali terngiang: ”Kelak, bila tiba masanya, dirikanlah pesantren di Gresik.” Pesan yang tak
terlalu sulit, sebetulnya.
Tapi, ia diminta mencari tanah yang sama persis dengan tanah dalam sebuah bungkusan ini.
SWT, ingin mendirikan pesantren. Di tengah hening malam, pesan ayahnya, Syekh Maulana Ishak,
kembali terngiang: ”Kelak, bila tiba masanya, dirikanlah pesantren di Gresik.” Pesan yang tak
terlalu sulit, sebetulnya.
Tapi, ia diminta mencari tanah yang sama persis dengan tanah dalam sebuah bungkusan ini.
Selesai bertafakur, Raden Paku berangkat mengembara. Di sebuah perbukitan di Desa Sidomukti,
Kebomas, ia kemudian mendirikan Pesantren Giri. Sejak itu pula Raden Paku dikenal sebagai
Sunan Giri. Dalam bahasa Sansekerta, ”giri” berarti gunung.
Namun, tak ada peninggalan yang menunjukkan kebesaran Pesantren Giri –yang berkembang
menjadi Kerajaan Giri Kedaton. Tak ada juga bekas-bekas istana. Kini, di daerah perbukitan itu
hanya terlihat situs Kedaton, sekitar satu kilometer dari makam Sunan Giri. Di situs itu berdiri
sebuah langgar berukuran 6 x 5 meter.
Di sanalah, konon, sempat berdiri sebuah masjid, tempat Sunan Giri mengajarkan agama Islam.
Ada juga bekas tempat wudu berupa kolam berukuran 1 x 1 meter. Tempat ini tampak lengang
pengunjung. ”Memang banyak orang yang tidak tahu situs ini,” kata Muhammad Hasan,
Sekretaris Yayasan Makam Sunan Giri, kepada GATRA.
Syahdan, Pesantren Giri terkenal ke seluruh penjuru Jawa, bahkan sampai ke Madura, Lombok,
Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku. Menurut Babad Tanah Jawi, murid Sunan Giri juga
bertebaran sampai ke Cina, Mesir, Arab, dan Eropa. Pesantren Giri merupakan pusat ajaran tauhid
dan fikih, karena Sunan Giri meletakkan ajaran Islam di atas Al-Quran dan sunah Rasul.
Ia tidak mau berkompromi dengan adat istiadat, yang dianggapnya merusak kemurnian Islam.
Karena itu, Sunan Giri dianggap sebagai pemimpin kaum ”putihan”, aliran yang didukung Sunan
Ampel dan Sunan Drajat. Tapi, Sunan Kalijaga menganggap cara berdakwah Sunan Giri kaku.
Menurut Sunan Kalijaga, dakwah hendaklah pula menggunakan pendekatan kebudayaan.
Misalnya dengan wayang. Paham ini mendapat sokongan dari Sunan Bonang, Sunan Muria, Sunan
Kudus, dan Sunan Gunung Jati. Perdebatan para wali ini sempat memuncak pada peresmian
Masjid Demak. ”Aliran Tuban” –Sunan Kalijaga cs– ingin meramaikan peresmian itu dengan
wayang. Tapi, menurut Sunan Giri, menonton wayang tetap haram, karena gambar wayang itu
berbentuk manusia.
Akhirnya, Sunan Kalijaga mencari jalan tengah. Ia mengusulkan bentuk wayang diubah: menjadi
tipis dan tidak menyerupai manusia. Sejak itulah wayang beber berubah menjadi wayang kulit.
Ketika Sunan Ampel, ”ketua” para wali, wafat pada 1478, Sunan Giri diangkat menjadi
penggantinya. Atas usulan Sunan Kalijaga, ia diberi gelar Prabu Satmata.
Diriwayatkan, pemberian gelar itu jatuh pada 9 Maret 1487, yang kemudian ditetapkan sebagai
hari jadi Kabupaten Gresik. Di kalangan Wali nan Sembilan, Sunan Giri juga dikenal sebagai ahli
politik dan ketatanegaraan. Ia pernah menyusun peraturan ketataprajaan dan pedoman tata cara
di keraton. Pandangan politiknya pun dijadikan rujukan.
Menurut Dr. H.J. De Graaf, lahirnya berbagai kerajaan Islam, seperti Demak, Pajang, dan
Mataram, tidak lepas dari peranan Sunan Giri. Pengaruhnya, kata sejarawan Jawa itu, melintas
sampai ke luar Pulau Jawa, seperti Makassar, Hitu, dan Ternate. Konon, seorang raja barulah sah
kerajaannya kalau sudah direstui Sunan Giri.
Pengaruh Sunan Giri ini tercatat dalam naskah sejarah Through Account of Ambon, serta berita
orang Portugis dan Belanda di Kepulauan Maluku. Dalam naskah tersebut, kedudukan Sunan Giri
disamakan dengan Paus bagi umat Katolik Roma, atau khalifah bagi umat Islam. Dalam Babad
Demak pun, peran Sunan Giri tercatat.
Ketika Kerajaan Majapahit runtuh karena diserang Raja Girindrawardhana dari Kaling Kediri,
pada 1478, Sunan Giri dinobatkan menjadi raja peralihan. Selama 40 hari, Sunan Giri memangku
jabatan tersebut. Setelah itu, ia menyerahkannya kepada Raden Patah, putra Raja Majapahit,
Brawijaya Kertabhumi.
Sejak itulah, Kerajaan Demak Bintoro berdiri dan dianggap sebagai kerajaan Islam pertama di
Jawa. Padahal, sebenarnya, Sunan Giri sudah menjadi raja di Giri Kedaton sejak 1470. Tapi,
pemerintahan Giri lebih dikenal sebagai pemerintahan ulama dan pusat penyebaran Islam.
Sebagai kerajaan, juga tidak jelas batas wilayahnya.
Tampaknya, Sunan Giri lebih memilih jejak langkah ayahnya, Syekh Maulana Ishak, seorang
ulama dari Gujarat yang menetap di Pasai, kini Aceh. Ibunya Dewi Sekardadu, putri Raja Hindu
Blambangan bernama Prabu Menak Sembuyu. Kisah Sunan Giri bermula ketika Maulana Ishak
tertarik mengunjungi Jawa Timur, karena ingin menyebarkan agama Islam.
Setelah bertemu dengan Sunan Ampel, yang masih sepupunya, ia disarankan berdakwah di daerah
Blambangan. Ketika itu, masyarakat Blambangan sedang tertimpa wabah penyakit. Bahkan putri
Raja Blambangan, Dewi Sekardadu, ikut terjangkit. Semua tabib tersohor tidak berhasil
mengobatinya.
Akhirnya raja mengumumkan sayembara: siapa yang berhasil mengobati sang Dewi, bila laki-laki
akan dijodohkan dengannya, bila perempuan dijadikan saudara angkat sang dewi. Tapi, tak ada
seorang pun yang sanggup memenangkan sayembara itu. Di tengah keputusasaan, sang prabu
mengutus Patih Bajul Sengara mencari pertapa sakti.
Dalam pencarian itu, patih sempat bertemu dengan seorang pertapa sakti, Resi Kandayana
namanya. Resi inilah yang memberi ”referensi” tentang Syekh Maulana Ishak. Rupanya, Maulana
Ishak mau mengobati Dewi Sekardadu, kalau Prabu Menak Sembuyu dan keluarganya bersedia
masuk Islam. Setelah Dewi Sekardadu sembuh, syarat Maulana Ishak pun dipenuhi.
Seluruh keluarga raja memeluk agama Islam. Setelah itu, Dewa Sekardadu dinikahkan dengan
Maulana Ishak. Sayangnya, Prabu Menak Sembuyu tidak sepenuh hati menjadi seorang muslim. Ia
malah iri menyaksikan Maulana Ishak berhasil mengislamkan sebagian besar rakyatnya. Ia
berusaha menghalangi syiar Islam, bahkan mengutus orang kepercayaannya untuk membunuh
Maulana Ishak.
Merasa jiwanya terancam, Maulana Ishak akhirnya meninggalkan Blambangan, dan kembali ke
Pasai. Sebelum berangkat, ia hanya berpesan kepada Dewi Sekardadu –yang sedang mengandung
tujuh bulan– agar anaknya diberi nama Raden Paku. Setelah bayi laki-laki itu lahir, Prabu Menak
Sembuyu melampiaskan kebenciannya kepada anak Maulana Ishak dengan membuangnya ke laut
dalam sebuah peti.
Alkisah, peti tersebut ditemukan oleh awak kapal dagang dari Gresik, yang sedang menuju Pulau
Bali. Bayi itu lalu diserahkan kepada Nyai Ageng Pinatih, pemilik kapal tersebut. Sejak itu, bayi
laki-laki yang kemudian dinamai Joko Samudro itu diasuh dan dibesarkannya. Menginjak usia
tujuh tahun, Joko Samudro dititipkan di padepokan Sunan Ampel, untuk belajar agama Islam.
Karena kecerdasannya, anak itu diberi gelar ”Maulana `Ainul Yaqin”. Setelah bertahun-tahun
belajar, Joko Samudro dan putranya, Raden Maulana Makhdum Ibrahim, diutus Sunan Ampel
untuk menimba ilmu di Mekkah. Tapi, mereka harus singgah dulu di Pasai, untuk menemui Syekh
Maulana Ishak.
Rupanya, Sunan Ampel ingin mempertemukan Raden Paku dengan ayah kandungnya. Setelah
belajar selama tujuh tahun di Pasai, mereka kembali ke Jawa. Pada saat itulah Maulana Ishak
membekali Raden Paku dengan segenggam tanah, lalu memintanya mendirikan pesantren di
sebuah tempat yang warna dan bau tanahnya sama dengan yang diberikannya.
Kini, jejak bangunan Pesantren Giri hampir tiada. Tapi, jejak dakwah Sunan Giri masih membekas.
Keteguhannya memurnikan agama Islam juga diikuti para penerusnya. Sunan Giri wafat pada
1506 Masehi, dalam usia 63 tahun. Ia dimakamkan di Desa Giri, Kecamatan Kebomas, Kabupaten
Gresik, Jawa Timur.
Kebomas, ia kemudian mendirikan Pesantren Giri. Sejak itu pula Raden Paku dikenal sebagai
Sunan Giri. Dalam bahasa Sansekerta, ”giri” berarti gunung.
Namun, tak ada peninggalan yang menunjukkan kebesaran Pesantren Giri –yang berkembang
menjadi Kerajaan Giri Kedaton. Tak ada juga bekas-bekas istana. Kini, di daerah perbukitan itu
hanya terlihat situs Kedaton, sekitar satu kilometer dari makam Sunan Giri. Di situs itu berdiri
sebuah langgar berukuran 6 x 5 meter.
Di sanalah, konon, sempat berdiri sebuah masjid, tempat Sunan Giri mengajarkan agama Islam.
Ada juga bekas tempat wudu berupa kolam berukuran 1 x 1 meter. Tempat ini tampak lengang
pengunjung. ”Memang banyak orang yang tidak tahu situs ini,” kata Muhammad Hasan,
Sekretaris Yayasan Makam Sunan Giri, kepada GATRA.
Syahdan, Pesantren Giri terkenal ke seluruh penjuru Jawa, bahkan sampai ke Madura, Lombok,
Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku. Menurut Babad Tanah Jawi, murid Sunan Giri juga
bertebaran sampai ke Cina, Mesir, Arab, dan Eropa. Pesantren Giri merupakan pusat ajaran tauhid
dan fikih, karena Sunan Giri meletakkan ajaran Islam di atas Al-Quran dan sunah Rasul.
Ia tidak mau berkompromi dengan adat istiadat, yang dianggapnya merusak kemurnian Islam.
Karena itu, Sunan Giri dianggap sebagai pemimpin kaum ”putihan”, aliran yang didukung Sunan
Ampel dan Sunan Drajat. Tapi, Sunan Kalijaga menganggap cara berdakwah Sunan Giri kaku.
Menurut Sunan Kalijaga, dakwah hendaklah pula menggunakan pendekatan kebudayaan.
Misalnya dengan wayang. Paham ini mendapat sokongan dari Sunan Bonang, Sunan Muria, Sunan
Kudus, dan Sunan Gunung Jati. Perdebatan para wali ini sempat memuncak pada peresmian
Masjid Demak. ”Aliran Tuban” –Sunan Kalijaga cs– ingin meramaikan peresmian itu dengan
wayang. Tapi, menurut Sunan Giri, menonton wayang tetap haram, karena gambar wayang itu
berbentuk manusia.
Akhirnya, Sunan Kalijaga mencari jalan tengah. Ia mengusulkan bentuk wayang diubah: menjadi
tipis dan tidak menyerupai manusia. Sejak itulah wayang beber berubah menjadi wayang kulit.
Ketika Sunan Ampel, ”ketua” para wali, wafat pada 1478, Sunan Giri diangkat menjadi
penggantinya. Atas usulan Sunan Kalijaga, ia diberi gelar Prabu Satmata.
Diriwayatkan, pemberian gelar itu jatuh pada 9 Maret 1487, yang kemudian ditetapkan sebagai
hari jadi Kabupaten Gresik. Di kalangan Wali nan Sembilan, Sunan Giri juga dikenal sebagai ahli
politik dan ketatanegaraan. Ia pernah menyusun peraturan ketataprajaan dan pedoman tata cara
di keraton. Pandangan politiknya pun dijadikan rujukan.
Menurut Dr. H.J. De Graaf, lahirnya berbagai kerajaan Islam, seperti Demak, Pajang, dan
Mataram, tidak lepas dari peranan Sunan Giri. Pengaruhnya, kata sejarawan Jawa itu, melintas
sampai ke luar Pulau Jawa, seperti Makassar, Hitu, dan Ternate. Konon, seorang raja barulah sah
kerajaannya kalau sudah direstui Sunan Giri.
Pengaruh Sunan Giri ini tercatat dalam naskah sejarah Through Account of Ambon, serta berita
orang Portugis dan Belanda di Kepulauan Maluku. Dalam naskah tersebut, kedudukan Sunan Giri
disamakan dengan Paus bagi umat Katolik Roma, atau khalifah bagi umat Islam. Dalam Babad
Demak pun, peran Sunan Giri tercatat.
Ketika Kerajaan Majapahit runtuh karena diserang Raja Girindrawardhana dari Kaling Kediri,
pada 1478, Sunan Giri dinobatkan menjadi raja peralihan. Selama 40 hari, Sunan Giri memangku
jabatan tersebut. Setelah itu, ia menyerahkannya kepada Raden Patah, putra Raja Majapahit,
Brawijaya Kertabhumi.
Sejak itulah, Kerajaan Demak Bintoro berdiri dan dianggap sebagai kerajaan Islam pertama di
Jawa. Padahal, sebenarnya, Sunan Giri sudah menjadi raja di Giri Kedaton sejak 1470. Tapi,
pemerintahan Giri lebih dikenal sebagai pemerintahan ulama dan pusat penyebaran Islam.
Sebagai kerajaan, juga tidak jelas batas wilayahnya.
Tampaknya, Sunan Giri lebih memilih jejak langkah ayahnya, Syekh Maulana Ishak, seorang
ulama dari Gujarat yang menetap di Pasai, kini Aceh. Ibunya Dewi Sekardadu, putri Raja Hindu
Blambangan bernama Prabu Menak Sembuyu. Kisah Sunan Giri bermula ketika Maulana Ishak
tertarik mengunjungi Jawa Timur, karena ingin menyebarkan agama Islam.
Setelah bertemu dengan Sunan Ampel, yang masih sepupunya, ia disarankan berdakwah di daerah
Blambangan. Ketika itu, masyarakat Blambangan sedang tertimpa wabah penyakit. Bahkan putri
Raja Blambangan, Dewi Sekardadu, ikut terjangkit. Semua tabib tersohor tidak berhasil
mengobatinya.
Akhirnya raja mengumumkan sayembara: siapa yang berhasil mengobati sang Dewi, bila laki-laki
akan dijodohkan dengannya, bila perempuan dijadikan saudara angkat sang dewi. Tapi, tak ada
seorang pun yang sanggup memenangkan sayembara itu. Di tengah keputusasaan, sang prabu
mengutus Patih Bajul Sengara mencari pertapa sakti.
Dalam pencarian itu, patih sempat bertemu dengan seorang pertapa sakti, Resi Kandayana
namanya. Resi inilah yang memberi ”referensi” tentang Syekh Maulana Ishak. Rupanya, Maulana
Ishak mau mengobati Dewi Sekardadu, kalau Prabu Menak Sembuyu dan keluarganya bersedia
masuk Islam. Setelah Dewi Sekardadu sembuh, syarat Maulana Ishak pun dipenuhi.
Seluruh keluarga raja memeluk agama Islam. Setelah itu, Dewa Sekardadu dinikahkan dengan
Maulana Ishak. Sayangnya, Prabu Menak Sembuyu tidak sepenuh hati menjadi seorang muslim. Ia
malah iri menyaksikan Maulana Ishak berhasil mengislamkan sebagian besar rakyatnya. Ia
berusaha menghalangi syiar Islam, bahkan mengutus orang kepercayaannya untuk membunuh
Maulana Ishak.
Merasa jiwanya terancam, Maulana Ishak akhirnya meninggalkan Blambangan, dan kembali ke
Pasai. Sebelum berangkat, ia hanya berpesan kepada Dewi Sekardadu –yang sedang mengandung
tujuh bulan– agar anaknya diberi nama Raden Paku. Setelah bayi laki-laki itu lahir, Prabu Menak
Sembuyu melampiaskan kebenciannya kepada anak Maulana Ishak dengan membuangnya ke laut
dalam sebuah peti.
Alkisah, peti tersebut ditemukan oleh awak kapal dagang dari Gresik, yang sedang menuju Pulau
Bali. Bayi itu lalu diserahkan kepada Nyai Ageng Pinatih, pemilik kapal tersebut. Sejak itu, bayi
laki-laki yang kemudian dinamai Joko Samudro itu diasuh dan dibesarkannya. Menginjak usia
tujuh tahun, Joko Samudro dititipkan di padepokan Sunan Ampel, untuk belajar agama Islam.
Karena kecerdasannya, anak itu diberi gelar ”Maulana `Ainul Yaqin”. Setelah bertahun-tahun
belajar, Joko Samudro dan putranya, Raden Maulana Makhdum Ibrahim, diutus Sunan Ampel
untuk menimba ilmu di Mekkah. Tapi, mereka harus singgah dulu di Pasai, untuk menemui Syekh
Maulana Ishak.
Rupanya, Sunan Ampel ingin mempertemukan Raden Paku dengan ayah kandungnya. Setelah
belajar selama tujuh tahun di Pasai, mereka kembali ke Jawa. Pada saat itulah Maulana Ishak
membekali Raden Paku dengan segenggam tanah, lalu memintanya mendirikan pesantren di
sebuah tempat yang warna dan bau tanahnya sama dengan yang diberikannya.
Kini, jejak bangunan Pesantren Giri hampir tiada. Tapi, jejak dakwah Sunan Giri masih membekas.
Keteguhannya memurnikan agama Islam juga diikuti para penerusnya. Sunan Giri wafat pada
1506 Masehi, dalam usia 63 tahun. Ia dimakamkan di Desa Giri, Kecamatan Kebomas, Kabupaten
Gresik, Jawa Timur.
SUNAN BONANG
Tamba ati iku lima sak warnane
Maca Qur’an angen-angen sak maknane
Kaping pindo, sholat wengi lakonana
Kaping telu, wong kang soleh kencanana
Kaping papat kudu wetheng ingkang luwe
Kaping lima dzikir wengi ingkang suwe
MENURUT tembang ini, ada lima macam ”penawar hati”, atau pengobat jiwa yang ‘’sakit”. Yakni
membaca Al-Quran, mengerjakan salat tahajud, bersahabat dengan orang saleh, berzikir, dan
hidup prihatin. Inilah pula yang sering dilantunkan Emha Ainun Nadjib bersama Kelompok Kyai
Kanjeng, dalam sejumlah pergelarannya.
Di luar acara Emha, Tamba Ati hingga kini masih kerap dinyanyikan sejumlah santri di pesantren
dan masjid di sejumlah desa. Tapi Cak Nun –demikian Emha biasa disapa– bukan pencipta ”lagu”
itu. Tembang ini adalah peninggalan Raden Maulana Makdum Ibrahim, yang lebih dikenal sebagai
Sunan Bonang.
Pada masa hidupnya, Sunan Bonang menyanyikan Tamba Ati untuk menarik warga masyarakat
agar memeluk Islam. Pada saat berdendang, pria yang diduga berusia 60 tahun itu menabuh
gamelan dari kuningan, yang dibuat oleh sejumlah warga Desa Bonang, Jawa Timur. Nama desa
inilah yang kemudian melekat pada gelar sang Sunan.
Meski terampil, Sunan Bonang bukan putra penabuh gamelan. Ia justru putra Sunan Ampel, yang
menikah dengan Condrowati, alias Nyai Ageng Manila. Nyai Ageng merupakan anak angkat Ario
Tedjo, Bupati Tuban. Tidak ada catatan mengenai tanggal kelahiran Raden Makdum. Diduga, ia
lahir di daerah Bonang, Tuban, pada 1465.
Sunan Ampel semula memberi ia nama Maulana Makdum. Nama ini diambil dari bahasa Hindi,
yang bermakna cendekiawan Islam yang dihormati karena kedudukannya dalam agama. Semasa
kecil, Sunan Bonang sudah mendapat pelajaran dari ayahnya, Sunan Ampel, dengan disiplin yang
ketat. Tak heran jika dia pun, kemudian, terhisab ke dalam Wali nan Sembilan.
Sunan Ampel kemudian mengirim Sunan Bonang ke Negeri Pasai, Aceh masa kini. Di sana Sunan
Bonang menuntut ilmu pada Syekh Awwalul Islam, ayah kandung Raden Paku alias Sunan Giri.
Bersama Raden Paku, ia juga belajar pada sejumlah ulama besar yang banyak menetap dan
mengajar di Pasai, seperti ulama ahli tasawuf dari Baghdad, Mesir, dan Iran.
Pulang dari menuntut ilmu, Sunan Bonang diminta Sunan Ampel berdakwah di Tuban, Pati, Pulau
Madura, dan Pulau Bawean di utara Pulau Jawa. Seperti halnya Raden Paku alias Sunan Giri, yang
mendirikan pesantren di Gresik, Sunan Bonang juga mendirikan pesantren di Tuban.
Dalam berdakwah, Sunan Bonang kerap menggunakan kesenian rakyat untuk menarik simpati
masyarakat, antara lain dengan seperangkat gamelan Bonang. Bila dipukul dengan kayu lunak,
Maca Qur’an angen-angen sak maknane
Kaping pindo, sholat wengi lakonana
Kaping telu, wong kang soleh kencanana
Kaping papat kudu wetheng ingkang luwe
Kaping lima dzikir wengi ingkang suwe
MENURUT tembang ini, ada lima macam ”penawar hati”, atau pengobat jiwa yang ‘’sakit”. Yakni
membaca Al-Quran, mengerjakan salat tahajud, bersahabat dengan orang saleh, berzikir, dan
hidup prihatin. Inilah pula yang sering dilantunkan Emha Ainun Nadjib bersama Kelompok Kyai
Kanjeng, dalam sejumlah pergelarannya.
Di luar acara Emha, Tamba Ati hingga kini masih kerap dinyanyikan sejumlah santri di pesantren
dan masjid di sejumlah desa. Tapi Cak Nun –demikian Emha biasa disapa– bukan pencipta ”lagu”
itu. Tembang ini adalah peninggalan Raden Maulana Makdum Ibrahim, yang lebih dikenal sebagai
Sunan Bonang.
Pada masa hidupnya, Sunan Bonang menyanyikan Tamba Ati untuk menarik warga masyarakat
agar memeluk Islam. Pada saat berdendang, pria yang diduga berusia 60 tahun itu menabuh
gamelan dari kuningan, yang dibuat oleh sejumlah warga Desa Bonang, Jawa Timur. Nama desa
inilah yang kemudian melekat pada gelar sang Sunan.
Meski terampil, Sunan Bonang bukan putra penabuh gamelan. Ia justru putra Sunan Ampel, yang
menikah dengan Condrowati, alias Nyai Ageng Manila. Nyai Ageng merupakan anak angkat Ario
Tedjo, Bupati Tuban. Tidak ada catatan mengenai tanggal kelahiran Raden Makdum. Diduga, ia
lahir di daerah Bonang, Tuban, pada 1465.
Sunan Ampel semula memberi ia nama Maulana Makdum. Nama ini diambil dari bahasa Hindi,
yang bermakna cendekiawan Islam yang dihormati karena kedudukannya dalam agama. Semasa
kecil, Sunan Bonang sudah mendapat pelajaran dari ayahnya, Sunan Ampel, dengan disiplin yang
ketat. Tak heran jika dia pun, kemudian, terhisab ke dalam Wali nan Sembilan.
Sunan Ampel kemudian mengirim Sunan Bonang ke Negeri Pasai, Aceh masa kini. Di sana Sunan
Bonang menuntut ilmu pada Syekh Awwalul Islam, ayah kandung Raden Paku alias Sunan Giri.
Bersama Raden Paku, ia juga belajar pada sejumlah ulama besar yang banyak menetap dan
mengajar di Pasai, seperti ulama ahli tasawuf dari Baghdad, Mesir, dan Iran.
Pulang dari menuntut ilmu, Sunan Bonang diminta Sunan Ampel berdakwah di Tuban, Pati, Pulau
Madura, dan Pulau Bawean di utara Pulau Jawa. Seperti halnya Raden Paku alias Sunan Giri, yang
mendirikan pesantren di Gresik, Sunan Bonang juga mendirikan pesantren di Tuban.
Dalam berdakwah, Sunan Bonang kerap menggunakan kesenian rakyat untuk menarik simpati
masyarakat, antara lain dengan seperangkat gamelan Bonang. Bila dipukul dengan kayu lunak,
bonang itu melantunkan bunyi yang merdu. Bila Sunan Bonang sendiri yang menabuhnya, gaung
sang bonang sangat menyentuh hati para pendengarnya.
Masyarakat yang mendengarnya berbondong-bondong datang ke masjid. Sunan Bonang lalu
menerjemahkan makna tembangnya. Karena kekuatan suaranya itu pula, Sunan Bonang juga
mendapat julukan lain: Sang Mahamuni. Tembang itu berisi ajaran Islam, sehingga tanpa sengaja
mereka telah diberi penghayatan baru.
Pada masa itu, daerah Bonang masih berada di bawah kekuasaan Kerajaan Majapahit, yang
mayoritas –dan ”resmi”– beragama Hindu. Kebetulan, para penganut Hindu ketika itu sangat
akrab dengan musik gamelan. Pengaruh gendingnya cukup melegenda. Bahkan gamelan itu telah
menjadi bagian dari cerita kesaktian Sunan Bonang.
Misalnya dikisahkan, ia pernah menaklukkan Kebondanu, seorang pemimpin perampok, dan anak
buahnya, hanya menggunakan tembang dan gending Dharma dan Mocopat. Begitu gending
ditabuh, Kebondanu dan anak buahnya tidak mampu menggerakkan tubuhnya. ”Ampun…
hentikan bunyi gamelan itu. Kami tak kuat,” begitu konon kata Kebondanu.
Setelah diminta bertobat, Kebondanu dan gerombolannya pun menjadi pengikut Sunan Bonang.
Tapi, kesaktian Sunan Bonang tak hanya terletak pada gamelan dan gaungnya. Cerita lain
mengisahkan seorang brahmana, yang berlayar dari India ke Tuban. Tujuannya: ingin mengadu
kesaktian dengan Sunan Bonang.
Namun, sebelum mendarat di Tuban, kapalnya dihajar ombak. Akibatnya, kitab-kitab
kesaktiannya hanyut terbawa air. Beruntung, sang brahmana berhasil mencapai pantai. Di tepian
laut itu ia berjumpa dengan seorang pria berjubah putih. Kepada pria itu ia menyatakan ingin
berjumpa dengan Sunan Bonang untuk uji kesaktian.
Tapi, demikian katanya, ia tak lagi mampu melakukannya, karena semua kitabnya sudah raib di
telan ombak. Pria berjubah itu mencabut tongkatnya yang tertancap di pasir pantai. Air muncrat
dari lobang bekas tongkat itu… bersama semua kitab sang brahmana. Setelah pria tadi menyebut
namanya, yang tiada lain daripada Sunan Bonang, Brahmana itu berlutut.
Pada masa hidupnya, Sunan Bonang termasuk penyokong kerajaan Islam Demak, dan ikut
membantu mendirikan Masjid Agung Demak. Oleh masyarakat Demak ketika itu, ia dikenal
sebagai pemimpin bala tentara Demak. Dialah yang memutuskan pengangkatan Sunan Ngudung
sebagai panglima tentara Islam Demak.
Ketika Sunan Ngudung gugur, Sunan Bonang pula yang mengangkat Sunan Kudus sebagai
panglima perang. Nasihat yang berharga diberikan pula pada Sunan Kudus tentang strategi perang
menghadapi Majapahit. Selain itu, Sunan Bonang dipandang adil dalam membuat keputusan yang
memuaskan banyak orang, melalui sidang-sidang ”pengadilan” yang dipimpinnya.
Misalnya dalam kisah pengadilan atas diri Syekh Siti Jenar, alias Syekh Lemah Abang. Lokasi
”pengadilan” itu sendiri punya dua versi. Satu versi mengatakan, sidang itu dilakukan di Masjid
Agung Kasepuhan, Cirebon. Tapi, versi lain menyebutkan, sidang itu diselenggarakan di Masjid
Agung Demak. Sunan Bonang juga berperan dalam pengangkatan Raden Patah.
Dalam menyiarkan ajaran Islam, Sunan Bonang mengandalkan sejumlah kitab, antara lain Ihya
Ulumuddin dari al-Ghazali, dan Al-Anthaki dari Dawud al-Anthaki. Juga tulisan Abu Yzid Al-
Busthami dan Syekh Abdul Qadir Jaelani. Ajaran Sunang Bonang, menurut disertasi JGH Gunning
dan disertasi BJO Schrieke, memuat tiga tiang agama: tasawuf, ussuludin, dan fikih.
Ajaran tasawuf, misalnya, menurut versi Sunan Bonang menjadi penting karena menunjukkan
bagaimana orang Islam menjalani kehidupan dengan kesungguhan dan kecintaannya kepada Allah.
Para penganut Islam harus menjalankan, misalnya, salat, berpuasa, dan membayar zakat. Selain
itu, manusia harus menjauhi tiga musuh utama: dunia, hawa nafsu, dan setan.
Untuk menghindari ketiga ”musuh” itu, manusia dianjurkan jangan banyak bicara, bersikap
rendah hati, tidak mudah putus asa, dan bersyukur atas nikmat Allah. Sebaliknya, orang harus
menjauhi sikap dengki, sombong, serakah, serta gila pangkat dan kehormatan. Menurut Gunning
sang bonang sangat menyentuh hati para pendengarnya.
Masyarakat yang mendengarnya berbondong-bondong datang ke masjid. Sunan Bonang lalu
menerjemahkan makna tembangnya. Karena kekuatan suaranya itu pula, Sunan Bonang juga
mendapat julukan lain: Sang Mahamuni. Tembang itu berisi ajaran Islam, sehingga tanpa sengaja
mereka telah diberi penghayatan baru.
Pada masa itu, daerah Bonang masih berada di bawah kekuasaan Kerajaan Majapahit, yang
mayoritas –dan ”resmi”– beragama Hindu. Kebetulan, para penganut Hindu ketika itu sangat
akrab dengan musik gamelan. Pengaruh gendingnya cukup melegenda. Bahkan gamelan itu telah
menjadi bagian dari cerita kesaktian Sunan Bonang.
Misalnya dikisahkan, ia pernah menaklukkan Kebondanu, seorang pemimpin perampok, dan anak
buahnya, hanya menggunakan tembang dan gending Dharma dan Mocopat. Begitu gending
ditabuh, Kebondanu dan anak buahnya tidak mampu menggerakkan tubuhnya. ”Ampun…
hentikan bunyi gamelan itu. Kami tak kuat,” begitu konon kata Kebondanu.
Setelah diminta bertobat, Kebondanu dan gerombolannya pun menjadi pengikut Sunan Bonang.
Tapi, kesaktian Sunan Bonang tak hanya terletak pada gamelan dan gaungnya. Cerita lain
mengisahkan seorang brahmana, yang berlayar dari India ke Tuban. Tujuannya: ingin mengadu
kesaktian dengan Sunan Bonang.
Namun, sebelum mendarat di Tuban, kapalnya dihajar ombak. Akibatnya, kitab-kitab
kesaktiannya hanyut terbawa air. Beruntung, sang brahmana berhasil mencapai pantai. Di tepian
laut itu ia berjumpa dengan seorang pria berjubah putih. Kepada pria itu ia menyatakan ingin
berjumpa dengan Sunan Bonang untuk uji kesaktian.
Tapi, demikian katanya, ia tak lagi mampu melakukannya, karena semua kitabnya sudah raib di
telan ombak. Pria berjubah itu mencabut tongkatnya yang tertancap di pasir pantai. Air muncrat
dari lobang bekas tongkat itu… bersama semua kitab sang brahmana. Setelah pria tadi menyebut
namanya, yang tiada lain daripada Sunan Bonang, Brahmana itu berlutut.
Pada masa hidupnya, Sunan Bonang termasuk penyokong kerajaan Islam Demak, dan ikut
membantu mendirikan Masjid Agung Demak. Oleh masyarakat Demak ketika itu, ia dikenal
sebagai pemimpin bala tentara Demak. Dialah yang memutuskan pengangkatan Sunan Ngudung
sebagai panglima tentara Islam Demak.
Ketika Sunan Ngudung gugur, Sunan Bonang pula yang mengangkat Sunan Kudus sebagai
panglima perang. Nasihat yang berharga diberikan pula pada Sunan Kudus tentang strategi perang
menghadapi Majapahit. Selain itu, Sunan Bonang dipandang adil dalam membuat keputusan yang
memuaskan banyak orang, melalui sidang-sidang ”pengadilan” yang dipimpinnya.
Misalnya dalam kisah pengadilan atas diri Syekh Siti Jenar, alias Syekh Lemah Abang. Lokasi
”pengadilan” itu sendiri punya dua versi. Satu versi mengatakan, sidang itu dilakukan di Masjid
Agung Kasepuhan, Cirebon. Tapi, versi lain menyebutkan, sidang itu diselenggarakan di Masjid
Agung Demak. Sunan Bonang juga berperan dalam pengangkatan Raden Patah.
Dalam menyiarkan ajaran Islam, Sunan Bonang mengandalkan sejumlah kitab, antara lain Ihya
Ulumuddin dari al-Ghazali, dan Al-Anthaki dari Dawud al-Anthaki. Juga tulisan Abu Yzid Al-
Busthami dan Syekh Abdul Qadir Jaelani. Ajaran Sunang Bonang, menurut disertasi JGH Gunning
dan disertasi BJO Schrieke, memuat tiga tiang agama: tasawuf, ussuludin, dan fikih.
Ajaran tasawuf, misalnya, menurut versi Sunan Bonang menjadi penting karena menunjukkan
bagaimana orang Islam menjalani kehidupan dengan kesungguhan dan kecintaannya kepada Allah.
Para penganut Islam harus menjalankan, misalnya, salat, berpuasa, dan membayar zakat. Selain
itu, manusia harus menjauhi tiga musuh utama: dunia, hawa nafsu, dan setan.
Untuk menghindari ketiga ”musuh” itu, manusia dianjurkan jangan banyak bicara, bersikap
rendah hati, tidak mudah putus asa, dan bersyukur atas nikmat Allah. Sebaliknya, orang harus
menjauhi sikap dengki, sombong, serakah, serta gila pangkat dan kehormatan. Menurut Gunning
dan Schrieke, naskah ajaran Sunan Bonang merupakan naskah Wali Songo yang relatif lebih
lengkap.
Ajaran wali yang lain tak ditemukan naskahnya, dan kalaupun ada, tak begitu lengkap. Di situ
disebutkan pula bahwa ajaran Sunan Bonang berasal dari ajaran Syekh Jumadil Kubro, ayahanda
Maulana Malik Ibrahim, yang menurunkan ajaran kepada Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan
Drajat, Sunan Kalijaga, dan Sunan Muria.
Sunan Bonang wafat di Pulau Bawean, pada 1525. Saat akan dimakamkan, ada perebutan antara
warga Bawean dan warga Bonang, Tuban. Warga Bawean ingin Sunan Bonang dimakamkan di
pulau mereka, karena sang Sunan sempat berdakwah di pulau utara Jawa itu. Tetapi, warga Tuban
tidak mau terima. Pada malam setelah kematiannya, sejumlah murid dari Bonang mengendap ke
Bawean, ”mencuri” jenazah sang Sunan.
Esoknya, dilakukanlah pemakaman. Anehnya, jenazah Sunan Bonang tetap ada, baik di Bonang
maupun di Bawean! Karena itu, sampai sekarang, makam Sunan Bonang ada di dua tempat. Satu
di Pulau Bawean, dan satunya lagi di sebelah barat Masjid Agung Tuban, Desa Kutareja, Tuban.
Kini kuburan itu dikitari tembok dengan tiga lapis halaman. Setiap halaman dibatasi tembok
berpintu gerbang.
lengkap.
Ajaran wali yang lain tak ditemukan naskahnya, dan kalaupun ada, tak begitu lengkap. Di situ
disebutkan pula bahwa ajaran Sunan Bonang berasal dari ajaran Syekh Jumadil Kubro, ayahanda
Maulana Malik Ibrahim, yang menurunkan ajaran kepada Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan
Drajat, Sunan Kalijaga, dan Sunan Muria.
Sunan Bonang wafat di Pulau Bawean, pada 1525. Saat akan dimakamkan, ada perebutan antara
warga Bawean dan warga Bonang, Tuban. Warga Bawean ingin Sunan Bonang dimakamkan di
pulau mereka, karena sang Sunan sempat berdakwah di pulau utara Jawa itu. Tetapi, warga Tuban
tidak mau terima. Pada malam setelah kematiannya, sejumlah murid dari Bonang mengendap ke
Bawean, ”mencuri” jenazah sang Sunan.
Esoknya, dilakukanlah pemakaman. Anehnya, jenazah Sunan Bonang tetap ada, baik di Bonang
maupun di Bawean! Karena itu, sampai sekarang, makam Sunan Bonang ada di dua tempat. Satu
di Pulau Bawean, dan satunya lagi di sebelah barat Masjid Agung Tuban, Desa Kutareja, Tuban.
Kini kuburan itu dikitari tembok dengan tiga lapis halaman. Setiap halaman dibatasi tembok
berpintu gerbang.
SUNAN KUDUS
MESKI namanya Sunan Kudus, ia bukanlah asli Kudus. Dia datang dari Jipang Panolan (ada yang
mengatakan disebelah utara Blora), berjarak 25 kilometer ke arah barat kota Kudus, Jawa Tengah.
Di sanalah ia dilahirkan, dan diberi nama Ja’far Shodiq. Ia adalah anak dari hasil perkawinan
Sunan Undung atau Sunan Ngudung (Raden Usman Haji) dengan Syarifah, cucu Sunan Ampel.
Semasa jayanya, Sultan Undung terkenal sebagai panglima perang yang tangguh.
Sampai suatu waktu, Sunan Undung tewas dalam peperangan antara Demak dan Majapahit.
Setelah itu, Ja’far Shodiq menggantikan posisi ayahnya. Tugas utamanya ialah menaklukkan
wilayah Kerajaan Majapahit untuk memperluas kekuasaan Demak. Kenyataannya, Ja’far Shodiq
terbukti hebat di medan perang, tak kalah dengan kepiawaian ayahnya.
Ja’far Shodiq berhasil mengembangkan wilayah Kerajaan Demak, ke timur mencapai Madura, dan
ke arah barat hingga Cirebon. Sukses ini kemudian memunculkan berbagai cerita kesaktian Ja’far
Shodiq. Misalnya, sebelum perang, Ja’far Shodiq diberi badong –semacam rompi– oleh Sunan
Gunung Jati. Badong itu dibawa berkeliling arena perang.
Dari badong sakti itu kemudian keluarlah jutaan tikus, yang juga ternyata sakti. Kalau dipukul,
tikus itu bukannya mati, malah makin mengamuk sejadi-jadinya. Pasukan Majapahit ketakutan
lari tunggang langgang. Dia juga punya sebuah peti, yang bisa mengeluarkan jutaan tawon. Banyak
prajurit Majapahit yang tewas disengat tawon.
Yang pasti, pemimpin pasukan Majapahit, Adipati Terung, menyerah kepada pasukan Ja’far
Shodiq. Usai perang, Ja’far Shodiq menikahi putri Adipati Terung, yang kemudian menghasilkan
delapan anak. Selama hidupnya, Ja’far Shodiq sendiri juga punya istri lain, antara lain putri Sunan Bonang, yang menghasilkan satu anak.
Sukses mengalahkan Majapahit membuat posisi Ja’far Shodiq makin kokoh. Dia mendapat tugas
lanjutan untuk mengalahkan Adipati Handayaningrat, yang berniat makar terhadap Kerajaan
Demak. Adipati Handayaningrat merupakan gelar yang disandang Kebo Kenanga, penguasa
daerah Pengging –wilayah Boyolali– dan sekitarnya.
Kebo Kenanga berniat mendirikan negara sendiri bersama Ki Ageng Tingkir. Pasangan ini
merupakan pengikut Syekh Siti Jenar, seorang guru yang mengajarkan hidup model sufi. Kebo
Kenanga dan Tingkir digambarkan sebagai saudara seperjuangan, yang saling menyayangi
bagaikan saudara kandung.
Tanda-tanda pembangkangan Kebo Kenanga makin kentara ketika ia menolak menghadap Raja
Demak, Adipati Bintara, atau yang lebih dikenal dengan sebutan Raden Patah. Surat panggilan
yang dibuat Raden Patah ditelantarkan hingga tiga tahun oleh Kebo Kenanga. Maka, Raden Patah
memutuskan untuk mematahkan pembangkangan Kebo Kenanga itu.
Raden Patah memerintahkan Ja’far Shodiq ”meredam” Kebo Kenanga. Dalam sebuah pertarungan,
Kebo Kenanga tewas. Namun, kehebatan Ja’far Shodiq sebagai panglima perang lama-kelamaan
surut. Bahkan, menjelang kepindahannya ke Kudus, Ja’far Shodiq tidak lagi menjadi panglima
perang, melainkan menjadi penghulu masjid di Demak.
Terdapat beberapa versi tentang kepergian Ja’far Shodiq dari Demak. Ada kemungkinan, Ja’far
Shodiq berselisih paham dengan Raja Demak. Kemungkinan lain, Ja’far Shodiq berselisih paham
dengan Sunan Kalijaga. Dalam Serat Kandha disebutkan, Ja’far Shodiq memiliki murid, Pangeran
Prawata. Belakangan, Pangeran Prawata justru mengakui Sunan Kalijaga sebagai guru baru.
Bagi Ja’far Shodiq, Pangeran Prawata durhaka karena mengakui dua guru sekaligus. Ketika
Pangeran Prawata menjadi Raja Demak, Ja’far Shodiq berniat membunuhnya, melalui tangan Arya
Penangsang, yang tiada lain dari pada adik kandung Prawata. Agaknya, Arya Penangsang tidak
tega, maka dia pun menyuruh orang lain lagi, yang bernama Rangkud.
Pangeran Prawata akhirnya tewas bersama istrinya, setelah ditikam Rangkud. Jenazah Prawata
bersandar ke badan istrinya, karena keduanya tertembus pedang. Rangkud juga mati. Sebab, tanpa
diduga, sebelum mengembuskan napas penghabisan, Prawata sempat melempar keris Kiai Bethok
ke tubuh Rangkud.
Versi lain menyebutkan, Ja’far Shodiq meninggalkan Demak karena alasan pribadi semata. Ia
ingin hidup merdeka dan membaktikan seluruh hidupnya untuk kepentingan agama Islam. Belum
jelas kapan persisnya Ja’far Shodiq tiba di Kudus. H.J. De Graaf dan T.H. Pigeaud dalam bukunya,
Kerajaan Islam Pertama di Jawa, mencoba mengumpulkan beberapa catatan tentang aktivitas
Ja’far Shodiq di sana.
Kedua peneliti itu menyatakan, ketika Ja’far Shodiq menginjakkan kaki di Kudus, kota itu masih
bernama Tajug. Menurut penuturan warga setempat, yang mula-mula mengembangkan kota Tajug
adalah Kiai Telingsing. Ada yang menyebut, Telingsing merupakan panggilan sederhana kepada
The Ling Sing, orang Cina beragama Islam.
Cerita ini menunjukkan bahwa kota itu sudah berkembang sebelum kedatangan Ja’far Shodiq.
Beberapa cerita tutur mempercayai bahwa Ja’far Shodiq merupakan penghulu Demak yang
menyingkir dari kerajaan. Di Tajug, Ja’far Shodiq mula-mula hidup di tengah-tengah jamaah
dalam kelompok kecil. Ada yang menafsirkan, jamaah Ja’far Shodiq itu merupakan para santri
yang dibawanya dari Demak.
Mereka sekaligus para tentara yang ikut bersama-sama Ja’far Shodiq memerangi Majapahit. Versi
lain menyebutkan, para pengikutnya itu merupakan warga setempat yang dipekerjakan Ja’far
Shodiq untuk menggarap tanah ladang. Ini bisa ditafsirkan bahwa Ja’far Shodiq mula-mula hidup
dari penghasilan menggarap lahan pertanian.
Setelah jamaahnya makin banyak, Ja’far Shodiq kemudian membangun masjid sebagai tempat
ibadah dan pusat penyebaran agama. Tempat ibadah yang diyakini dibangun oleh Ja’far Shodiq
adalah Masjid Menara Kudus, yang kini masih berdiri. Nama Ja’far Shodiq tercatat dalam inskripsi
masjid tersebut.
Menurut catatan di situ, masjid ini didirikan pada 956 Hijriah, sama dengan 1549 Masehi. Dalam
inskripsi terdapat kalimat berbahasa Arab yang artinya, ”… Telah mendirikan masjid Aqsa ini di
negeri Quds…” Sangat jelas bahwa Ja’far Shodiq menamakan masjid itu dengan sebutan Aqsa,
setara dengan Masjidil Aqsa di Yerusalem.
Kota Tajug juga mendapat nama baru, yakni Quds, yang kemudian berubah menjadi Kudus. Pada
akhirnya, Ja’far Shodiq sendiri lebih terkenal dengan sebutan Sunan Kudus. Dalam menyebarkan
agamanya, Sunan Kudus mengikuti gaya Sunan Kalijaga, yakni menggunakan model ”tutwuri
handayani”. Artinya, Sunan Kudus tidak melakukan perlawanan frontal, melainkan mengarahkan
masyarakat sedikit demi sedikit.
Ketika itu, masyarakat Kudus masih didominasi penganut Hindu. Maka, Sunan Kudus pun
berusaha memadukan kebiasaan mereka ke dalam syariat Islam secara halus. Misalnya, Sunan
Kudus justru menyembelih kerbau, bukan sapi, pada saat hari raya Idul Qurban. Itu merupakan
bagian dari penghormatan Sunan Kudus kepada para pengikut Hindu.
Cara yang simpatik itu membuat para penganut agama lain bersedia mendengarkan ceramah
agama Islam dari Sunan Kudus. Surat Al-Baqarah, yang dalam bahasa Arab artinya sapi, sering
dibacakan Sunan Kudus untuk lebih memikat pendengar. Pembangunan Masjid Kudus sendiri
tidak meninggalkan unsur arsitektur Hindu. Bentuk menaranya tetap menyisakan arsitektur gaya
Hindu.
Diantara bekas peninggalan beliau adalah Masjid Raya di-Kudus, yang kemudian dikenal dengan
sebutan Masjid Menara Kudus. Oleh karena di halaman masjid tersebut terdapat sebuah menara
kuno yang indah. Mengenai asal-usulnya nama Kudus menurut dongeng (legenda) yang hidup
dikalangan masyarakat setempat ialah, bahwa dahulu Sunan Kudus pernah pergi naik haji sambil
menuntut ilmu di tanah Arab, kemudian beliau juga mengajar di sana. Pada suatu masa, di tanah
arab konon berjangkit suatu wabah penyakit yang membahayakan, penyakit itu menjadi reda
berkat jasa Sunan Kudus. Oleh karena itu, seorang amir disana berkenan untuk memberikan suatu
hadiah kepada beliau. Akan tetapi beliau menolak, hanya kenang-kenangan sebuah batu yang
beliau minta. Batu tersebut katanya berasal dari kota Baitul Makdis, atau Jeruzalem, maka sebagai
peringatan kepada kota dimana Ja’far Sodiq hidup serta bertempat tinggal, kemudian diberikan
nama Kudus.
Bahkan menara yang terdapat di depan masjid itupun juga menjadi terkenal dengan sebutan
Menara Kudus. Mengenai nama Kudus atau Al Kudus ini di dalam buku Encyclopedia Islam antara
lain disebutkan : “Al kuds the usual arabic nama for Jeruzalem in later times, the olders writers
call it commonly bait al makdis ( according to some : mukaddas ), with really meant the temple
(of solomon), a translation of the hebrew bethamikdath, but it because applied to the whole
town.”
Kebiasaan unik lain Sunan Kudus dalam berdakwah adalah acara bedug dandang, berupa
kegiatan menunggu datangnya bulan Ramadhan. Untuk mengundang para jamaah ke masjid,
Sunan Kudus menabuh beduk bertalu-talu. Setelah jamaah berkumpul di masjid, Sunan Kudus
mengumumkan kapan persisnya hari pertama puasa.
Sekarang ini, acara dandangan masih berlangsung, tapi sudah jauh dari aslinya. Menjelang
Ramadhan, banyak orang datang ke areal masjid. Tetapi, mereka bukan hendak mendengarkan
pengumuman awal puasa, hanya untuk membeli berbagai juadah yang dijajakan para pedagang
musiman.
mengatakan disebelah utara Blora), berjarak 25 kilometer ke arah barat kota Kudus, Jawa Tengah.
Di sanalah ia dilahirkan, dan diberi nama Ja’far Shodiq. Ia adalah anak dari hasil perkawinan
Sunan Undung atau Sunan Ngudung (Raden Usman Haji) dengan Syarifah, cucu Sunan Ampel.
Semasa jayanya, Sultan Undung terkenal sebagai panglima perang yang tangguh.
Sampai suatu waktu, Sunan Undung tewas dalam peperangan antara Demak dan Majapahit.
Setelah itu, Ja’far Shodiq menggantikan posisi ayahnya. Tugas utamanya ialah menaklukkan
wilayah Kerajaan Majapahit untuk memperluas kekuasaan Demak. Kenyataannya, Ja’far Shodiq
terbukti hebat di medan perang, tak kalah dengan kepiawaian ayahnya.
Ja’far Shodiq berhasil mengembangkan wilayah Kerajaan Demak, ke timur mencapai Madura, dan
ke arah barat hingga Cirebon. Sukses ini kemudian memunculkan berbagai cerita kesaktian Ja’far
Shodiq. Misalnya, sebelum perang, Ja’far Shodiq diberi badong –semacam rompi– oleh Sunan
Gunung Jati. Badong itu dibawa berkeliling arena perang.
Dari badong sakti itu kemudian keluarlah jutaan tikus, yang juga ternyata sakti. Kalau dipukul,
tikus itu bukannya mati, malah makin mengamuk sejadi-jadinya. Pasukan Majapahit ketakutan
lari tunggang langgang. Dia juga punya sebuah peti, yang bisa mengeluarkan jutaan tawon. Banyak
prajurit Majapahit yang tewas disengat tawon.
Yang pasti, pemimpin pasukan Majapahit, Adipati Terung, menyerah kepada pasukan Ja’far
Shodiq. Usai perang, Ja’far Shodiq menikahi putri Adipati Terung, yang kemudian menghasilkan
delapan anak. Selama hidupnya, Ja’far Shodiq sendiri juga punya istri lain, antara lain putri Sunan Bonang, yang menghasilkan satu anak.
Sukses mengalahkan Majapahit membuat posisi Ja’far Shodiq makin kokoh. Dia mendapat tugas
lanjutan untuk mengalahkan Adipati Handayaningrat, yang berniat makar terhadap Kerajaan
Demak. Adipati Handayaningrat merupakan gelar yang disandang Kebo Kenanga, penguasa
daerah Pengging –wilayah Boyolali– dan sekitarnya.
Kebo Kenanga berniat mendirikan negara sendiri bersama Ki Ageng Tingkir. Pasangan ini
merupakan pengikut Syekh Siti Jenar, seorang guru yang mengajarkan hidup model sufi. Kebo
Kenanga dan Tingkir digambarkan sebagai saudara seperjuangan, yang saling menyayangi
bagaikan saudara kandung.
Tanda-tanda pembangkangan Kebo Kenanga makin kentara ketika ia menolak menghadap Raja
Demak, Adipati Bintara, atau yang lebih dikenal dengan sebutan Raden Patah. Surat panggilan
yang dibuat Raden Patah ditelantarkan hingga tiga tahun oleh Kebo Kenanga. Maka, Raden Patah
memutuskan untuk mematahkan pembangkangan Kebo Kenanga itu.
Raden Patah memerintahkan Ja’far Shodiq ”meredam” Kebo Kenanga. Dalam sebuah pertarungan,
Kebo Kenanga tewas. Namun, kehebatan Ja’far Shodiq sebagai panglima perang lama-kelamaan
surut. Bahkan, menjelang kepindahannya ke Kudus, Ja’far Shodiq tidak lagi menjadi panglima
perang, melainkan menjadi penghulu masjid di Demak.
Terdapat beberapa versi tentang kepergian Ja’far Shodiq dari Demak. Ada kemungkinan, Ja’far
Shodiq berselisih paham dengan Raja Demak. Kemungkinan lain, Ja’far Shodiq berselisih paham
dengan Sunan Kalijaga. Dalam Serat Kandha disebutkan, Ja’far Shodiq memiliki murid, Pangeran
Prawata. Belakangan, Pangeran Prawata justru mengakui Sunan Kalijaga sebagai guru baru.
Bagi Ja’far Shodiq, Pangeran Prawata durhaka karena mengakui dua guru sekaligus. Ketika
Pangeran Prawata menjadi Raja Demak, Ja’far Shodiq berniat membunuhnya, melalui tangan Arya
Penangsang, yang tiada lain dari pada adik kandung Prawata. Agaknya, Arya Penangsang tidak
tega, maka dia pun menyuruh orang lain lagi, yang bernama Rangkud.
Pangeran Prawata akhirnya tewas bersama istrinya, setelah ditikam Rangkud. Jenazah Prawata
bersandar ke badan istrinya, karena keduanya tertembus pedang. Rangkud juga mati. Sebab, tanpa
diduga, sebelum mengembuskan napas penghabisan, Prawata sempat melempar keris Kiai Bethok
ke tubuh Rangkud.
Versi lain menyebutkan, Ja’far Shodiq meninggalkan Demak karena alasan pribadi semata. Ia
ingin hidup merdeka dan membaktikan seluruh hidupnya untuk kepentingan agama Islam. Belum
jelas kapan persisnya Ja’far Shodiq tiba di Kudus. H.J. De Graaf dan T.H. Pigeaud dalam bukunya,
Kerajaan Islam Pertama di Jawa, mencoba mengumpulkan beberapa catatan tentang aktivitas
Ja’far Shodiq di sana.
Kedua peneliti itu menyatakan, ketika Ja’far Shodiq menginjakkan kaki di Kudus, kota itu masih
bernama Tajug. Menurut penuturan warga setempat, yang mula-mula mengembangkan kota Tajug
adalah Kiai Telingsing. Ada yang menyebut, Telingsing merupakan panggilan sederhana kepada
The Ling Sing, orang Cina beragama Islam.
Cerita ini menunjukkan bahwa kota itu sudah berkembang sebelum kedatangan Ja’far Shodiq.
Beberapa cerita tutur mempercayai bahwa Ja’far Shodiq merupakan penghulu Demak yang
menyingkir dari kerajaan. Di Tajug, Ja’far Shodiq mula-mula hidup di tengah-tengah jamaah
dalam kelompok kecil. Ada yang menafsirkan, jamaah Ja’far Shodiq itu merupakan para santri
yang dibawanya dari Demak.
Mereka sekaligus para tentara yang ikut bersama-sama Ja’far Shodiq memerangi Majapahit. Versi
lain menyebutkan, para pengikutnya itu merupakan warga setempat yang dipekerjakan Ja’far
Shodiq untuk menggarap tanah ladang. Ini bisa ditafsirkan bahwa Ja’far Shodiq mula-mula hidup
dari penghasilan menggarap lahan pertanian.
Setelah jamaahnya makin banyak, Ja’far Shodiq kemudian membangun masjid sebagai tempat
ibadah dan pusat penyebaran agama. Tempat ibadah yang diyakini dibangun oleh Ja’far Shodiq
adalah Masjid Menara Kudus, yang kini masih berdiri. Nama Ja’far Shodiq tercatat dalam inskripsi
masjid tersebut.
Menurut catatan di situ, masjid ini didirikan pada 956 Hijriah, sama dengan 1549 Masehi. Dalam
inskripsi terdapat kalimat berbahasa Arab yang artinya, ”… Telah mendirikan masjid Aqsa ini di
negeri Quds…” Sangat jelas bahwa Ja’far Shodiq menamakan masjid itu dengan sebutan Aqsa,
setara dengan Masjidil Aqsa di Yerusalem.
Kota Tajug juga mendapat nama baru, yakni Quds, yang kemudian berubah menjadi Kudus. Pada
akhirnya, Ja’far Shodiq sendiri lebih terkenal dengan sebutan Sunan Kudus. Dalam menyebarkan
agamanya, Sunan Kudus mengikuti gaya Sunan Kalijaga, yakni menggunakan model ”tutwuri
handayani”. Artinya, Sunan Kudus tidak melakukan perlawanan frontal, melainkan mengarahkan
masyarakat sedikit demi sedikit.
Ketika itu, masyarakat Kudus masih didominasi penganut Hindu. Maka, Sunan Kudus pun
berusaha memadukan kebiasaan mereka ke dalam syariat Islam secara halus. Misalnya, Sunan
Kudus justru menyembelih kerbau, bukan sapi, pada saat hari raya Idul Qurban. Itu merupakan
bagian dari penghormatan Sunan Kudus kepada para pengikut Hindu.
Cara yang simpatik itu membuat para penganut agama lain bersedia mendengarkan ceramah
agama Islam dari Sunan Kudus. Surat Al-Baqarah, yang dalam bahasa Arab artinya sapi, sering
dibacakan Sunan Kudus untuk lebih memikat pendengar. Pembangunan Masjid Kudus sendiri
tidak meninggalkan unsur arsitektur Hindu. Bentuk menaranya tetap menyisakan arsitektur gaya
Hindu.
Diantara bekas peninggalan beliau adalah Masjid Raya di-Kudus, yang kemudian dikenal dengan
sebutan Masjid Menara Kudus. Oleh karena di halaman masjid tersebut terdapat sebuah menara
kuno yang indah. Mengenai asal-usulnya nama Kudus menurut dongeng (legenda) yang hidup
dikalangan masyarakat setempat ialah, bahwa dahulu Sunan Kudus pernah pergi naik haji sambil
menuntut ilmu di tanah Arab, kemudian beliau juga mengajar di sana. Pada suatu masa, di tanah
arab konon berjangkit suatu wabah penyakit yang membahayakan, penyakit itu menjadi reda
berkat jasa Sunan Kudus. Oleh karena itu, seorang amir disana berkenan untuk memberikan suatu
hadiah kepada beliau. Akan tetapi beliau menolak, hanya kenang-kenangan sebuah batu yang
beliau minta. Batu tersebut katanya berasal dari kota Baitul Makdis, atau Jeruzalem, maka sebagai
peringatan kepada kota dimana Ja’far Sodiq hidup serta bertempat tinggal, kemudian diberikan
nama Kudus.
Bahkan menara yang terdapat di depan masjid itupun juga menjadi terkenal dengan sebutan
Menara Kudus. Mengenai nama Kudus atau Al Kudus ini di dalam buku Encyclopedia Islam antara
lain disebutkan : “Al kuds the usual arabic nama for Jeruzalem in later times, the olders writers
call it commonly bait al makdis ( according to some : mukaddas ), with really meant the temple
(of solomon), a translation of the hebrew bethamikdath, but it because applied to the whole
town.”
Kebiasaan unik lain Sunan Kudus dalam berdakwah adalah acara bedug dandang, berupa
kegiatan menunggu datangnya bulan Ramadhan. Untuk mengundang para jamaah ke masjid,
Sunan Kudus menabuh beduk bertalu-talu. Setelah jamaah berkumpul di masjid, Sunan Kudus
mengumumkan kapan persisnya hari pertama puasa.
Sekarang ini, acara dandangan masih berlangsung, tapi sudah jauh dari aslinya. Menjelang
Ramadhan, banyak orang datang ke areal masjid. Tetapi, mereka bukan hendak mendengarkan
pengumuman awal puasa, hanya untuk membeli berbagai juadah yang dijajakan para pedagang
musiman.
Legenda Kota Kudus
Nama Sunan Kudus di kalangan masyarakat setempat, dimitoskan sebagai seorang tokoh
yang terkenal dengan seribu satu tentang kesaktianya, Sunan Kudus dikatanya sebagai wali yang
sakti, yang dapat diperbuat sesuatu di luar kesanggupan otak dan tenaga manusia biasa.
Nama Sunan Kudus di kalangan masyarakat setempat, dimitoskan sebagai seorang tokoh
yang terkenal dengan seribu satu tentang kesaktianya, Sunan Kudus dikatanya sebagai wali yang
sakti, yang dapat diperbuat sesuatu di luar kesanggupan otak dan tenaga manusia biasa.
Dalam dongeng yang masih hidup di kalangan masyarakat, antara lain dikatakan, bahwa
pada zaman dahulu pernah Sunan Kudus pergi haji serta bermukim disana. Kemudian beliau
menderita penyakit kudis ( bhs. Jawa : gudigen ), sehingga oleh kawan - kawan beliau, Sunan
Kudus dihina. Entah kenapa timbullah malapetaka yang menimpa negeri Arab dengan
berjangkitnya wabah penyakit. Segala daya upaya telah dilakukan untuk mengatasi bahaya
tersebut, namun kiranya usaha itu sia - sia belaka. Akhirnya di mintalah bantuan beliau untuk
memberikan jasa - jasa baiknya. Bahaya itupun karena kesaktian beliau menjadi reda kembali.
Atas jasa beliau, Amir dari negeri Arab itupun berkenan memberi hadiah kepada beliau sebagai
pembalasan jasa. Akan tetapi Sunan Kudus menolak pemberian hadiah berupa apapun juga. Dan
beliau hanya meminta sebuah batu sebagai kenang - kenangan yang akan dipakai sebagai
peringatan bagi pendirian masjid di Kudus.
Jauh sebelum masjid kuno itu didirikan beliau konon kabarnya masjid yang terletak di desa
Nganguk di Kudus itu adalah masjid Sunan Kudus yang pertama kali. Dalam dongeng di ceritakan,
bahwa jauh sebelum Sunan Kudus memegang tampuk pimpinan di Kudus, telah ada seorang tokoh
terkemuka disana ialah Kyai Telingsing. karena beliau sudah lanjut usia maka ia ingin mencari
penggantinya. Pada suatu hari Kyai Telingsing berdiri sambil menengok ke kanan dan ke kiri
seperti ada yang dicarinya (bhs. Jawa : ingak - inguk), tiba - tiba Sunan Kudus pun muncul dari
arah selatan, dan masjidpun segera dibinanya di dalam waktu yang amat singkat, malahan ada
yang mengatakan bahwa masjid itu tiba - tiba muncul denga sendirinya (bhs. Jawa : Majid tiban),
berhubungan dengan itu desa tersebut kemudian di beri nama : Nganguk, sedangkan masjidnya
dinamakan Masjid Nganguk Wali.
Lebih jauh dalam dongeng itupun disebutkan, bahwa baik Menara Kudus maupun lawang
kembar, masing - masing di bawa oleh beliau dengan di bungkus sapu tangandari tanah Arab,
sedangkan lawang kembar, katanya di pindahkan beliau dari Majapahit.
Legenda daerah Jember
Sekali peristiwa, datang seorang tamu bernama Ki Ageng Kedu yang hendak menghadap
Sunan Kudus. tamu tersebut mengendarai sebuah tampah. sesampainya di Kudus Ki Ageng Kedu
tidak lah langsung menghadap Sunan Kudus, melainkan memamerkan kesaktianya dengan
mengendarai tampah serta berputar - putar diangkasa. Seketika dilihatnya oleh Sunan Kudus,
maka beliau murka sambil mengatakan, bahwa tamu Ki Ageng Kedu ini menyombongkan
kesaktianya. Sesudah di sabda oleh beliau, berkat kesaktian Sunan Kudus, tampah yang
ditumpangi Ki Ageng Kedu itupun meluncur ke bawah hingga jatuh ke tanah yang becek (bhs.
Jawa : ngecember), sehingga tempat tersebut kemudian dinamakan Jember
Selain itu di dalam dongeng di sebutkan bahwa pada suatu hari Sunan Kudus memakan ikan
lele, kemudian setelah tinggal tulang dan kepalanya, dibuanglah oleh Sunan Kudus ke dalam
sebuah sumur, maka ikan yang tinggal tulang dan kepala itupun hidup kembali.
Di dalam “Babad Tanah Jawi” serta kepustakaan Jawa lainya dikatakan, bahwa nama kecil
Sunan Kudus ialah Raden Undung, beliau pernah memimpin tentara Demak melawan Majapahit.
Selanjutnya juga di sebutkan bahwa Sunan Kudus lah yang membunuh Syekh Siti Jenar dan Kebo
Kenanga, karena keduanya mengajarkan ilmu yang di pandang sangat membahayakan masyarakat
yang baru saja memeluk agama Islam.
SUNAN GUNUNG JATI
pada zaman dahulu pernah Sunan Kudus pergi haji serta bermukim disana. Kemudian beliau
menderita penyakit kudis ( bhs. Jawa : gudigen ), sehingga oleh kawan - kawan beliau, Sunan
Kudus dihina. Entah kenapa timbullah malapetaka yang menimpa negeri Arab dengan
berjangkitnya wabah penyakit. Segala daya upaya telah dilakukan untuk mengatasi bahaya
tersebut, namun kiranya usaha itu sia - sia belaka. Akhirnya di mintalah bantuan beliau untuk
memberikan jasa - jasa baiknya. Bahaya itupun karena kesaktian beliau menjadi reda kembali.
Atas jasa beliau, Amir dari negeri Arab itupun berkenan memberi hadiah kepada beliau sebagai
pembalasan jasa. Akan tetapi Sunan Kudus menolak pemberian hadiah berupa apapun juga. Dan
beliau hanya meminta sebuah batu sebagai kenang - kenangan yang akan dipakai sebagai
peringatan bagi pendirian masjid di Kudus.
Jauh sebelum masjid kuno itu didirikan beliau konon kabarnya masjid yang terletak di desa
Nganguk di Kudus itu adalah masjid Sunan Kudus yang pertama kali. Dalam dongeng di ceritakan,
bahwa jauh sebelum Sunan Kudus memegang tampuk pimpinan di Kudus, telah ada seorang tokoh
terkemuka disana ialah Kyai Telingsing. karena beliau sudah lanjut usia maka ia ingin mencari
penggantinya. Pada suatu hari Kyai Telingsing berdiri sambil menengok ke kanan dan ke kiri
seperti ada yang dicarinya (bhs. Jawa : ingak - inguk), tiba - tiba Sunan Kudus pun muncul dari
arah selatan, dan masjidpun segera dibinanya di dalam waktu yang amat singkat, malahan ada
yang mengatakan bahwa masjid itu tiba - tiba muncul denga sendirinya (bhs. Jawa : Majid tiban),
berhubungan dengan itu desa tersebut kemudian di beri nama : Nganguk, sedangkan masjidnya
dinamakan Masjid Nganguk Wali.
Lebih jauh dalam dongeng itupun disebutkan, bahwa baik Menara Kudus maupun lawang
kembar, masing - masing di bawa oleh beliau dengan di bungkus sapu tangandari tanah Arab,
sedangkan lawang kembar, katanya di pindahkan beliau dari Majapahit.
Legenda daerah Jember
Sekali peristiwa, datang seorang tamu bernama Ki Ageng Kedu yang hendak menghadap
Sunan Kudus. tamu tersebut mengendarai sebuah tampah. sesampainya di Kudus Ki Ageng Kedu
tidak lah langsung menghadap Sunan Kudus, melainkan memamerkan kesaktianya dengan
mengendarai tampah serta berputar - putar diangkasa. Seketika dilihatnya oleh Sunan Kudus,
maka beliau murka sambil mengatakan, bahwa tamu Ki Ageng Kedu ini menyombongkan
kesaktianya. Sesudah di sabda oleh beliau, berkat kesaktian Sunan Kudus, tampah yang
ditumpangi Ki Ageng Kedu itupun meluncur ke bawah hingga jatuh ke tanah yang becek (bhs.
Jawa : ngecember), sehingga tempat tersebut kemudian dinamakan Jember
Selain itu di dalam dongeng di sebutkan bahwa pada suatu hari Sunan Kudus memakan ikan
lele, kemudian setelah tinggal tulang dan kepalanya, dibuanglah oleh Sunan Kudus ke dalam
sebuah sumur, maka ikan yang tinggal tulang dan kepala itupun hidup kembali.
Di dalam “Babad Tanah Jawi” serta kepustakaan Jawa lainya dikatakan, bahwa nama kecil
Sunan Kudus ialah Raden Undung, beliau pernah memimpin tentara Demak melawan Majapahit.
Selanjutnya juga di sebutkan bahwa Sunan Kudus lah yang membunuh Syekh Siti Jenar dan Kebo
Kenanga, karena keduanya mengajarkan ilmu yang di pandang sangat membahayakan masyarakat
yang baru saja memeluk agama Islam.
SUNAN GUNUNG JATI
DI KOMPLEKS pemakaman Gunung Sembung, sering terlihat penziarah –perorangan atau
rombongan– dari kalangan etnis Cina. Sama dengan para saudaranya dari kalangan Islam, umat
Buddha dan Konghucu itu bertujuan menyekar pemakaman yang terletak di Desa Astana, sekitar
tiga kilometer di barat kota Cirebon, Jawa Barat, itu.
Untuk mereka disediakan ”kavling” khusus di sisi barat serambi depan kompleks pemakaman.
Tentu bukan karena diskriminasi. ”Kami tak membeda-bedakan penziarah,” kata Yusuf Amir,
salah seorang juru kunci kompleks pemakaman. ”Penziarah muslim ataupun nonmuslim
semuanya bisa berdoa di sini,” Yusuf, 36 tahun, menambahkan.
Pemisahan tempat semata-mata karena ritual yang berbeda. Di sayap barat itu terdapat makam
Ong Tien, salah seorang istri Syarif Hidayatullah, yang lebih dikenal dengan nama Sunan Gunung
Jati. Dia adalah putri Kaisar Hong Gie dari Dinasti Ming. Banyak versi tentang perjodohan mereka.
Yang paling spekatakuler tentulah versi ”nujum bertuah” Sunan Gunun Jati.
Syahdan, dalam persinggahannya di Cina, Syarif Hidayatullah menyebarkan Islam sambil
berpraktek sebagai tabib. Setiap yang datang berobat diajarinya berwudu dan diajak salat. Manjur,
si sakit sembuh. Dalam waktu singkat, nama Syarif Hidayatullah semerbak di kota raja. Kaisar pun
kemudian tertarik menjajal kesaktian ‘’sinse” dari Tanah Pasundan itu.
Syarif Hidayatullah dipanggil ke istana. Sementara itu, Kaisar menyuruh putrinya yang masih
gadis, Lie Ong Tien, mengganjal perutnya dengan baskom, sehingga tampak seperti hamil,
kemudian duduk berdampingan dengan saudarinya yang memang sedang hamil tiga bulan. Syarif
Hidayatullah disuruh menebak: mana yang bener-benar hamil.
Syarif Hidayatullah menunjuk Ong Tien. Kaisar dan para ”abdi dalem” ketawa terkekeh. Tapi,
sejurus kemudian, istana geger. Ong Tien ternyata benar-benar hamil, sedangkan kandungan
saudarinya justru lenyap. Kaisar meminta maaf kepada Syarif Hidayatullah, dan memohon agar
Ong Tien dinikahi.
Sejarahwan Prof. Dr. Hoesein Djajadiningrat menyangsikan cerita ini. Dalam disertasinya di
Universitas Leiden, Belanda, 1913, yang berjudul Critische Beschouwing van de Sadjarah Banten,
Hoesein terang-terangan menyebutkan bahwa lawatan Syarif Hidayatullah ke negeri Cina hanya
legenda.
Tentu tak semua sepakat dengan Hoesein. Meski tak menyebut-nyebut soal ”nujum” itu, dalam
buku Sejarah Cirebon, 1990, Pangeran Soelaeman Sulendraningrat menyebutkan Syarif
Hidayatullah memang pergi ke Cina. Ia sempat menetap di salah satu tempat di Yunan. Ia juga
pernah diundang Kaisar Hong Gie.
Kebetulan, sekretaris kerajaan pada masa itu, Ma Huan dan Feishin, sudah memeluk Islam. Dalam
pertemuan itulah Syarif Hidayatullah dan Ong Tien saling tertarik. Kaisar tak setuju. Syarif
Hidayatullah lalu dipersonanongratakan. Tapi, kecintaan Ong Tien kepada Syarif Hidayatullah
sudah sangat mendalam.
Dia mendesak terus ayahnya agar diizinkan menyusul kekasihnya ke Cirebon. Setelah mendapat
izin, Ong Tien bertolak ke Cirebon dengan menggunakan kapal layar kerajaan Cina. Dia dikawal
Panglima Lie Guan Cang, dengan nakhoda Lie Guan Hien. Putri membawa barang-barang
berharga dari Istana Kerajaan Cina, terutama berbagai barang keramik.
Barang-barang kuno ini kini masih terlihat di sekitar Keraton Kasepuhan atau Kanoman, bahkan
di kompleks pemakaman Gunung Sembung. Dari Ong Tien, Syarif Hidayatullah tak beroleh anak.
Putri Cina itu keburu meninggal setelah empat tahun berumah tangga. Besar kemungkinan,
sumber yang dirujuk P.S. Sulendraningrat adalah Carita Purwaka Caruban Nagari.
Naskah yang ditemukan pada l972 ini ditulis oleh Pangeran Arya Cirebon pada 1720. Banyak
sejarahwan menilai, kisah Syarif Hidayatullah yang ditulis dalam kitab tersebut lebih rasional
dibandingkan dengan legenda yang berkembang di masyarakat. Belakangan diketahui, Pangeran
Arya mendasarkan penulisannya pada Pustaka Negara Kertabumi.
Naskah yang termaktub dalam kumpulan Pustaka Wangsa Kerta itu ditulis pada 1677-1698.
Naskah ini dianggap paling dekat dengan masa hidup Syarif Hidayatullah, alias Sunan Gunung
Jati. Dia lahir pada 1448, wafat pada 1568, dan dimakamkan di Pasir Jati, bagian tertinggi ”Wukir
Saptarengga”, kompleks makam Gunung Sembung.
Carita sering dirujuk para sejarahwan kiwari untuk menjungkirbalikkan penelitian Hoesein
Djajadiningrat, yang menyimpulkan bahwa Sunan Gunung Jati dan Faletehan sebagai orang yang
sama. Berdasarkan naskah tersebut, Sunan Gunung Jati bukan Falatehan, atawa Fatahillah. Tokoh
yang lahir di Pasai, pada 1490, ini justru menantu Sunan Gunung Jati.
Tapi, apa boleh buat, pemikiran Hoesein ini berpengaruh besar dalam penulisan sejarah Indonesia.
Buku-buku sejarah Indonesia, sejak zaman kolonial sampai Orde Baru, sering menyebut Fatahillah
sebagai Sunan Gunung Jati. Padahal, di Gunung Sembung, Astana, masing-masing tokoh itu
punya makam sendiri.
”Tak satu pun naskah asli Cirebon yang menyebutkan Sunan Gunung Jati sama dengan
Fatahillah,” kata Dadan Wildan, seperti tertulis dalam disertasinya, Cerita Sunan Gunung Jati:
Keterjalinan Antara Fiksi dan Fakta - Suatu Kajian Pertalian Antarnaskah Isi, dan Analisa
Sejarah dalam Naskah-Naskah Tradisi Cirebon.
Dadan berhasil meraih gelar doktor ilmu sejarah dari Universitas Padjadjaran, Bandung,
September lalu. Naskah yang ditelitinya, selain Carita Purwaka Caruban Nagari, adalah Caruban
Kanda (1844), Babad Cerbon (1877), Wawacan Sunan Gunung Jati, Sajarah Cirebon, dan Babad
Tanah Sunda –yang ditulis pertengahan abad ke-20.
Di naskah-naskah itulah bertebaran mitos kesaktian Sunan Gunung Jati, dari cincin Nabi
Sulaiman sampai jubah Nabi Muhammad SAW. Tapi, mengenai asal usul Syarif Hidayatullah,
semuanya sepakat ia berdarah biru, baik dari garis ayah maupun garis ibu. Ayahnya Sultan Mesir,
Syarif Abdullah. Ibunya adalah Nyai Lara Santang.
Setelah menikah, putri raja Siliwangi dan adik Pangeran Walangsungsang itu memakai nama
Syarifah Mudaim. Lara Santang dan Walangsungsang memperdalam agama Islam di Cirebon,
berguru pada Syekh Idlofi Mahdi yang asal Baghdad. Syekh Idlofi terkenal juga dengan sebutan
Syekh Djatul Kahfi atau Syekh Nurul Jati. Setelah khatam, keduanya disuruh ke Mekkah
menunaikan ibadah haji.
Di situlah, seperti dikisahkan dalam Carita Purwakan Caruban Nagari, mereka bertemu dengan
Patih Kerajaan Mesir, Jamalullail. Patih ini ditugasi Sultan Mesir, Syarif Abdullah, mencari calon
istri yang wajahnya mirip dengan permaisurinya yang baru meninggal. Lara Santang kebetulan
mirip, lalu diboyong ke Mesir.
Walasungsang pulang ke Jawa, kemudian jadi penguasa Nagari Caruban Larang –cikal bakal
kerajaan Cirebon. Sejak itu dia lebih dikenal dengan sebutan Pangeran Cakrabuana. Dari
perkawinan Syarif Abdullah-Syarifah Mudaim lahir Syarif Hidayatullah, pada 1448. Dalam usia 20 tahun, Syarif Hidayatullah pergi ke Mekah untuk memperdalam pengetahuan agama.
Selama empat tahun ia berguru kepada Syekh Tajuddin Al-Kubri dan Syekh Ata’ullahi Sadzili.
Kemudian ia ke Baghdad untuk belajar tasauf, lalu kembali ke negerinya. Di Mesir, oleh pamannya,
Raja Onkah, Syarif Hidayatullah hendak diserahi kekuasaan. Namun Syarif menolak, dan
menyerahkan kekuasaan itu kepada adiknya, Syarif Nurullah.
Syarif Hidayatullah bersama ibunya pulang ke Cirebon, dan pada l475 tiba di Nagari Caruban
Larang yang diperintah pamannya, Pangeran Cakrabuana. Empat tahun kemudian Pangeran
Cakrabuana mengalihkan kekuasannnya kepada Syarif Hidayatullah, setelah sebelumnya
menikahkan Syarif Hidayatullah dengan putrinya, Ratu Pakungwati.
Untuk keperluan dakwah, Syarif Hidayatullah pada tahun itu juga menikahi Ratu Kawunganten.
Dari pernikahan ini, dia dikarunia dua putra, Ratu Winahon dan Pangeran Sabangkingking.
Pangeran Sabangkingking kemudian dikenal sebagai Sultan Hasanudin, dan diangkat jadi Sultan
Banten. Ratu Winahon, yang lebih dikenal dengan sebutan Ratu Ayu, dinikahkah dengan
Fachrulllah Khan, alias Faletehan.
rombongan– dari kalangan etnis Cina. Sama dengan para saudaranya dari kalangan Islam, umat
Buddha dan Konghucu itu bertujuan menyekar pemakaman yang terletak di Desa Astana, sekitar
tiga kilometer di barat kota Cirebon, Jawa Barat, itu.
Untuk mereka disediakan ”kavling” khusus di sisi barat serambi depan kompleks pemakaman.
Tentu bukan karena diskriminasi. ”Kami tak membeda-bedakan penziarah,” kata Yusuf Amir,
salah seorang juru kunci kompleks pemakaman. ”Penziarah muslim ataupun nonmuslim
semuanya bisa berdoa di sini,” Yusuf, 36 tahun, menambahkan.
Pemisahan tempat semata-mata karena ritual yang berbeda. Di sayap barat itu terdapat makam
Ong Tien, salah seorang istri Syarif Hidayatullah, yang lebih dikenal dengan nama Sunan Gunung
Jati. Dia adalah putri Kaisar Hong Gie dari Dinasti Ming. Banyak versi tentang perjodohan mereka.
Yang paling spekatakuler tentulah versi ”nujum bertuah” Sunan Gunun Jati.
Syahdan, dalam persinggahannya di Cina, Syarif Hidayatullah menyebarkan Islam sambil
berpraktek sebagai tabib. Setiap yang datang berobat diajarinya berwudu dan diajak salat. Manjur,
si sakit sembuh. Dalam waktu singkat, nama Syarif Hidayatullah semerbak di kota raja. Kaisar pun
kemudian tertarik menjajal kesaktian ‘’sinse” dari Tanah Pasundan itu.
Syarif Hidayatullah dipanggil ke istana. Sementara itu, Kaisar menyuruh putrinya yang masih
gadis, Lie Ong Tien, mengganjal perutnya dengan baskom, sehingga tampak seperti hamil,
kemudian duduk berdampingan dengan saudarinya yang memang sedang hamil tiga bulan. Syarif
Hidayatullah disuruh menebak: mana yang bener-benar hamil.
Syarif Hidayatullah menunjuk Ong Tien. Kaisar dan para ”abdi dalem” ketawa terkekeh. Tapi,
sejurus kemudian, istana geger. Ong Tien ternyata benar-benar hamil, sedangkan kandungan
saudarinya justru lenyap. Kaisar meminta maaf kepada Syarif Hidayatullah, dan memohon agar
Ong Tien dinikahi.
Sejarahwan Prof. Dr. Hoesein Djajadiningrat menyangsikan cerita ini. Dalam disertasinya di
Universitas Leiden, Belanda, 1913, yang berjudul Critische Beschouwing van de Sadjarah Banten,
Hoesein terang-terangan menyebutkan bahwa lawatan Syarif Hidayatullah ke negeri Cina hanya
legenda.
Tentu tak semua sepakat dengan Hoesein. Meski tak menyebut-nyebut soal ”nujum” itu, dalam
buku Sejarah Cirebon, 1990, Pangeran Soelaeman Sulendraningrat menyebutkan Syarif
Hidayatullah memang pergi ke Cina. Ia sempat menetap di salah satu tempat di Yunan. Ia juga
pernah diundang Kaisar Hong Gie.
Kebetulan, sekretaris kerajaan pada masa itu, Ma Huan dan Feishin, sudah memeluk Islam. Dalam
pertemuan itulah Syarif Hidayatullah dan Ong Tien saling tertarik. Kaisar tak setuju. Syarif
Hidayatullah lalu dipersonanongratakan. Tapi, kecintaan Ong Tien kepada Syarif Hidayatullah
sudah sangat mendalam.
Dia mendesak terus ayahnya agar diizinkan menyusul kekasihnya ke Cirebon. Setelah mendapat
izin, Ong Tien bertolak ke Cirebon dengan menggunakan kapal layar kerajaan Cina. Dia dikawal
Panglima Lie Guan Cang, dengan nakhoda Lie Guan Hien. Putri membawa barang-barang
berharga dari Istana Kerajaan Cina, terutama berbagai barang keramik.
Barang-barang kuno ini kini masih terlihat di sekitar Keraton Kasepuhan atau Kanoman, bahkan
di kompleks pemakaman Gunung Sembung. Dari Ong Tien, Syarif Hidayatullah tak beroleh anak.
Putri Cina itu keburu meninggal setelah empat tahun berumah tangga. Besar kemungkinan,
sumber yang dirujuk P.S. Sulendraningrat adalah Carita Purwaka Caruban Nagari.
Naskah yang ditemukan pada l972 ini ditulis oleh Pangeran Arya Cirebon pada 1720. Banyak
sejarahwan menilai, kisah Syarif Hidayatullah yang ditulis dalam kitab tersebut lebih rasional
dibandingkan dengan legenda yang berkembang di masyarakat. Belakangan diketahui, Pangeran
Arya mendasarkan penulisannya pada Pustaka Negara Kertabumi.
Naskah yang termaktub dalam kumpulan Pustaka Wangsa Kerta itu ditulis pada 1677-1698.
Naskah ini dianggap paling dekat dengan masa hidup Syarif Hidayatullah, alias Sunan Gunung
Jati. Dia lahir pada 1448, wafat pada 1568, dan dimakamkan di Pasir Jati, bagian tertinggi ”Wukir
Saptarengga”, kompleks makam Gunung Sembung.
Carita sering dirujuk para sejarahwan kiwari untuk menjungkirbalikkan penelitian Hoesein
Djajadiningrat, yang menyimpulkan bahwa Sunan Gunung Jati dan Faletehan sebagai orang yang
sama. Berdasarkan naskah tersebut, Sunan Gunung Jati bukan Falatehan, atawa Fatahillah. Tokoh
yang lahir di Pasai, pada 1490, ini justru menantu Sunan Gunung Jati.
Tapi, apa boleh buat, pemikiran Hoesein ini berpengaruh besar dalam penulisan sejarah Indonesia.
Buku-buku sejarah Indonesia, sejak zaman kolonial sampai Orde Baru, sering menyebut Fatahillah
sebagai Sunan Gunung Jati. Padahal, di Gunung Sembung, Astana, masing-masing tokoh itu
punya makam sendiri.
”Tak satu pun naskah asli Cirebon yang menyebutkan Sunan Gunung Jati sama dengan
Fatahillah,” kata Dadan Wildan, seperti tertulis dalam disertasinya, Cerita Sunan Gunung Jati:
Keterjalinan Antara Fiksi dan Fakta - Suatu Kajian Pertalian Antarnaskah Isi, dan Analisa
Sejarah dalam Naskah-Naskah Tradisi Cirebon.
Dadan berhasil meraih gelar doktor ilmu sejarah dari Universitas Padjadjaran, Bandung,
September lalu. Naskah yang ditelitinya, selain Carita Purwaka Caruban Nagari, adalah Caruban
Kanda (1844), Babad Cerbon (1877), Wawacan Sunan Gunung Jati, Sajarah Cirebon, dan Babad
Tanah Sunda –yang ditulis pertengahan abad ke-20.
Di naskah-naskah itulah bertebaran mitos kesaktian Sunan Gunung Jati, dari cincin Nabi
Sulaiman sampai jubah Nabi Muhammad SAW. Tapi, mengenai asal usul Syarif Hidayatullah,
semuanya sepakat ia berdarah biru, baik dari garis ayah maupun garis ibu. Ayahnya Sultan Mesir,
Syarif Abdullah. Ibunya adalah Nyai Lara Santang.
Setelah menikah, putri raja Siliwangi dan adik Pangeran Walangsungsang itu memakai nama
Syarifah Mudaim. Lara Santang dan Walangsungsang memperdalam agama Islam di Cirebon,
berguru pada Syekh Idlofi Mahdi yang asal Baghdad. Syekh Idlofi terkenal juga dengan sebutan
Syekh Djatul Kahfi atau Syekh Nurul Jati. Setelah khatam, keduanya disuruh ke Mekkah
menunaikan ibadah haji.
Di situlah, seperti dikisahkan dalam Carita Purwakan Caruban Nagari, mereka bertemu dengan
Patih Kerajaan Mesir, Jamalullail. Patih ini ditugasi Sultan Mesir, Syarif Abdullah, mencari calon
istri yang wajahnya mirip dengan permaisurinya yang baru meninggal. Lara Santang kebetulan
mirip, lalu diboyong ke Mesir.
Walasungsang pulang ke Jawa, kemudian jadi penguasa Nagari Caruban Larang –cikal bakal
kerajaan Cirebon. Sejak itu dia lebih dikenal dengan sebutan Pangeran Cakrabuana. Dari
perkawinan Syarif Abdullah-Syarifah Mudaim lahir Syarif Hidayatullah, pada 1448. Dalam usia 20 tahun, Syarif Hidayatullah pergi ke Mekah untuk memperdalam pengetahuan agama.
Selama empat tahun ia berguru kepada Syekh Tajuddin Al-Kubri dan Syekh Ata’ullahi Sadzili.
Kemudian ia ke Baghdad untuk belajar tasauf, lalu kembali ke negerinya. Di Mesir, oleh pamannya,
Raja Onkah, Syarif Hidayatullah hendak diserahi kekuasaan. Namun Syarif menolak, dan
menyerahkan kekuasaan itu kepada adiknya, Syarif Nurullah.
Syarif Hidayatullah bersama ibunya pulang ke Cirebon, dan pada l475 tiba di Nagari Caruban
Larang yang diperintah pamannya, Pangeran Cakrabuana. Empat tahun kemudian Pangeran
Cakrabuana mengalihkan kekuasannnya kepada Syarif Hidayatullah, setelah sebelumnya
menikahkan Syarif Hidayatullah dengan putrinya, Ratu Pakungwati.
Untuk keperluan dakwah, Syarif Hidayatullah pada tahun itu juga menikahi Ratu Kawunganten.
Dari pernikahan ini, dia dikarunia dua putra, Ratu Winahon dan Pangeran Sabangkingking.
Pangeran Sabangkingking kemudian dikenal sebagai Sultan Hasanudin, dan diangkat jadi Sultan
Banten. Ratu Winahon, yang lebih dikenal dengan sebutan Ratu Ayu, dinikahkah dengan
Fachrulllah Khan, alias Faletehan.
SUNAN KALIJAGA
HUTAN Jatiwangi, pada suatu masa. Di rindang lebat pepohonan
jati di kawasan Lasem, Rembang, Jawa Tengah, itu dua lelaki
berbeda umur tegak berhadapan. Yang satu pemuda berpakaian
serba hitam. Di depannya seorang pria lebih tua, dibalut busana
serba putih. Sebatang tongkat menyangga tubuhnya.
Pemuda berbaju hitam itu bernama Lokajaya, berandal yang gemar
membegal pejalan yang melewati hutan Jatiwangi. Ia silau oleh
kemilau kuning keemasan gagang tongkat yang dibawa pria berjubah putih. Siapa pun orang
berjubah putih itu, layaklah ia menjadi mangsa Lokajaya. Dan ketika tongkat itu direbut, orang tua
tadi sama sekali tak berlawan.
Ia tersungkur di tanah, kehilangan keseimbangan. Tongkat berkepala emas itu berpindah tangan.
Bangkit dari jatuhnya, orang tua itu memberi nasihat, dengan tutur kata lembut. Nasihat inilah
yang mengubah jalan hidup Lokajaya. Ia menjadi murid orang tua itu –yang tiada lain daripada
Sunan Bonang. Lokajaya sendiri kemudian dikenal sebagai Sunan Kalijaga.
Begitulah legenda Sunan Kalijaga mengalir, dalam berbagai versi. Jalan hidup sunan yang satu ini
tercantum dalam berbagai naskah kuno, babad, serat, hikayat, atau hanya cerita tutur turuntemurun.
Mudah dipahami kalau muatannya berbeda-beda. Begitu pula halnya dengan asal-usul
Sunan Kalijaga.
Menurut Babad Tanah Jawi, Sunan Kalijaga adalah putra Wilwatikta, Adipati Tuban. Nama aslinya
Raden Said, atau Raden Sahid. Menurut babad dan serat, Sunan Kalijaga juga disebut Syekh
Malaya, Raden Abdurrahman, dan Pangeran Tuban. Gelar ”Kalijaga” sendiri punya banyak tafsir.
Ada yang menyatakan, asalnya dari kata jaga (menjaga) dan kali (sungai). Versi ini didasarkan
pada penantian Lokajaya akan kedatangan Sunan Bonang selama tiga tahun, di tepi sungai. Ada
juga yang menulis, kata itu berasal dari nama sebuah desa di Cirebon, tempat Sunan Kalijaga
pernah berdakwah.
Kelahiran Sunan Kalijaga pun menyimpan misteri. Ia diperkirakan lahir pada 1430-an, dihitung
dari tahun pernikahan Kalijaga dengan putri Sunan Ampel. Ketika itu Sunan Kalijaga diperkirakan
berusia 20-an tahun. Sunan Ampel, yang diyakini lahir pada 1401, ketika menikahkan putrinya
dengan Sunan Kalijaga, berusia 50-an tahun.
Sunan Kalijaga dilukiskan hidup dalam empat era pemerintahan. Yakni masa Majapahit (sebelum
1478), Kesultanan Demak (1481-1546), Kesultanan Pajang (1546-1568), dan awal pemerintahan
Mataram (1580-an). Begitulah yang dinukilkan Babad Tanah Jawi, yang memerikan kedatangan
Sunan Kalijaga ke kediaman Panembahan Senopati di Mataram.
Tak lama setelah itu, Sunan Kalijaga wafat. Jika kisah itu benar, Sunan Kalijaga hidup selama
sekitar 150-an tahun! Tapi, lepas dari berbagai versi itu, kisah Sunan Kalijaga memang tak pernah
padam di kalangan masyarakat pesisir utara Jawa Tengah, hingga Cirebon. Terutama caranya
berdakwah, yang dianggap berbeda dengan metode para wali yang lain.
Ia memadukan dakwah dengan seni budaya yang mengakar di masyarakat. Misalnya lewat wayang,
gamelan, tembang, ukir, dan batik, yang sangat populer pada masa itu. Babad dan serat mencatat
Sunan Kalijaga sebagai penggubah beberapa tembang, di antaranya Dandanggula Semarangan –
paduan melodi Arab dan Jawa.
Tembang lainnya adalah Ilir-Ilir, meski ada yang menyebutnya karya Sunan Bonang. Lariknya
punya tafsir yang sarat dengan dakwah. Misalnya tak ijo royo-royo dak sengguh penganten anyar.
Ungkapan ijo royo-royo bermakna hijau, lambang Islam. Sedangkan Islam, sebagai agama baru,
diamsalkan penganten anyar, alias pengantin baru.
Peninggalan Sunan Kalijaga lainnya adalah gamelan, yang diberi nama Kanjeng Kyai Nagawilaga
dan Kanjeng Kyai Guntur Madu. Gamelan itu kini disimpan di Keraton Yogyakarta dan Keraton
Surakarta, seiring dengan berpindahnya kekuasan Islam ke Mataram. Pasangan gamelan itu kini
dikenal sebagai gamelan Sekaten.
Karya Sunan Kalijaga yang juga menonjol adalah wayang kulit. Ahli sejarah mencatat, wayang
yang digemari masyarakat sebelum kehadiran Sunan Kalijaga adalah wayang beber. Wayang jenis
ini sebatas kertas yang bergambar kisah pewayangan. Sunan Kalijaga diyakini sebagai penggubah
wayang kulit.
Tiap tokoh wayang dibuat gambarnya dan disungging di atas kulit lembu. Bentuknya berkembang
dan disempurnakan pada era kejayaan Kerajaan Demak, 1480-an. Cerita dari mulut ke mulut
menyebut, Kalijaga juga piawai mendalang. Di wilayah Pajajaran, Sunan Kalijaga lebih dikenal
sebagai Ki Dalang Sida Brangti.
Bila sedang mendalang di kawasan Tegal, Sunan Kalijaga bersalin nama menjadi Ki Dalang
Bengkok. Ketika mendalang itulah Sunan Kalijaga menyisipkan dakwahnya. Lakon yang
dimainkan tak lagi bersumber dari kisah Ramayana dan Mahabarata. Sunan Kalijaga mengangkat
kisah-kisah carangan.
Beberapa di antara yang terkenal adalah lakon Dewa Ruci, Jimat Kalimasada, dan Petruk Dadi
Ratu. Dewa Ruci ditafsirkan sebagai kisah Nabi Khidir. Sedangkan Jimat Kalimasada tak lain
perlambang dari kalimat syahadat. Bahkan kebiasan kenduri pun jadi sarana syiarnya.
Sunan Kalijaga mengganti puja-puji dalam sesaji itu dengan doa dan bacaan dari kitab suci Al-
Quran. Di awal syiarnya, Kalijaga selalu berkeliling ke pelosok desa. Menurut catatan Prof. Husein
Jayadiningrat, Kalijaga berdakwah hingga ke Palembang, Sumatera Selatan, setelah dibaiat
sebagai murid Sunan Bonang.
Di Palembang, ia sempat berguru pada Syekh Sutabaris. Cuma, keberadaan Sunan Kalijaga di
”bumi Sriwijaya” itu tidak meninggalkan catatan tertulis. Hanya disebut dalam Babad Cerbon,
Sunan Kalijaga tiba di kawasan Cirebon setelah berdakwah dari Palembang. Konon, Kalijaga ingin
menyusul Sunan Bonang, yang pergi ke Mekkah.
Tapi, oleh Syekh Maulana Magribi, Kalijaga diperintahkan balik ke Jawa. Babad Cerbon menulis,
Sunan Kalijaga menetap beberapa tahun di Cirebon, persisnya di Desa Kalijaga, sekitar 2,5
kilometer arah selatan kota. Pada awal kedatangannya, Kalijaga menyamar dan bekerja sebagai
pembersih masjid Keraton Kasepuhan.
Di sinilah Sunan Kalijaga bertemu dengan Sunan Gunung Jati. Kisah pertemuannya rada-rada
aneh. Sunan Gunung Jati sengaja menguji Kalijaga dengan sebongkah emas. Emas itu ditaruh di
padasan, tempat orang mengambil wudu. Kalijaga sendiri tak kaget mengingat ajaran Sunan
Ampel, ”ojo gumunan lan kagetan” (jangan mudah heran dan terkejut).
Ia ”menyulap” emas menjadi batu bata, dan menjadikannya tempat menaruh bakiak bagi orang
yang berwudu. Giliran Sunan Gunung Jati yang takjub. Ia pun ”menganugerahkan” adiknya, Siti
Zaenah, untuk diperistri Sunan Kalijaga. Hanya beberapa tahun Sunan Kalijaga dikisahkan
menetap di Cirebon.
Dakwahnya berlanjut ke arah timur, lewat pesisir utara sampai ke Kadilangu, Demak. Di sinilah
diyakini Sunan Kalijaga menetap lama hingga akhir hayatnya. Kadilangu merupakan tempat
Sunan Kalijaga membina kehidupan rumah tangga. Istri yang disebut-sebut hanyalah Dewi Sarah,
putri Maulana Ishak.
Pernikahan dengan Dewi Sarah itu membuahkan tiga anak, satu di antaranya Raden Umar Said,
yang kelak bergelar Sunan Muria. Sunan Muria dan Sunan Kudus tergolong satu aliran dalam
berdakwah dengan Sunan Kalijaga. Metode dakwah aliran Kalijaga itu amat keras ditentang Sunan
Ampel, mertuanya, dan Sunan Drajat, kakak iparnya.
Hingga kini para pengikut ajaran Sunan Kalijaga, Sunan Muria, dan Sunan Kudus dikenal dengan
sebutan kelompok ”Islam abangan”. Julukan ini hingga kini melekat pada masyarakat di
sepanjang pesisir utara, dari Demak, Semarang, Tegal, hingga Cirebon. Selain dakwah dengan
kontak budaya, kisah spektakuler lainnya adalah pendirian Masjid Agung Demak.
Babad Demak menyebutkan, masjid itu berdiri pada 1477, berdasarkan candrasengkala ”Lawang
Trus Gunaning Janma” –bermakna angka 1399 tahun Saka. Kisah pendirian Masjid Agung Demak
sendiri banyak bercampur dengan dongeng. Masih belum jelas, benarkah kesembilan wali berada
di tempat ini dalam satu waktu.
Untuk keperluan dakwah, Syarif Hidayatullah pada tahun itu juga menikahi Ratu Kawunganten.
Dari pernikahan ini, dia dikarunia dua putra, Ratu Winahon dan Pangeran Sabangkingking.
Pangeran Sabangkingking kemudian dikenal sebagai Sultan Hasanudin, dan diangkat jadi Sultan
Banten. Ratu Winahon, yang lebih dikenal dengan sebutan Ratu Ayu, dinikahkah dengan
Fachrulllah Khan, alias Faletehan.
jati di kawasan Lasem, Rembang, Jawa Tengah, itu dua lelaki
berbeda umur tegak berhadapan. Yang satu pemuda berpakaian
serba hitam. Di depannya seorang pria lebih tua, dibalut busana
serba putih. Sebatang tongkat menyangga tubuhnya.
Pemuda berbaju hitam itu bernama Lokajaya, berandal yang gemar
membegal pejalan yang melewati hutan Jatiwangi. Ia silau oleh
kemilau kuning keemasan gagang tongkat yang dibawa pria berjubah putih. Siapa pun orang
berjubah putih itu, layaklah ia menjadi mangsa Lokajaya. Dan ketika tongkat itu direbut, orang tua
tadi sama sekali tak berlawan.
Ia tersungkur di tanah, kehilangan keseimbangan. Tongkat berkepala emas itu berpindah tangan.
Bangkit dari jatuhnya, orang tua itu memberi nasihat, dengan tutur kata lembut. Nasihat inilah
yang mengubah jalan hidup Lokajaya. Ia menjadi murid orang tua itu –yang tiada lain daripada
Sunan Bonang. Lokajaya sendiri kemudian dikenal sebagai Sunan Kalijaga.
Begitulah legenda Sunan Kalijaga mengalir, dalam berbagai versi. Jalan hidup sunan yang satu ini
tercantum dalam berbagai naskah kuno, babad, serat, hikayat, atau hanya cerita tutur turuntemurun.
Mudah dipahami kalau muatannya berbeda-beda. Begitu pula halnya dengan asal-usul
Sunan Kalijaga.
Menurut Babad Tanah Jawi, Sunan Kalijaga adalah putra Wilwatikta, Adipati Tuban. Nama aslinya
Raden Said, atau Raden Sahid. Menurut babad dan serat, Sunan Kalijaga juga disebut Syekh
Malaya, Raden Abdurrahman, dan Pangeran Tuban. Gelar ”Kalijaga” sendiri punya banyak tafsir.
Ada yang menyatakan, asalnya dari kata jaga (menjaga) dan kali (sungai). Versi ini didasarkan
pada penantian Lokajaya akan kedatangan Sunan Bonang selama tiga tahun, di tepi sungai. Ada
juga yang menulis, kata itu berasal dari nama sebuah desa di Cirebon, tempat Sunan Kalijaga
pernah berdakwah.
Kelahiran Sunan Kalijaga pun menyimpan misteri. Ia diperkirakan lahir pada 1430-an, dihitung
dari tahun pernikahan Kalijaga dengan putri Sunan Ampel. Ketika itu Sunan Kalijaga diperkirakan
berusia 20-an tahun. Sunan Ampel, yang diyakini lahir pada 1401, ketika menikahkan putrinya
dengan Sunan Kalijaga, berusia 50-an tahun.
Sunan Kalijaga dilukiskan hidup dalam empat era pemerintahan. Yakni masa Majapahit (sebelum
1478), Kesultanan Demak (1481-1546), Kesultanan Pajang (1546-1568), dan awal pemerintahan
Mataram (1580-an). Begitulah yang dinukilkan Babad Tanah Jawi, yang memerikan kedatangan
Sunan Kalijaga ke kediaman Panembahan Senopati di Mataram.
Tak lama setelah itu, Sunan Kalijaga wafat. Jika kisah itu benar, Sunan Kalijaga hidup selama
sekitar 150-an tahun! Tapi, lepas dari berbagai versi itu, kisah Sunan Kalijaga memang tak pernah
padam di kalangan masyarakat pesisir utara Jawa Tengah, hingga Cirebon. Terutama caranya
berdakwah, yang dianggap berbeda dengan metode para wali yang lain.
Ia memadukan dakwah dengan seni budaya yang mengakar di masyarakat. Misalnya lewat wayang,
gamelan, tembang, ukir, dan batik, yang sangat populer pada masa itu. Babad dan serat mencatat
Sunan Kalijaga sebagai penggubah beberapa tembang, di antaranya Dandanggula Semarangan –
paduan melodi Arab dan Jawa.
Tembang lainnya adalah Ilir-Ilir, meski ada yang menyebutnya karya Sunan Bonang. Lariknya
punya tafsir yang sarat dengan dakwah. Misalnya tak ijo royo-royo dak sengguh penganten anyar.
Ungkapan ijo royo-royo bermakna hijau, lambang Islam. Sedangkan Islam, sebagai agama baru,
diamsalkan penganten anyar, alias pengantin baru.
Peninggalan Sunan Kalijaga lainnya adalah gamelan, yang diberi nama Kanjeng Kyai Nagawilaga
dan Kanjeng Kyai Guntur Madu. Gamelan itu kini disimpan di Keraton Yogyakarta dan Keraton
Surakarta, seiring dengan berpindahnya kekuasan Islam ke Mataram. Pasangan gamelan itu kini
dikenal sebagai gamelan Sekaten.
Karya Sunan Kalijaga yang juga menonjol adalah wayang kulit. Ahli sejarah mencatat, wayang
yang digemari masyarakat sebelum kehadiran Sunan Kalijaga adalah wayang beber. Wayang jenis
ini sebatas kertas yang bergambar kisah pewayangan. Sunan Kalijaga diyakini sebagai penggubah
wayang kulit.
Tiap tokoh wayang dibuat gambarnya dan disungging di atas kulit lembu. Bentuknya berkembang
dan disempurnakan pada era kejayaan Kerajaan Demak, 1480-an. Cerita dari mulut ke mulut
menyebut, Kalijaga juga piawai mendalang. Di wilayah Pajajaran, Sunan Kalijaga lebih dikenal
sebagai Ki Dalang Sida Brangti.
Bila sedang mendalang di kawasan Tegal, Sunan Kalijaga bersalin nama menjadi Ki Dalang
Bengkok. Ketika mendalang itulah Sunan Kalijaga menyisipkan dakwahnya. Lakon yang
dimainkan tak lagi bersumber dari kisah Ramayana dan Mahabarata. Sunan Kalijaga mengangkat
kisah-kisah carangan.
Beberapa di antara yang terkenal adalah lakon Dewa Ruci, Jimat Kalimasada, dan Petruk Dadi
Ratu. Dewa Ruci ditafsirkan sebagai kisah Nabi Khidir. Sedangkan Jimat Kalimasada tak lain
perlambang dari kalimat syahadat. Bahkan kebiasan kenduri pun jadi sarana syiarnya.
Sunan Kalijaga mengganti puja-puji dalam sesaji itu dengan doa dan bacaan dari kitab suci Al-
Quran. Di awal syiarnya, Kalijaga selalu berkeliling ke pelosok desa. Menurut catatan Prof. Husein
Jayadiningrat, Kalijaga berdakwah hingga ke Palembang, Sumatera Selatan, setelah dibaiat
sebagai murid Sunan Bonang.
Di Palembang, ia sempat berguru pada Syekh Sutabaris. Cuma, keberadaan Sunan Kalijaga di
”bumi Sriwijaya” itu tidak meninggalkan catatan tertulis. Hanya disebut dalam Babad Cerbon,
Sunan Kalijaga tiba di kawasan Cirebon setelah berdakwah dari Palembang. Konon, Kalijaga ingin
menyusul Sunan Bonang, yang pergi ke Mekkah.
Tapi, oleh Syekh Maulana Magribi, Kalijaga diperintahkan balik ke Jawa. Babad Cerbon menulis,
Sunan Kalijaga menetap beberapa tahun di Cirebon, persisnya di Desa Kalijaga, sekitar 2,5
kilometer arah selatan kota. Pada awal kedatangannya, Kalijaga menyamar dan bekerja sebagai
pembersih masjid Keraton Kasepuhan.
Di sinilah Sunan Kalijaga bertemu dengan Sunan Gunung Jati. Kisah pertemuannya rada-rada
aneh. Sunan Gunung Jati sengaja menguji Kalijaga dengan sebongkah emas. Emas itu ditaruh di
padasan, tempat orang mengambil wudu. Kalijaga sendiri tak kaget mengingat ajaran Sunan
Ampel, ”ojo gumunan lan kagetan” (jangan mudah heran dan terkejut).
Ia ”menyulap” emas menjadi batu bata, dan menjadikannya tempat menaruh bakiak bagi orang
yang berwudu. Giliran Sunan Gunung Jati yang takjub. Ia pun ”menganugerahkan” adiknya, Siti
Zaenah, untuk diperistri Sunan Kalijaga. Hanya beberapa tahun Sunan Kalijaga dikisahkan
menetap di Cirebon.
Dakwahnya berlanjut ke arah timur, lewat pesisir utara sampai ke Kadilangu, Demak. Di sinilah
diyakini Sunan Kalijaga menetap lama hingga akhir hayatnya. Kadilangu merupakan tempat
Sunan Kalijaga membina kehidupan rumah tangga. Istri yang disebut-sebut hanyalah Dewi Sarah,
putri Maulana Ishak.
Pernikahan dengan Dewi Sarah itu membuahkan tiga anak, satu di antaranya Raden Umar Said,
yang kelak bergelar Sunan Muria. Sunan Muria dan Sunan Kudus tergolong satu aliran dalam
berdakwah dengan Sunan Kalijaga. Metode dakwah aliran Kalijaga itu amat keras ditentang Sunan
Ampel, mertuanya, dan Sunan Drajat, kakak iparnya.
Hingga kini para pengikut ajaran Sunan Kalijaga, Sunan Muria, dan Sunan Kudus dikenal dengan
sebutan kelompok ”Islam abangan”. Julukan ini hingga kini melekat pada masyarakat di
sepanjang pesisir utara, dari Demak, Semarang, Tegal, hingga Cirebon. Selain dakwah dengan
kontak budaya, kisah spektakuler lainnya adalah pendirian Masjid Agung Demak.
Babad Demak menyebutkan, masjid itu berdiri pada 1477, berdasarkan candrasengkala ”Lawang
Trus Gunaning Janma” –bermakna angka 1399 tahun Saka. Kisah pendirian Masjid Agung Demak
sendiri banyak bercampur dengan dongeng. Masih belum jelas, benarkah kesembilan wali berada
di tempat ini dalam satu waktu.
Untuk keperluan dakwah, Syarif Hidayatullah pada tahun itu juga menikahi Ratu Kawunganten.
Dari pernikahan ini, dia dikarunia dua putra, Ratu Winahon dan Pangeran Sabangkingking.
Pangeran Sabangkingking kemudian dikenal sebagai Sultan Hasanudin, dan diangkat jadi Sultan
Banten. Ratu Winahon, yang lebih dikenal dengan sebutan Ratu Ayu, dinikahkah dengan
Fachrulllah Khan, alias Faletehan.
SUNAN MURIA
RADEN Umar Said sedang asyik berceramah di padepokannya di Desa Colo, Kecamatan Dawe,
Kudus, ketika seorang pemuda datang berkunjung. Tanpa tedeng aling-aling, pemuda itu, Raden
Bambang Kebo Anabrang, mengaku sebagai putra Raden Umar. Raden Umar terkejut
mendengarnya. Ia segera membantah dan mengusir Kebo Anabrang.
Tetapi, Kebo Anabrang tetap bersikeras, tak mau meninggalkan padepokan sebelum Raden Umar
mengaku sebagai ayahnya. Karena terus didesak, Raden Umar akhirnya mengalah. Tapi dengan
satu syarat: Kebo Anabrang harus memindahkan salah satu pintu gerbang Kerajaan Majapahit di
Trowulan, Mojokerto, ke padepokannya dalam semalam. Padahal, jaraknya mencapai sekitar 350
kilometer.
Berkat kesaktian Kebo Anabrang, pintu gerbang itu enteng saja dipikulnya. Tetapi, dalam
perjalanan, Kebo Anabrang dihadang Raden Ronggo dari Kadipaten Pasatenan Pati. Raden
Ronggo juga memerlukan gerbang itu untuk mempersunting Roro Pujiwati, putri Kiai Ageng
Ngerang. Siapa saja yang sanggup membawa gerbang Majapahit itu ke Juana berhak melamar
Roro Pujiwati.
Terjadilah pertarungan sengit. Masing-masing mengeluarkan kesaktiannya. Raden Umar terpaksa
turun langsung melerai pertengkaran itu. ”Siapa yang sanggup mengangkat pintu gerbang, dialah
yang berhak,” kata Raden Umar. Ternyata, hanya Kebo Anabrang yang sanggup mengangkatnya.
Ia pun melanjutkan perjalanan.
Tapi, apa lacur. Begitu melangkahkan kaki, terdengar kokok ayam bersahutan, pertanda pagi
menjelang. Padahal, ia baru mencapai Dusun Rondole, Desa Muktiharjo, yang bejarak lima
kilometer dari kota Pati. Konon, sampai kini pintu gerbang itu masih berdiri dan dikeramatkan
penduduk setempat.
Itulah satu cuplikan cerita rakyat tentang Raden Umar Said, yang tak lain adalah Sunan Muria.
Padepokannya di Colo terletak di lereng Gunung Muria, sekitar 800 meter di atas permukaan laut.
Toh, kalaupun Kebo Anabrang berhasil, ia akan sulit menuliskan silsilahnya. Maklum, sampai kini
belum ada telaah yang jelas mengenai asal-usul Sunan Muria.
Satu versi menyebutkan, Sunan Muria adalah putra Sunan Kalijaga. Ahli sejarah A.M. Noertjahjo
(1974) dan Solihin Salam (1964, 1974) yakin dengan versi ini. Berdasarkan penelusuran mereka,
pernikahan Sunan Kalijaga dengan Dewi Saroh binti Maulana Is-haq memperoleh tiga anak, yakni
Sunan Muria, Dewi Rukayah, dan Dewi Sofiah.
Versi lain memaparkan, Sunan Muria adalah putra Raden Usman Haji alias Sunan Ngudung.
Karya R. Darmowasito, Pustoko Darah Agung, yang berisi sejarah dan silsilah wali dan raja-raja
Jawa, menyebutkan Sunan Muria sebagai putra Raden Usman Haji. Bahkan ada juga yang
menyebutnya keturunan Tionghoa.
Dalam bukunya, Runtuhnya Kerajaan Hindhu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di
Nusantara (1968), Prof. Dr. Slamet Muljana menyebutkan ayah Sunan Muria, Sunan Kalijaga, tak
lain seorang kapitan Tionghoa bernama Gan Sie Cang. Sunan Muria disebut ”tak pandai berbahasa
Tionghoa karena berbaur dengan suku Jawa”.
Slamet mengacu pada naskah kuno yang ditemukan di Klenteng Sam Po Kong, Semarang, pada
1928. Pemerintahan Orde Baru ketika itu khawatir penemuan Slamet ini mengundang heboh.
Akibatnya, karya Slamet itu masuk dalam daftar buku yang dilarang Kejaksaan Agung pada 1971.
Sayang sekali, belum ada telaah mendalam mengenai berbagai versi itu.
Sejauh ini, karya Umar Hasyim, Sunan Muria: Antara Fakta dan Legenda (1983), bolehlah
digolongkan penelitian awal yang mencoba menelusuri silsilah Sunan Muria secara lebih ilmiah. Ia
berusaha membedakan cerita rakyat dengan fakta. Misalnya tentang Sunan Muria sebagai
keturunan Tionghoa.
Umar mengumpulkan sejumlah pendapat ahli sejarah. Ternyata, keabsahan naskah kuno tadi
meragukan, karena telah bercampur dengan dongeng rakyat. Walau begitu, Umar mengaku
kadang-kadang terpaksa mengandalkan penafsirannya dalam menelusuri jejak Sunan Muria.
Hasilnya, Umar cenderung pada versi Sunan Muria sebagai putra Sunan Kalijaga.
Toh, dari berbagai versi itu, tak ada yang meragukan reputasi Sunan Muria dalam berdakwah.
Gayanya ”moderat”, mengikuti Sunan Kalijaga, menyelusup lewat berbagai tradisi kebudayaan
Jawa. Misalnya adat kenduri pada hari-hari tertentu setelah kematian anggota keluarga, seperti
nelung dino sampai nyewu, yang tak diharamkannya.
Hanya, tradisi berbau klenik seperti membakar kemenyan atau menyuguhkan sesaji diganti
dengan doa atau salawat. Sunan Muria juga berdakwah lewat berbagai kesenian Jawa, misalnya
mencipta macapat, lagu Jawa. Lagu sinom dan kinanti dipercayai sebagai karya Sunan Muria, yang
sampai sekarang masih lestari.
Lewat tembang-tembang itulah ia mengajak umatnya mengamalkan ajaran Islam. Karena itulah,
Sunan Muria lebih senang berdakwah pada rakyat jelata ketimbang kaum bangsawan. Maka
daerah dakwahnya cukup luas dan tersebar. Mulai lereng-lereng Gunung Muria, pelosok Pati,
Kudus, Juana, sampai pesisir utara.
Cara dakwah inilah yang menyebabkan Sunan Muria dikenal sebagai sunan yang suka berdakwah
topo ngeli. Yakni dengan ”menghanyutkan diri” dalam masyarakat. Sampai kini, kompleks makam
Sunan Muria, yang terletak di Desa Colo, tak pernah sepi dari penziarah. ”Kurang lebih ada sekitar
15.000 penziarah tiap hari,” tutur Muhammad Shohib, Ketua Yayasan Masjid dan Makam Sunan
Muria.
Mereka berasal dari seluruh pelosok Nusantara. ”Bahkan ada yang datang dari luar negeri,
terutama dari negara Islam,” kata Shohib. Biasanya, kata Shohib, para penziarah ingin mendapat
berkah untuk melicinkan usaha, atau mengharap jabatan yang lebih tinggi. Maka tak
mengherankan, banyak juga pejabat negara yang datang ke makam Sunan Muria.
Dalam daftar tamu pengurus yayasan yang disodorkan Shohib, terdapat beberapa nama pejabat
teras Jakarta. Menteri Koordinator Bidang Politik, Sosial, dan Keamanan, Susilo Bambang
Yudhoyono, tercatat berziarah ke makam Sunan Muria pada 21 Oktober lalu. Mantan Ketua Dewan
Koperasi Indonesia, Prof. Sri Edi Swasono, Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Tyasno Sudarto,
dan Mantan Kepala Kepolisian RI, Jenderal Roesmanhadi, juga pernah membubuhkan namanya
di buku tamu.
Tentu saja tak ketinggalan mantan Presiden KH Abdurrahman Wahid, yang memang rajin
bertandang ke makam-makam. Menurut Shohib, Gus Dur berziarah beberapa pekan sebelum
lengser dari kursi kepresidenan. ”Hanya saja, ia tak mau mengisi buku tamu,” kata Shohib. Di
kalangan pejabat yang hobi berziarah, kata Shohib, berkembang kepercayaan, jika sudah
berkunjung ke makam Sunan Muria, jangan berziarah ke makam Sunan Kudus.
Jarak kedua makam memang tak begitu jauh, sekitar 19 km. ”Itu pantangan. Kalau berkunjung ke
makam Sunan Kudus, bisa kehilangan jabatan,” kata Shohib. Contohnya Menteri Penerangan
kabinet Orde Baru, H. Harmoko. ”Setelah tak menjabat, baru Pak Harmoko mengunjungi makam
Sunan Kudus,” kata Shohib.
Kudus, ketika seorang pemuda datang berkunjung. Tanpa tedeng aling-aling, pemuda itu, Raden
Bambang Kebo Anabrang, mengaku sebagai putra Raden Umar. Raden Umar terkejut
mendengarnya. Ia segera membantah dan mengusir Kebo Anabrang.
Tetapi, Kebo Anabrang tetap bersikeras, tak mau meninggalkan padepokan sebelum Raden Umar
mengaku sebagai ayahnya. Karena terus didesak, Raden Umar akhirnya mengalah. Tapi dengan
satu syarat: Kebo Anabrang harus memindahkan salah satu pintu gerbang Kerajaan Majapahit di
Trowulan, Mojokerto, ke padepokannya dalam semalam. Padahal, jaraknya mencapai sekitar 350
kilometer.
Berkat kesaktian Kebo Anabrang, pintu gerbang itu enteng saja dipikulnya. Tetapi, dalam
perjalanan, Kebo Anabrang dihadang Raden Ronggo dari Kadipaten Pasatenan Pati. Raden
Ronggo juga memerlukan gerbang itu untuk mempersunting Roro Pujiwati, putri Kiai Ageng
Ngerang. Siapa saja yang sanggup membawa gerbang Majapahit itu ke Juana berhak melamar
Roro Pujiwati.
Terjadilah pertarungan sengit. Masing-masing mengeluarkan kesaktiannya. Raden Umar terpaksa
turun langsung melerai pertengkaran itu. ”Siapa yang sanggup mengangkat pintu gerbang, dialah
yang berhak,” kata Raden Umar. Ternyata, hanya Kebo Anabrang yang sanggup mengangkatnya.
Ia pun melanjutkan perjalanan.
Tapi, apa lacur. Begitu melangkahkan kaki, terdengar kokok ayam bersahutan, pertanda pagi
menjelang. Padahal, ia baru mencapai Dusun Rondole, Desa Muktiharjo, yang bejarak lima
kilometer dari kota Pati. Konon, sampai kini pintu gerbang itu masih berdiri dan dikeramatkan
penduduk setempat.
Itulah satu cuplikan cerita rakyat tentang Raden Umar Said, yang tak lain adalah Sunan Muria.
Padepokannya di Colo terletak di lereng Gunung Muria, sekitar 800 meter di atas permukaan laut.
Toh, kalaupun Kebo Anabrang berhasil, ia akan sulit menuliskan silsilahnya. Maklum, sampai kini
belum ada telaah yang jelas mengenai asal-usul Sunan Muria.
Satu versi menyebutkan, Sunan Muria adalah putra Sunan Kalijaga. Ahli sejarah A.M. Noertjahjo
(1974) dan Solihin Salam (1964, 1974) yakin dengan versi ini. Berdasarkan penelusuran mereka,
pernikahan Sunan Kalijaga dengan Dewi Saroh binti Maulana Is-haq memperoleh tiga anak, yakni
Sunan Muria, Dewi Rukayah, dan Dewi Sofiah.
Versi lain memaparkan, Sunan Muria adalah putra Raden Usman Haji alias Sunan Ngudung.
Karya R. Darmowasito, Pustoko Darah Agung, yang berisi sejarah dan silsilah wali dan raja-raja
Jawa, menyebutkan Sunan Muria sebagai putra Raden Usman Haji. Bahkan ada juga yang
menyebutnya keturunan Tionghoa.
Dalam bukunya, Runtuhnya Kerajaan Hindhu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di
Nusantara (1968), Prof. Dr. Slamet Muljana menyebutkan ayah Sunan Muria, Sunan Kalijaga, tak
lain seorang kapitan Tionghoa bernama Gan Sie Cang. Sunan Muria disebut ”tak pandai berbahasa
Tionghoa karena berbaur dengan suku Jawa”.
Slamet mengacu pada naskah kuno yang ditemukan di Klenteng Sam Po Kong, Semarang, pada
1928. Pemerintahan Orde Baru ketika itu khawatir penemuan Slamet ini mengundang heboh.
Akibatnya, karya Slamet itu masuk dalam daftar buku yang dilarang Kejaksaan Agung pada 1971.
Sayang sekali, belum ada telaah mendalam mengenai berbagai versi itu.
Sejauh ini, karya Umar Hasyim, Sunan Muria: Antara Fakta dan Legenda (1983), bolehlah
digolongkan penelitian awal yang mencoba menelusuri silsilah Sunan Muria secara lebih ilmiah. Ia
berusaha membedakan cerita rakyat dengan fakta. Misalnya tentang Sunan Muria sebagai
keturunan Tionghoa.
Umar mengumpulkan sejumlah pendapat ahli sejarah. Ternyata, keabsahan naskah kuno tadi
meragukan, karena telah bercampur dengan dongeng rakyat. Walau begitu, Umar mengaku
kadang-kadang terpaksa mengandalkan penafsirannya dalam menelusuri jejak Sunan Muria.
Hasilnya, Umar cenderung pada versi Sunan Muria sebagai putra Sunan Kalijaga.
Toh, dari berbagai versi itu, tak ada yang meragukan reputasi Sunan Muria dalam berdakwah.
Gayanya ”moderat”, mengikuti Sunan Kalijaga, menyelusup lewat berbagai tradisi kebudayaan
Jawa. Misalnya adat kenduri pada hari-hari tertentu setelah kematian anggota keluarga, seperti
nelung dino sampai nyewu, yang tak diharamkannya.
Hanya, tradisi berbau klenik seperti membakar kemenyan atau menyuguhkan sesaji diganti
dengan doa atau salawat. Sunan Muria juga berdakwah lewat berbagai kesenian Jawa, misalnya
mencipta macapat, lagu Jawa. Lagu sinom dan kinanti dipercayai sebagai karya Sunan Muria, yang
sampai sekarang masih lestari.
Lewat tembang-tembang itulah ia mengajak umatnya mengamalkan ajaran Islam. Karena itulah,
Sunan Muria lebih senang berdakwah pada rakyat jelata ketimbang kaum bangsawan. Maka
daerah dakwahnya cukup luas dan tersebar. Mulai lereng-lereng Gunung Muria, pelosok Pati,
Kudus, Juana, sampai pesisir utara.
Cara dakwah inilah yang menyebabkan Sunan Muria dikenal sebagai sunan yang suka berdakwah
topo ngeli. Yakni dengan ”menghanyutkan diri” dalam masyarakat. Sampai kini, kompleks makam
Sunan Muria, yang terletak di Desa Colo, tak pernah sepi dari penziarah. ”Kurang lebih ada sekitar
15.000 penziarah tiap hari,” tutur Muhammad Shohib, Ketua Yayasan Masjid dan Makam Sunan
Muria.
Mereka berasal dari seluruh pelosok Nusantara. ”Bahkan ada yang datang dari luar negeri,
terutama dari negara Islam,” kata Shohib. Biasanya, kata Shohib, para penziarah ingin mendapat
berkah untuk melicinkan usaha, atau mengharap jabatan yang lebih tinggi. Maka tak
mengherankan, banyak juga pejabat negara yang datang ke makam Sunan Muria.
Dalam daftar tamu pengurus yayasan yang disodorkan Shohib, terdapat beberapa nama pejabat
teras Jakarta. Menteri Koordinator Bidang Politik, Sosial, dan Keamanan, Susilo Bambang
Yudhoyono, tercatat berziarah ke makam Sunan Muria pada 21 Oktober lalu. Mantan Ketua Dewan
Koperasi Indonesia, Prof. Sri Edi Swasono, Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Tyasno Sudarto,
dan Mantan Kepala Kepolisian RI, Jenderal Roesmanhadi, juga pernah membubuhkan namanya
di buku tamu.
Tentu saja tak ketinggalan mantan Presiden KH Abdurrahman Wahid, yang memang rajin
bertandang ke makam-makam. Menurut Shohib, Gus Dur berziarah beberapa pekan sebelum
lengser dari kursi kepresidenan. ”Hanya saja, ia tak mau mengisi buku tamu,” kata Shohib. Di
kalangan pejabat yang hobi berziarah, kata Shohib, berkembang kepercayaan, jika sudah
berkunjung ke makam Sunan Muria, jangan berziarah ke makam Sunan Kudus.
Jarak kedua makam memang tak begitu jauh, sekitar 19 km. ”Itu pantangan. Kalau berkunjung ke
makam Sunan Kudus, bisa kehilangan jabatan,” kata Shohib. Contohnya Menteri Penerangan
kabinet Orde Baru, H. Harmoko. ”Setelah tak menjabat, baru Pak Harmoko mengunjungi makam
Sunan Kudus,” kata Shohib.
SUNAN GRESIK
Matahari baru saja tenggelam di Desa Tanggulangin, Gresik, Jawa Timur. Rembulan dan bintang
giliran menyapa dengan sinarnya yang elok. Penduduk desa tampak ceria menyambut cuaca
malam itu. Sebagian mereka berbincang santai di beranda, duduk lesehan di atas tikar. Mendadak
terdengar suara gemuruh. Makin lama makin riuh.
Sejurus kemudian, dari balik pepohonan di perbatasan desa terlihat gerombolan pasukan berkuda –berjumlah sekitar 20 orang. Warga Tanggulangin berebut menyelamatkan diri –bergegas masuk
ke rumahnya masing-masing. Kawanan tak diundang itu dipimpin oleh Tekuk Penjalin. Ia
berperawakan tinggi, kekar, dengan wajah bercambang bauk.
”Serahkan harta kalian,” sergah Penjalin, jawara yang tak asing di kawasan itu. ”Kalau menolak,
akan kubakar desa ini.” Tak satu pun penduduk yang sanggup menghadapi. Mereka memilih
menyelamatkan diri, daripada ”ditekuk-tekuk” oleh Penjalin. Merasa tak digubris, kawanan itu
siap menghanguskan Tanggulangin.
Obor-obor hendak dilemparkan ke atap rumah-rumah penduduk. Tetapi, mendadak niat itu
terhenti. Sekelompok manusia lain, berpakaian putih-putih, tiba-tiba muncul entah dari mana.
Rombongan ini dipimpin Syekh Maulana Malik Ibrahim, ulama terkenal yang mulai meluaskan
pengaruhnya di wilayah Gresik dan sekitarnya.
Ghafur, seorang murid Syekh, maju ke depan. Dengan sopan ia mengingatkan kelakuan tak terpuji
Penjalin. Penjalin tentu tak terima. Apalagi, orang yang mengingatkannya sama sekali tak dikenal
di rimba persilatan Gresik. Dalam waktu singkat, terjadilah pertarungan seru. Penduduk
Tanggulangin, yang melihat pertempuran itu, rame-rame keluar, lalu membantu Ghafur.
Akhirnya, Penjalin dan pasukannya kocar-kacir. Tapi, Penjalin tak mau menuruti perintah Ghafur
agar membubarkan anak buahnya. Ghafur tak punya pilihan lain, ia harus membunuh Penjalin.
Baru saja tiba pada keputusan itu, tiba-tiba wajahnya diludahi Penjalin. Ghafur marah sekali. Aneh,
di puncak kemarahan itu, ia malah melangkah surut.
Penjalin terperangah. ”Mengapa tak jadi membunuh aku?” ia bertanya. Ghafur menjawab, ”Karena
kamu telah membuatku marah, dan aku tak boleh menghukum orang dalam keadaan marah.”
Mendengar ”dakwah” ini, disusul oleh perbincangan singkat, Penjalin dan gerombolannya
menyatakan tertarik memeluk agama Islam.
Petikan di atas merupakan satu dari dua kisah populer tentang perjalanan dakwah Syekh Maulana
Malik Ibrahim, yang juga dikenal sebagai Sunan Gresik. Satu cerita lagi yang kerap ditulis
pengarang buku-buku Maulana Malik Ibrahim adalah pertemuannya dengan sekawanan kafir di
tengah padang pasir.
Ketika itu, mereka hendak menjadikan seorang gadis sebagai tumbal meminta hujan kepada dewa.
Pedang sudah dihunus. Sunan Gresik mendinginkan mereka dengan pembicaraan yang lembut,
kemudian memimpin salat Istisqa’ –untuk memohon hujan. Tak lama kemudian langit
mencurahkan butir-butir air, Kawanan kafir itu memeluk agama Islam.
Di kalangan Wali Songo, Maulana Malik Ibrahim disebut-sebut sebagai wali paling senior, alias
wali pertama. Ada sejumlah versi tentang asal usul Syekh Magribi, sebutan lain Sunan Gresik itu.
Ada yang mengatakan ia berasal dari Turki, Arab Saudi, dan Gujarat (India). Sumber lain
menyebutkan ia lahir di Campa (Kamboja).
Setelah cukup dewasa, Maulana Malik Ibrahim diminta ayahnya, Barebat Zainul Alam, agar
merantau, berdakwah ke negeri selatan. Maka, bersama 40 anggota rombongan yang
menyertainya, Malik mengarungi samudra berhari-hari. Mereka kemudian berlabuh di Sedayu,
Gresik, pada 1380 M. Mengenai tahun ”pendaratan” ini pun terdapat beberapa versi.
Buku pegangan juru kunci makam Maulana Malik Ibrahim, misalnya, mencantumkan tahun 1392.
Beberapa naskah lain bahkan menyebut tahun 1404. Rombongan Malik kemudian menetap di
Desa Leran, sekitar sembilan kilometer di barat kota Gresik. Ketika itu, Gresik berada di bawah
Kerajaan Majapahit.
Dari sinilah Malik mulai meluncurkan dakwahnya, dengan gaya menjauhi konfrontasi. Sebagian
besar masyarakat setempat ketika itu menganut Hindu, ”agama resmi” Kerajaan Majapahit. Sunan
melalukan sesuatu yang sangat sederhana: membuka warung. Ia menjual rupa-rupa makanan
dengan harga murah.
Dalam waktu singkat, warungnya ramai dikunjungi orang. Malik melangkah ke tahap berikutnya:
membuka praktek sebagai tabib. Dengan doa-doa yang diambil dari Al-Quran, ia terbukti mampu menyembuhkan penyakit. Sunan Gresik pun seakan menjelma menjadi ”dewa penolong”. Apalagi,
ia tak pernah mau dibayar.
Di tengah komunitas Hindu di kawasan itu, Sunan Gresik cepat dikenal, karena ia sanggup
menerobos sekat-sekat kasta. Ia memperlakukan semua orang sama sederajat. Berangsur-angsur,
jumlah pengikutnya terus bertambah. Setelah jumlah mereka makin banyak, Sunan Gresik
mendirikan masjid.
Ia juga merasa perlu membangun bilik-bilik tempat menimba ilmu bersama. Model belajar seperti
inilah yang kemudian dikenal dengan nama pesantren. Dalam mengajarkan ilmunya, Malik punya
kebiasaan khas: meletakkan Al-Quran atau kitab hadis di atas bantal. Karena itu ia kemudian
dijuluki ”Kakek Bantal”.
Kendati pengikutnya terus bertambah, Malik merasa belum puas sebelum berhasil mengislamkan
Raja Majapahit. Ia paham betul, tradisi Jawa sarat dengan kultur ”patron-client”. Rakyat akan
selalu merujuk dan berteladan pada perilaku raja. Karena itu, mengislamkan raja merupakan
pekerjaan yang sangat strategis.
Tetapi Malik tahu diri. Kalau ia langsung berdakwah ke raja, pasti tak akan digubris, karena
posisinya lebih rendah. Karena itu ia meminta bantuan sahabatnya, yang menjadi raja di Cermain.
Konon, Kerajaan Cermain itu ada di Persia. Tetapi J. Wolbers, dalam bukunya Geschiedenis van
Java, menyebut Cermain tak lain adalah Kerajaan Gedah, alias Kedah, di Malasyia.
Raja Cermain akhirnya datang bersama putrinya, Dewi Sari. Mereka disertai puluhan pengawal.
Dewi yang berwajah elok itu akan dipersembahkan kepada Raja Majapahit. Dari sini, bercabangcabanglah
cerita mengenai ”Raja Majapahit” itu.. Ada yang menyebut raja itu Prabu Brawijaya V.
Tetapi menurut Wolbers, raja tersebut adalah Angkawijaya.
Repotnya, menurut Umar Hasyim dalam bukunya, Riwayat Maulana Malik Ibrahim, nama
Angkawijaya tidak dikenal, baik dalam Babad Tanah Jawi maupun Pararaton. Nama Angkawijaya
tercantum dalam Serat Kanda. Di situ disebutkan, dia adalah pengganti Mertawijaya, alias
Damarwulan –suami Kencana Wungu.
Angkawijaya mempunyai selir bernama Ni Raseksi. Tetapi, kalau dicocokkan dengan Babad Tanah
Jawi, raja Majapahit yang mempunyai selir Ni Raseksi adalah Prabu Brawijaya VII. Cuma,
menurut catatan sejarah, Prabu Brawijaya VII memerintah pada 1498-1518. Periode ini jadi
”bentrokan” dengan masa hidup Maulana Malik Ibrahim.
Melihat tahunnya, kemungkinan besar raja yang dimaksud adalah Hyang Wisesa, alias
Wikramawardhana, yang memerintah pada 1389-1427. Terlepas dari siapa sang raja sebenarnya,
yang jelas penguasa Majapahit itu akhirnya bersedia menemui rombongan Raja Cermain. Sayang,
usaha mereka gagal total.
Sang raja cuma mau menerima Dewi Sari, tetapi menolak masuk Islam. ”Bargaining” seperti ini
tentu diotolak rombongan Cermain. Sebelum pulang ke negerinya, rombongan Cermain singgah di
Leran. Sambil menunggu perbaikan kapal, mereka menetap di rumah Sunan Gresik.
Malang tak bisa ditolak, tiba-tiba merajalelalah wabah penyakit. Banyak anggota rombongan
Cermain yang tertular, bahkan meninggal. Termasuk Dewi Sari. Raja Cermain dan sebagian kecil
pengawalnya akhirnya bisa pulang ke negeri mereka. Sunan Gresik sendiri tak patah hati dengan
kegagalan ”misi” itu. Ia terus melanjutkan dakwahnya hingga wafat, pada 1419.
giliran menyapa dengan sinarnya yang elok. Penduduk desa tampak ceria menyambut cuaca
malam itu. Sebagian mereka berbincang santai di beranda, duduk lesehan di atas tikar. Mendadak
terdengar suara gemuruh. Makin lama makin riuh.
Sejurus kemudian, dari balik pepohonan di perbatasan desa terlihat gerombolan pasukan berkuda –berjumlah sekitar 20 orang. Warga Tanggulangin berebut menyelamatkan diri –bergegas masuk
ke rumahnya masing-masing. Kawanan tak diundang itu dipimpin oleh Tekuk Penjalin. Ia
berperawakan tinggi, kekar, dengan wajah bercambang bauk.
”Serahkan harta kalian,” sergah Penjalin, jawara yang tak asing di kawasan itu. ”Kalau menolak,
akan kubakar desa ini.” Tak satu pun penduduk yang sanggup menghadapi. Mereka memilih
menyelamatkan diri, daripada ”ditekuk-tekuk” oleh Penjalin. Merasa tak digubris, kawanan itu
siap menghanguskan Tanggulangin.
Obor-obor hendak dilemparkan ke atap rumah-rumah penduduk. Tetapi, mendadak niat itu
terhenti. Sekelompok manusia lain, berpakaian putih-putih, tiba-tiba muncul entah dari mana.
Rombongan ini dipimpin Syekh Maulana Malik Ibrahim, ulama terkenal yang mulai meluaskan
pengaruhnya di wilayah Gresik dan sekitarnya.
Ghafur, seorang murid Syekh, maju ke depan. Dengan sopan ia mengingatkan kelakuan tak terpuji
Penjalin. Penjalin tentu tak terima. Apalagi, orang yang mengingatkannya sama sekali tak dikenal
di rimba persilatan Gresik. Dalam waktu singkat, terjadilah pertarungan seru. Penduduk
Tanggulangin, yang melihat pertempuran itu, rame-rame keluar, lalu membantu Ghafur.
Akhirnya, Penjalin dan pasukannya kocar-kacir. Tapi, Penjalin tak mau menuruti perintah Ghafur
agar membubarkan anak buahnya. Ghafur tak punya pilihan lain, ia harus membunuh Penjalin.
Baru saja tiba pada keputusan itu, tiba-tiba wajahnya diludahi Penjalin. Ghafur marah sekali. Aneh,
di puncak kemarahan itu, ia malah melangkah surut.
Penjalin terperangah. ”Mengapa tak jadi membunuh aku?” ia bertanya. Ghafur menjawab, ”Karena
kamu telah membuatku marah, dan aku tak boleh menghukum orang dalam keadaan marah.”
Mendengar ”dakwah” ini, disusul oleh perbincangan singkat, Penjalin dan gerombolannya
menyatakan tertarik memeluk agama Islam.
Petikan di atas merupakan satu dari dua kisah populer tentang perjalanan dakwah Syekh Maulana
Malik Ibrahim, yang juga dikenal sebagai Sunan Gresik. Satu cerita lagi yang kerap ditulis
pengarang buku-buku Maulana Malik Ibrahim adalah pertemuannya dengan sekawanan kafir di
tengah padang pasir.
Ketika itu, mereka hendak menjadikan seorang gadis sebagai tumbal meminta hujan kepada dewa.
Pedang sudah dihunus. Sunan Gresik mendinginkan mereka dengan pembicaraan yang lembut,
kemudian memimpin salat Istisqa’ –untuk memohon hujan. Tak lama kemudian langit
mencurahkan butir-butir air, Kawanan kafir itu memeluk agama Islam.
Di kalangan Wali Songo, Maulana Malik Ibrahim disebut-sebut sebagai wali paling senior, alias
wali pertama. Ada sejumlah versi tentang asal usul Syekh Magribi, sebutan lain Sunan Gresik itu.
Ada yang mengatakan ia berasal dari Turki, Arab Saudi, dan Gujarat (India). Sumber lain
menyebutkan ia lahir di Campa (Kamboja).
Setelah cukup dewasa, Maulana Malik Ibrahim diminta ayahnya, Barebat Zainul Alam, agar
merantau, berdakwah ke negeri selatan. Maka, bersama 40 anggota rombongan yang
menyertainya, Malik mengarungi samudra berhari-hari. Mereka kemudian berlabuh di Sedayu,
Gresik, pada 1380 M. Mengenai tahun ”pendaratan” ini pun terdapat beberapa versi.
Buku pegangan juru kunci makam Maulana Malik Ibrahim, misalnya, mencantumkan tahun 1392.
Beberapa naskah lain bahkan menyebut tahun 1404. Rombongan Malik kemudian menetap di
Desa Leran, sekitar sembilan kilometer di barat kota Gresik. Ketika itu, Gresik berada di bawah
Kerajaan Majapahit.
Dari sinilah Malik mulai meluncurkan dakwahnya, dengan gaya menjauhi konfrontasi. Sebagian
besar masyarakat setempat ketika itu menganut Hindu, ”agama resmi” Kerajaan Majapahit. Sunan
melalukan sesuatu yang sangat sederhana: membuka warung. Ia menjual rupa-rupa makanan
dengan harga murah.
Dalam waktu singkat, warungnya ramai dikunjungi orang. Malik melangkah ke tahap berikutnya:
membuka praktek sebagai tabib. Dengan doa-doa yang diambil dari Al-Quran, ia terbukti mampu menyembuhkan penyakit. Sunan Gresik pun seakan menjelma menjadi ”dewa penolong”. Apalagi,
ia tak pernah mau dibayar.
Di tengah komunitas Hindu di kawasan itu, Sunan Gresik cepat dikenal, karena ia sanggup
menerobos sekat-sekat kasta. Ia memperlakukan semua orang sama sederajat. Berangsur-angsur,
jumlah pengikutnya terus bertambah. Setelah jumlah mereka makin banyak, Sunan Gresik
mendirikan masjid.
Ia juga merasa perlu membangun bilik-bilik tempat menimba ilmu bersama. Model belajar seperti
inilah yang kemudian dikenal dengan nama pesantren. Dalam mengajarkan ilmunya, Malik punya
kebiasaan khas: meletakkan Al-Quran atau kitab hadis di atas bantal. Karena itu ia kemudian
dijuluki ”Kakek Bantal”.
Kendati pengikutnya terus bertambah, Malik merasa belum puas sebelum berhasil mengislamkan
Raja Majapahit. Ia paham betul, tradisi Jawa sarat dengan kultur ”patron-client”. Rakyat akan
selalu merujuk dan berteladan pada perilaku raja. Karena itu, mengislamkan raja merupakan
pekerjaan yang sangat strategis.
Tetapi Malik tahu diri. Kalau ia langsung berdakwah ke raja, pasti tak akan digubris, karena
posisinya lebih rendah. Karena itu ia meminta bantuan sahabatnya, yang menjadi raja di Cermain.
Konon, Kerajaan Cermain itu ada di Persia. Tetapi J. Wolbers, dalam bukunya Geschiedenis van
Java, menyebut Cermain tak lain adalah Kerajaan Gedah, alias Kedah, di Malasyia.
Raja Cermain akhirnya datang bersama putrinya, Dewi Sari. Mereka disertai puluhan pengawal.
Dewi yang berwajah elok itu akan dipersembahkan kepada Raja Majapahit. Dari sini, bercabangcabanglah
cerita mengenai ”Raja Majapahit” itu.. Ada yang menyebut raja itu Prabu Brawijaya V.
Tetapi menurut Wolbers, raja tersebut adalah Angkawijaya.
Repotnya, menurut Umar Hasyim dalam bukunya, Riwayat Maulana Malik Ibrahim, nama
Angkawijaya tidak dikenal, baik dalam Babad Tanah Jawi maupun Pararaton. Nama Angkawijaya
tercantum dalam Serat Kanda. Di situ disebutkan, dia adalah pengganti Mertawijaya, alias
Damarwulan –suami Kencana Wungu.
Angkawijaya mempunyai selir bernama Ni Raseksi. Tetapi, kalau dicocokkan dengan Babad Tanah
Jawi, raja Majapahit yang mempunyai selir Ni Raseksi adalah Prabu Brawijaya VII. Cuma,
menurut catatan sejarah, Prabu Brawijaya VII memerintah pada 1498-1518. Periode ini jadi
”bentrokan” dengan masa hidup Maulana Malik Ibrahim.
Melihat tahunnya, kemungkinan besar raja yang dimaksud adalah Hyang Wisesa, alias
Wikramawardhana, yang memerintah pada 1389-1427. Terlepas dari siapa sang raja sebenarnya,
yang jelas penguasa Majapahit itu akhirnya bersedia menemui rombongan Raja Cermain. Sayang,
usaha mereka gagal total.
Sang raja cuma mau menerima Dewi Sari, tetapi menolak masuk Islam. ”Bargaining” seperti ini
tentu diotolak rombongan Cermain. Sebelum pulang ke negerinya, rombongan Cermain singgah di
Leran. Sambil menunggu perbaikan kapal, mereka menetap di rumah Sunan Gresik.
Malang tak bisa ditolak, tiba-tiba merajalelalah wabah penyakit. Banyak anggota rombongan
Cermain yang tertular, bahkan meninggal. Termasuk Dewi Sari. Raja Cermain dan sebagian kecil
pengawalnya akhirnya bisa pulang ke negeri mereka. Sunan Gresik sendiri tak patah hati dengan
kegagalan ”misi” itu. Ia terus melanjutkan dakwahnya hingga wafat, pada 1419.
SUNAN DRAJAT
Diantara para wali, mungkin Sunan Drajat yang punya nama paling banyak. Semasa muda ia
dikenal sebagai Raden Qasim, Qosim, atawa Kasim. Masih banyak nama lain yang disandangnya di
berbagai naskah kuno. Misalnya Sunan Mahmud, Sunan Mayang Madu, Sunan Muryapada, Raden
Imam, Maulana Hasyim, Syekh Masakeh, Pangeran Syarifuddin, Pangeran Kadrajat, dan Masaikh
Munat.
Dia adalah putra Sunan Ampel dari perkawinan dengan Nyi Ageng Manila, alias Dewi Condrowati.
Empat putra Sunan Ampel lainnya adalah Sunan Bonang, Siti Muntosiyah, yang dinikahi Sunan
Giri, Nyi Ageng Maloka, yang diperistri Raden Patah, dan seorang putri yang disunting Sunan
Kalijaga. Akan halnya Sunan Drajat sendiri, tak banyak naskah yang mengungkapkan jejaknya.
Ada diceritakan, Raden Qasim menghabiskan masa kanak dan remajanya di kampung halamannya
di Ampeldenta, Surabaya. Setelah dewasa, ia diperintahkan ayahnya, Sunan Ampel, untuk
berdakwah di pesisir barat Gresik. Perjalanan ke Gresik ini merangkumkan sebuah cerita, yang
kelak berkembang menjadi legenda.
Syahdan, berlayarlah Raden Qasim dari Surabaya, dengan menumpang biduk nelayan. Di tengah
perjalanan, perahunya terseret badai, dan pecah dihantam ombak di daerah Lamongan, sebelah
barat Gresik. Raden Qasim selamat dengan berpegangan pada dayung perahu. Kemudian, ia
ditolong ikan cucut dan ikan talang –ada juga yang menyebut ikan cakalang.
Dengan menunggang kedua ikan itu, Raden Qasim berhasil mendarat di sebuah tempat yang
kemudian dikenal sebagai Kampung Jelak, Banjarwati. Menurut tarikh, persitiwa ini terjadi pada
sekitar 1485 Masehi. Di sana, Raden Qasim disambut baik oleh tetua kampung bernama Mbah
Mayang Madu dan Mbah Banjar.
Konon, kedua tokoh itu sudah diislamkan oleh pendakwah asal Surabaya, yang juga terdampar di
sana beberapa tahun sebelumnya. Raden Qasim kemudian menetap di Jelak, dan menikah dengan
Kemuning, putri Mbah Mayang Madu. Di Jelak, Raden Qasim mendirikan sebuah surau, dan
akhirnya menjadi pesantren tempat mengaji ratusan penduduk.
Jelak, yang semula cuma dusun kecil dan terpencil, lambat laun berkembang menjadi kampung
besar yang ramai. Namanya berubah menjadi Banjaranyar. Selang tiga tahun, Raden Qasim
pindah ke selatan, sekitar satu kilometer dari Jelak, ke tempat yang lebih tinggi dan terbebas dari
banjir pada musim hujan. Tempat itu dinamai Desa Drajat.
Namun, Raden Qasim, yang mulai dipanggil Sunan Drajat oleh para pengikutnya, masih
menganggap tempat itu belum strategis sebagai pusat dakwah Islam. Sunan lantas diberi izin oleh
Sultan Demak, penguasa Lamongan kala itu, untuk membuka lahan baru di daerah perbukitan di
selatan. Lahan berupa hutan belantara itu dikenal penduduk sebagai daerah angker.
Menurut sahibul kisah, banyak makhluk halus yang marah akibat pembukaan lahan itu. Mereka
meneror penduduk pada malam hari, dan menyebarkan penyakit. Namun, berkat kesaktiannya,
Sunan Drajat mampu mengatasi. Setelah pembukaan lahan rampung, Sunan Drajat bersama para
pengikutnya membangun permukiman baru, seluas sekitar sembilan hektare.
dikenal sebagai Raden Qasim, Qosim, atawa Kasim. Masih banyak nama lain yang disandangnya di
berbagai naskah kuno. Misalnya Sunan Mahmud, Sunan Mayang Madu, Sunan Muryapada, Raden
Imam, Maulana Hasyim, Syekh Masakeh, Pangeran Syarifuddin, Pangeran Kadrajat, dan Masaikh
Munat.
Dia adalah putra Sunan Ampel dari perkawinan dengan Nyi Ageng Manila, alias Dewi Condrowati.
Empat putra Sunan Ampel lainnya adalah Sunan Bonang, Siti Muntosiyah, yang dinikahi Sunan
Giri, Nyi Ageng Maloka, yang diperistri Raden Patah, dan seorang putri yang disunting Sunan
Kalijaga. Akan halnya Sunan Drajat sendiri, tak banyak naskah yang mengungkapkan jejaknya.
Ada diceritakan, Raden Qasim menghabiskan masa kanak dan remajanya di kampung halamannya
di Ampeldenta, Surabaya. Setelah dewasa, ia diperintahkan ayahnya, Sunan Ampel, untuk
berdakwah di pesisir barat Gresik. Perjalanan ke Gresik ini merangkumkan sebuah cerita, yang
kelak berkembang menjadi legenda.
Syahdan, berlayarlah Raden Qasim dari Surabaya, dengan menumpang biduk nelayan. Di tengah
perjalanan, perahunya terseret badai, dan pecah dihantam ombak di daerah Lamongan, sebelah
barat Gresik. Raden Qasim selamat dengan berpegangan pada dayung perahu. Kemudian, ia
ditolong ikan cucut dan ikan talang –ada juga yang menyebut ikan cakalang.
Dengan menunggang kedua ikan itu, Raden Qasim berhasil mendarat di sebuah tempat yang
kemudian dikenal sebagai Kampung Jelak, Banjarwati. Menurut tarikh, persitiwa ini terjadi pada
sekitar 1485 Masehi. Di sana, Raden Qasim disambut baik oleh tetua kampung bernama Mbah
Mayang Madu dan Mbah Banjar.
Konon, kedua tokoh itu sudah diislamkan oleh pendakwah asal Surabaya, yang juga terdampar di
sana beberapa tahun sebelumnya. Raden Qasim kemudian menetap di Jelak, dan menikah dengan
Kemuning, putri Mbah Mayang Madu. Di Jelak, Raden Qasim mendirikan sebuah surau, dan
akhirnya menjadi pesantren tempat mengaji ratusan penduduk.
Jelak, yang semula cuma dusun kecil dan terpencil, lambat laun berkembang menjadi kampung
besar yang ramai. Namanya berubah menjadi Banjaranyar. Selang tiga tahun, Raden Qasim
pindah ke selatan, sekitar satu kilometer dari Jelak, ke tempat yang lebih tinggi dan terbebas dari
banjir pada musim hujan. Tempat itu dinamai Desa Drajat.
Namun, Raden Qasim, yang mulai dipanggil Sunan Drajat oleh para pengikutnya, masih
menganggap tempat itu belum strategis sebagai pusat dakwah Islam. Sunan lantas diberi izin oleh
Sultan Demak, penguasa Lamongan kala itu, untuk membuka lahan baru di daerah perbukitan di
selatan. Lahan berupa hutan belantara itu dikenal penduduk sebagai daerah angker.
Menurut sahibul kisah, banyak makhluk halus yang marah akibat pembukaan lahan itu. Mereka
meneror penduduk pada malam hari, dan menyebarkan penyakit. Namun, berkat kesaktiannya,
Sunan Drajat mampu mengatasi. Setelah pembukaan lahan rampung, Sunan Drajat bersama para
pengikutnya membangun permukiman baru, seluas sekitar sembilan hektare.
Atas petunjuk Sunan Giri, lewat mimpi, Sunan Drajat menempati sisi perbukitan selatan, yang kini
menjadi kompleks pemakaman, dan dinamai Ndalem Duwur. Sunan mendirikan masjid agak jauh
di barat tempat tinggalnya. Masjid itulah yang menjadi tempat berdakwah menyampaikan ajaran
Islam kepada penduduk.
Sunan menghabiskan sisa hidupnya di Ndalem Duwur, hingga wafat pada 1522. Di tempat itu kini
dibangun sebuah museum tempat menyimpan barang-barang peninggalan Sunan Drajat –
termasuk dayung perahu yang dulu pernah menyelamatkannya. Sedangkan lahan bekas tempat
tinggal Sunan kini dibiarkan kosong, dan dikeramatkan.
Sunan Drajat terkenal akan kearifan dan kedermawanannya. Ia menurunkan kepada para
pengikutnya kaidah tak saling menyakiti, baik melalui perkataan maupun perbuatan. ”Bapang den
simpangi, ana catur mungkur,” demikian petuahnya. Maksudnya: jangan mendengarkan
pembicaraan yang menjelek-jelekkan orang lain, apalagi melakukan perbuatan itu.
Sunan memperkenalkan Islam melalui konsep dakwah bil-hikmah, dengan cara-cara bijak, tanpa
memaksa. Dalam menyampaikan ajarannya, Sunan menempuh lima cara. Pertama, lewat
pengajian secara langsung di masjid atau langgar. Kedua, melalui penyelenggaraan pendidikan di
pesantren. Selanjutnya, memberi fatwa atau petuah dalam menyelesaikan suatu masalah.
Cara keempat, melalui kesenian tradisional. Sunan Drajat kerap berdakwah lewat tembang
pangkur dengan iringan gending. Terakhir, ia juga menyampaikan ajaran agama melalui ritual
adat tradisional, sepanjang tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
Empat pokok ajaran Sunan Drajat adalah: Paring teken marang kang kalunyon lan wuta; paring
pangan marang kang kaliren; paring sandang marang kang kawudan; paring payung kang kodanan.
Artinya: berikan tongkat kepada orang buta; berikan makan kepada yang kelaparan; berikan
pakaian kepada yang telanjang; dan berikan payung kepada yang kehujanan.
Sunan Drajat sangat memperhatikan masyarakatnya. Ia kerap berjalan mengitari perkampungan
pada malam hari. Penduduk merasa aman dan terlindungi dari gangguan makhluk halus yang,
konon, merajalela selama dan setelah pembukaan hutan. Usai salat asar, Sunan juga berkeliling
kampung sambil berzikir, mengingatkan penduduk untuk melaksanakan salat magrib.
”Berhentilah bekerja, jangan lupa salat,” katanya dengan nada membujuk. Ia selalu menelateni
warga yang sakit, dengan mengobatinya menggunakan ramuan tradisional, dan doa. Sebagaimana
para wali yang lain, Sunan Drajat terkenal dengan kesaktiannya. Sumur Lengsanga di kawasan
Sumenggah, misalnya, diciptakan Sunan ketika ia merasa kelelahan dalam suatu perjalanan.
Ketika itu, Sunan meminta pengikutnya mencabut wilus, sejenis umbi hutan. Ketika Sunan
kehausan, ia berdoa. Maka, dari sembilan lubang bekas umbi itu memancar air bening –yang
kemudian menjadi sumur abadi. Dalam beberapa naskah, Sunan Drajat disebut-sebut menikahi
tiga perempuan. Setelah menikah dengan Kemuning, ketika menetap di Desa Drajat, Sunan
mengawini Retnayu Condrosekar, putri Adipati Kediri, Raden Suryadilaga.
Peristiwa itu diperkirakan terjadi pada 1465 Masehi. Menurut Babad Tjerbon, istri pertama Sunan
Drajat adalah Dewi Sufiyah, putri Sunan Gunung Jati. Alkisah, sebelum sampai di Lamongan,
Raden Qasim sempat dikirim ayahnya berguru mengaji kepada Sunan Gunung Jati. Padahal,
Syarif Hidayatullah itu bekas murid Sunan Ampel.
Di kalangan ulama di Pulau Jawa, bahkan hingga kini, memang ada tradisi ‘’saling memuridkan”.
Dalam Babad Tjerbon diceritakan, setelah menikahi Dewi Sufiyah, Raden Qasim tinggal di
Kadrajat. Ia pun biasa dipanggil dengan sebutan Pangeran Kadrajat, atau Pangeran Drajat. Ada
juga yang menyebutnya Syekh Syarifuddin.
Bekas padepokan Pangeran Drajat kini menjadi kompleks perkuburan, lengkap dengan cungkup
makam petilasan, terletak di Kelurahan Drajat, Kecamatan Kesambi. Di sana dibangun sebuah
masjid besar yang diberi nama Masjid Nur Drajat. Naskah Badu Wanar dan Naskah Drajat
mengisahkan bahwa dari pernikahannya dengan Dewi Sufiyah, Sunan Drajat dikaruniai tiga putra.
Anak tertua bernama Pangeran Rekyana, atau Pangeran Tranggana. Kedua Pangeran Sandi, dan
anak ketiga Dewi Wuryan. Ada pula kisah yang menyebutkan bahwa Sunan Drajat pernah
menikah dengan Nyai Manten di Cirebon, dan dikaruniai empat putra. Namun, kisah ini agak
kabur, tanpa meninggalkan jejak yang meyakinkan.
Tak jelas, apakah Sunan Drajat datang di Jelak setelah berkeluarga atau belum. Namun, kitab Wali
Sanga babadipun Para Wali mencatat: ”Duk samana anglaksanani, mangkat sakulawarga….”
Sewaktu diperintah Sunan Ampel, Raden Qasim konon berangkat ke Gresik sekeluarga. Jika benar,
di mana keluarganya ketika perahu nelayan itu pecah? Para ahli sejarah masih mengais-ngais
naskah kuno untuk menjawabnya.
menjadi kompleks pemakaman, dan dinamai Ndalem Duwur. Sunan mendirikan masjid agak jauh
di barat tempat tinggalnya. Masjid itulah yang menjadi tempat berdakwah menyampaikan ajaran
Islam kepada penduduk.
Sunan menghabiskan sisa hidupnya di Ndalem Duwur, hingga wafat pada 1522. Di tempat itu kini
dibangun sebuah museum tempat menyimpan barang-barang peninggalan Sunan Drajat –
termasuk dayung perahu yang dulu pernah menyelamatkannya. Sedangkan lahan bekas tempat
tinggal Sunan kini dibiarkan kosong, dan dikeramatkan.
Sunan Drajat terkenal akan kearifan dan kedermawanannya. Ia menurunkan kepada para
pengikutnya kaidah tak saling menyakiti, baik melalui perkataan maupun perbuatan. ”Bapang den
simpangi, ana catur mungkur,” demikian petuahnya. Maksudnya: jangan mendengarkan
pembicaraan yang menjelek-jelekkan orang lain, apalagi melakukan perbuatan itu.
Sunan memperkenalkan Islam melalui konsep dakwah bil-hikmah, dengan cara-cara bijak, tanpa
memaksa. Dalam menyampaikan ajarannya, Sunan menempuh lima cara. Pertama, lewat
pengajian secara langsung di masjid atau langgar. Kedua, melalui penyelenggaraan pendidikan di
pesantren. Selanjutnya, memberi fatwa atau petuah dalam menyelesaikan suatu masalah.
Cara keempat, melalui kesenian tradisional. Sunan Drajat kerap berdakwah lewat tembang
pangkur dengan iringan gending. Terakhir, ia juga menyampaikan ajaran agama melalui ritual
adat tradisional, sepanjang tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
Empat pokok ajaran Sunan Drajat adalah: Paring teken marang kang kalunyon lan wuta; paring
pangan marang kang kaliren; paring sandang marang kang kawudan; paring payung kang kodanan.
Artinya: berikan tongkat kepada orang buta; berikan makan kepada yang kelaparan; berikan
pakaian kepada yang telanjang; dan berikan payung kepada yang kehujanan.
Sunan Drajat sangat memperhatikan masyarakatnya. Ia kerap berjalan mengitari perkampungan
pada malam hari. Penduduk merasa aman dan terlindungi dari gangguan makhluk halus yang,
konon, merajalela selama dan setelah pembukaan hutan. Usai salat asar, Sunan juga berkeliling
kampung sambil berzikir, mengingatkan penduduk untuk melaksanakan salat magrib.
”Berhentilah bekerja, jangan lupa salat,” katanya dengan nada membujuk. Ia selalu menelateni
warga yang sakit, dengan mengobatinya menggunakan ramuan tradisional, dan doa. Sebagaimana
para wali yang lain, Sunan Drajat terkenal dengan kesaktiannya. Sumur Lengsanga di kawasan
Sumenggah, misalnya, diciptakan Sunan ketika ia merasa kelelahan dalam suatu perjalanan.
Ketika itu, Sunan meminta pengikutnya mencabut wilus, sejenis umbi hutan. Ketika Sunan
kehausan, ia berdoa. Maka, dari sembilan lubang bekas umbi itu memancar air bening –yang
kemudian menjadi sumur abadi. Dalam beberapa naskah, Sunan Drajat disebut-sebut menikahi
tiga perempuan. Setelah menikah dengan Kemuning, ketika menetap di Desa Drajat, Sunan
mengawini Retnayu Condrosekar, putri Adipati Kediri, Raden Suryadilaga.
Peristiwa itu diperkirakan terjadi pada 1465 Masehi. Menurut Babad Tjerbon, istri pertama Sunan
Drajat adalah Dewi Sufiyah, putri Sunan Gunung Jati. Alkisah, sebelum sampai di Lamongan,
Raden Qasim sempat dikirim ayahnya berguru mengaji kepada Sunan Gunung Jati. Padahal,
Syarif Hidayatullah itu bekas murid Sunan Ampel.
Di kalangan ulama di Pulau Jawa, bahkan hingga kini, memang ada tradisi ‘’saling memuridkan”.
Dalam Babad Tjerbon diceritakan, setelah menikahi Dewi Sufiyah, Raden Qasim tinggal di
Kadrajat. Ia pun biasa dipanggil dengan sebutan Pangeran Kadrajat, atau Pangeran Drajat. Ada
juga yang menyebutnya Syekh Syarifuddin.
Bekas padepokan Pangeran Drajat kini menjadi kompleks perkuburan, lengkap dengan cungkup
makam petilasan, terletak di Kelurahan Drajat, Kecamatan Kesambi. Di sana dibangun sebuah
masjid besar yang diberi nama Masjid Nur Drajat. Naskah Badu Wanar dan Naskah Drajat
mengisahkan bahwa dari pernikahannya dengan Dewi Sufiyah, Sunan Drajat dikaruniai tiga putra.
Anak tertua bernama Pangeran Rekyana, atau Pangeran Tranggana. Kedua Pangeran Sandi, dan
anak ketiga Dewi Wuryan. Ada pula kisah yang menyebutkan bahwa Sunan Drajat pernah
menikah dengan Nyai Manten di Cirebon, dan dikaruniai empat putra. Namun, kisah ini agak
kabur, tanpa meninggalkan jejak yang meyakinkan.
Tak jelas, apakah Sunan Drajat datang di Jelak setelah berkeluarga atau belum. Namun, kitab Wali
Sanga babadipun Para Wali mencatat: ”Duk samana anglaksanani, mangkat sakulawarga….”
Sewaktu diperintah Sunan Ampel, Raden Qasim konon berangkat ke Gresik sekeluarga. Jika benar,
di mana keluarganya ketika perahu nelayan itu pecah? Para ahli sejarah masih mengais-ngais
naskah kuno untuk menjawabnya.
0 comments:
Post a Comment